Idul Adha, Tongseng Kambing, dan Momentum Membiasakan Perbedaan

Gigih Imanadi Darma
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Bekerja di media online sepakbola Libero.id
Konten dari Pengguna
10 Juli 2022 17:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gigih Imanadi Darma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustasi kegembiraan anak kecil saat menyambut idul adha. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustasi kegembiraan anak kecil saat menyambut idul adha. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Perut yang keroncongan membawa saya menyengaja singgah ke salah satu warung sate kambing. Warung itu terletak di sebelah utara perempatan Pabrik Gula Madukismo. Ngasem namanya.
ADVERTISEMENT
Warung sederhana itu tak lain adalah rumah kecil yang ruang depannya dijadikan tempat usaha. Saya memesan tongseng kambing dan menyebut salah satu menu kesukaan saya itu di depan seorang perempuan yang saya perkirakan berumur 40 tahun. Saya tak sempat menanyakan namanya, tapi mari kita sebut saja Bu Wati.
Dengan gesit Bu Wati langsung menyiapkan bahan-bahan, menambah arang pada anglo, tungku bakar tradisional, yang sudah siap untuk digunakan. Saya lalu memilih meja memanjang di samping kiri warung sebagai tempat duduk. Tak begitu jauh dari tempat Bu Wati memasak.
Tanpa diadang jendela kayu, di hadapan saya ada sawah yang sudah selesai panen, tembok perumahan seharga hampir Rp 2 miliiar yang juga memanjang dan menutupi keindahan Miniatur Masjid Raya Baiturahman Aceh Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Jernih Melihat Berbagai Fenomena Lebaran
Membeli tongseng kambing di hari raya idul adha (lebaran) versi Muhammadiyah, kalau dipikir-pikir adalah sesuatu yang ganjil. Dengan humor saya ingin katakan, andaikata yang punya warung sate ini warga Nahdlatul Ulama (NU), maka genaplah sudah.
Lah iya, kok bisa-bisanya masih buka dari pagi ke sore yang terang-benderang putih kebiruan apalagi diantara suara takbiran yang sambung-menyambung. Mengingat hari itu Sabtu, (9/7) adalah lebaran versi Muhammadiyah.
Dan yang saya pahami lebaran di Indonesia bukan cuma sebuah fenomena keagamaan, tapi juga ekonomi dan sosial. Lebaran adalah hari libur nasional. Ya. Tapi tak ada tanggal merah untuk mereka yang ingin berdagang. Hidup bagi para pedagang adalah pilihan. Dagang dapat duit, tidak dagang duit lewat.
ADVERTISEMENT
Lagipula perut pelajar rantau seperti saya ini, akan selalu lentur untuk mencari makanan enak di luar. Itu berarti sekalipun lebaran, selalu ada ruang kegiatan ekonomi yang sangat luwes dan lapang bagi orang-orang sektor informal ini.
Dari sisi sosialnya, lebaran adalah ajang untuk berkumpul dengan handai taulan. Merekatkan kembali hubungan yang jauh.
Dua kali momen lebaran tahun ini saya tidak pulang, keinginan saya untuk menyantap tongseng kambing berdasar pada rasa kangen pada rumah, masakan mama, dan percakapan-percakapan hangat dengan keluarga besar.
Percakapan Tentang Idul Adha
Balik lagi ke tongseng kambing yang saya pesan. Akan sangat aneh kalau tanpa suatu sebab apapun saya menanyakan ke Bu Wati apakah ia warga NU atau bukan --- saya hanya menduga karena dari busananya mengingatkan saya pada Ibu-ibu Fatayat di kampung saya nun di Sumatera Selatan.
ADVERTISEMENT
Maka saya coba mensiasati, dimulai dengan basabasi pertanyaan ala pembeli yang singgah, seputar berapa lama sudah jualan, jam operasional warung, dan sebagainya.
Selesai dari pertanyaan-pertanyaan itu, sebuah kalimat meluncur, "Bau bumbunya enak ini, Bu. Apalagi nanti jadinya." kata saya coba memuji.
Bu Wati merespon baik dengan tersenyum dan balik menanyai saya, mulai dari asal, kini mukim dimana, termasuk seputaran dunia mahasiswa.
"Kuliah di mana, Mas?"
Demi sopan santun, sebagai mahasiswa yang semesternya sudah 2 digit saya jawab seramah dan seantusias mungkin.
"Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Bu. Muhammadiyah."
Ketika percakapan saya rasa sudah hangat, barulah ada kesempatan untuk menyisipkan pertanyaan untuk Bu Wati, yang berangkat dari dugaan saya di atas.
ADVERTISEMENT
Jawaban si ibu dengan nada persahabatan pelan-pelan mengkonfirmasi dugaan saya.
"Kalau saya sama keluarga lebarannya besok Mas. Ikut pemerintah." katanya.
"Oh iya, kenapa tidak libur hari ini Bu?"
"Saya cuma karyawan di sini dan bos minta liburnya mulai besok, ini maghrib nanti sudah tutup. Terus libur sepekan Mas. " ucapnya sambil memasak.
Lalu kalau cuma ikut ulil amri untuk urusan lebaran apakah cukup untuk mengidentifikasi si ibu sebagai warga NU?
Tak lama setelah pikiran konyol saya itu, Bu Wati menghidangkan sepinggan tongseng kambing dan nasi juga air putih hangat ke meja saya.
Momentum Belajar Membiasakan Perbedaan
Dari cuplikan percakapan saya dengan Bu Wati di atas, tidak penting sebenarnya pembuktian dugaan saya atas afiliasi ormas Bu Wati, hanya saja saya ingin meminjam dua ormas Islam terbesar dengan sumbangsih tak terhitung untuk negeri ini, sebagai percontohan tentang mengelola perbedaan dan bersikap dewasa dengan perbedaan itu.
ADVERTISEMENT
Perbedaan adalah kehendak Tuhan. Kita tidak perlu repot-repot menguji takdir Tuhan yang satu itu dengan berurat otot untuk mendebatkan siapa yang benar dan dirahmati dengan siapa yang tidak.
Perbedaan harus dibiasakan dengan tidak sering-sering membicarakannya apalagi sampai berdebat. Santai saja.
Perbedaan mesti kita biasakan, antara lain dengan bisa kita jadikan sebagai humor. Jalan untuk Tertawa. Lagipula, hidup ini sangat pendek kalau kita terus-terusan serius. Tertawa dapat mengendurkan ketegangan, begitu bukan?
Fitrah manusia adalah berbahagia dan tertawa menandakan kita sebagai insan yang super, yang punya selera tinggi.
Meminjam kata salah seorang filsuf berjanggut tebal, Frederich Nietze.
Tertawalah. Kini humor yang memancing tawa bertebaran di sosial media, akun-akun garis lucu tak habis-habisnya mengunggah meme dan caption kocak.
ADVERTISEMENT
Di laman Twitter, akun @MuhammadiyinGL dan @NUgarislucu kerap saling berbalas tweet bernuansa humor, dalam momen lebaran ini, yang dijadikan objek adalah potret seorang anak berkopiah NU sedang kedapatan sholat idul adha versi Muhammadiyah.
Dari unggahan itu saya kira cara lain untuk membacanya adalah bahwa perbedaan tidak boleh menjadi api dan fanatisme jangan sampai jadi bahan bakar penyulut kebencian.
Perbedaan semestinya jadi air sejuk yang memadamkan syak wasangka terhadap saudara seiman, lebih jauh saudara dalam bingkai kemanusiaan.
Jangan sampai kita berkelahi lantaran hal sampingan dan melupakan yang pokok. Jangan sampai kita kehilangan sense of humor dan terkecoh oleh simbol.
Kalau ada yang ribut-ribut karena metodologi, jangan ikut-ikutan. Beragama harus lebih dalam lagi. Bahwa fiqih itu penting tak bisa disangkal, tapi penerimaan dan sikap kita terhadap pandangan fiqih yang beragam itu jauh lebih penting.
ADVERTISEMENT
Muhammadiyah berlebaran lebih dulu sehari dari yang diyakini oleh NU dan ketetapan pemerintah. Dan itu merupakan pendapat keagamaan yang lazim, dan tak ada ruang untuk mendudukkan siapa yang salah. Pendapat Muhammadiyah dan NU sama-sama benar. Teruji metodologinya.
Pada momentum seperti ini, hal-hal semacam itu penting kiranya untuk kembali kita pelajari. Seberapapun besarnya celah kita disibukkan oleh perbedaan, pandanglah saudara kita dengan kacamata cinta, bahwa kebaikan-kebaikannya sekecil apapun mengandung nilai persamaan cinta.
Catatan Kecil Penutup
Hari raya lebaran saya dan Bu Wati boleh berbeda, tapi kami tetap sama-sama merayakan lebaran. Sama-sama tersenyum dan menertawakan kondisi masing-masing tanpa tendensi mengejek.
Bu Wati yang tidak mendapat libur meski sehari jelang lebaran versi NU, sementara saya yang tidak pulang kampung karena sungkan belum juga lulus kuliah.
ADVERTISEMENT
Jadi, untuk saudara-saudaraku yang merayakan hari raya qurban, saya ucapkan selamat berlebaran. Selamat merayakan perbedaan. Hanya saja pesan saya satu, jangan sampai sholat idul adha dua kali. Ini serius.
Tabik!