Konten dari Pengguna

Melihat Teori Spiral Kekerasan dalam Kasus NTT vs Maluku di Jogjakarta

Gigih Imanadi Darma
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Bekerja di media online sepakbola Libero.id
5 Juli 2022 17:30 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gigih Imanadi Darma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tugu Jogjakarta yang jadi landmark utama kota pelajar. Sumber foto: Kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Tugu Jogjakarta yang jadi landmark utama kota pelajar. Sumber foto: Kumparan.com
ADVERTISEMENT
Kalau ada yang menyebut Maluku saya ingat dua saja: Sepak bola di Tulehu dan lagu Rasa Sayange. Itu sebelum mengenal Anang Panjoel.
ADVERTISEMENT
Dan sebuah tawuran antar dua geng yang berasal dari NTT dan Maluku, yang dipicu ribut-ribut oleh anggota kedua geng di Glow Karaoke kawasan Seturan, Sleman, membuat daftar ingatan saya tentang Maluku bertambah.
Saya benci stereotip kesukuan. Tapi kejadian yang berulang bagai agenda tahunan itu malah tambah melanggengkan stereotip. Oknum-oknum itu merusak ingatan manis saya tentang Indonesia timur, terutama Maluku. Tentang Anang Panjoel.
Saya punya beberapa teman dari timur dan kalau ingatan tidak meleset Anang sejauh ini adalah orang Maluku satu-satunya yang saya kenal. Kami pernah berbagi tempat tidur, satu kamar selama kurang lebih 2 pekan di Jogja.
Kecuali nama, bagi saya Anang adalah seorang Maluku tulen.
Kalau menyanyi dan joget sungguh asik. Petikan gitarnya oke punya, apalagi kalau sambil mendendangkan lagu-lagu galau Glenn Fredly. Ia juga seorang pencerita ulung dengan selera humor yang bagus. Kami sering diskusi politik dan lebih sering omong-omong seputar puisi cinta dan patah hati.
ADVERTISEMENT
Saya merekam Anang dalam pita memori yang halus. Meski kami tidak lagi sekamar karena Anang sudah pulang ke sebuah kampung di Masohi, tempat ia dibesarkan, kami masih tetap menjalin komunikasi, sekali waktu ia menanyai saya soal buku dan pesan pembukanya ia tuliskan dengan dua salam.
"Asalamu'alaikum. Shalom!"
"Saudara Gigih, apa saudara tau tempat jual buku online yang terkemuka."
Saya balas, "Saudara Anang, saya tau beberapa, terutama yang genre sastra."
"Boleh berbagi beberapa yang Anda tahu. Saya agak kesulitan mencari buku di kampung. Buku bukunya lumayan terbatas,"
Caranya curhat sangat beradab sekali. Sangat formal tapi penuh keakraban.
"Saudara posisinya di mana, di luar Jawa ya?" saya memastikan.
"Di kota paling damai se-Indonesia, Ambon."
ADVERTISEMENT
Saya mengerti itu klaim tak berdasar, tapi humor membuat kami tetap terhubung.
"Pantas saja salam saudara berdampingan, dua agama."
Saya lalu menyalin link Instagram toko buku @Ksatriabuku, "Harga buku-bukunya sama dengan di pulau Jawa, toko buku kecil di Ambon."
"Bahkan orang Ambon pun belum tentu tahu tentang ini. Terima kasih. Semoga Tuhan memberkati."
Saya tak membalas sebaris kata pun.
Percakapan terkahir kami putus di situ, sampai akhirnya kurang dari dua pekan setelah itu, saya mengirimkan link Twitter lewat WhatsApp ke Anang, sebuah potongan video yang sangat tidak Jogja sekali; di mana orang-orang, entah itu Maluku atau NTT atau daerah timur lainnya, dengan tampang dendam memegang parang dan pedang tak bersarung.
ADVERTISEMENT
Mereka berkitar di SCBD Jogja (Seturan, Congcat, Babarsari, Demangan) dan tampaknya setelah merusak kios-kios, puluhan motor dibuat bobrok, 3 korban salah sasaran dibuat luka parah, dimana salah satunya tangannya putus, (mahasiswa asal Timika Papua), para pendatang itu tampak masih sangat bersemangat untuk bertarung di kota dengan slogan "Jogja berhati nyaman."
Dalam hal ini tak keliru-keliru amat kita buat plesetan "Jogja berhenti nyaman."
Jelas, apa yang diperbuat oknum di atas sudah melenceng dari tata nilai dan norma, tapi saat api kemarahan berkobar, kosa kata sosiologis semacam itu cuma jadi omong kosong dan jangankan lenyap mampir di kepala saja tidak.
Yang jadi pertanyaan, dalam hal ini mengapa penyelesaian masalah ala orang timur dilakukan dengan konsep amuk balas amuk? Segala sesuatu punya alasan. Kita butuh alasan itu.
ADVERTISEMENT
Saya bisa saja memberi teori, tapi balasan WhatsApp Anang yang panjang teramat menarik untuk saya cuplikan.
" Orang Timur memang sedari kecil di didik bagaimana ketika seorang teman disakiti maka teman yang lain harus membantu, kita punya istilahnya 'ale rasa beta rasa',"
Lebih lanjut Anang juga menjelaskan bahwa kultur yang sudah ajeg dalam budaya masyarakat timur juga turut jadi faktor yang tak bisa dikesampingkan. Dan hal itu dalam beberapa kesempatan malah berujung fatal.
"Namun memang kadang hal ini yang mendatangkan setan merasuk jiwa mereka ketika melihat sedikit percikan api di mata mereka. Sehingga memang hal hal berupa kemarahan yang merusak datang dan muncul dalam tindakannya."
Dan bagi orang yang tak terlibat dalam pusaran itu, seperti Anang, pendapatnya jernih dan baginya sudah final bahwa kultur tidak bisa dijadikan pegangan atas perbuatan yang kelewat batas.
ADVERTISEMENT

Mendudukkan Teori Spiral Kekerasan

Jawaban Anang sedikit banyaknya bersinggungan dengan teori Spiral of Violence yang dikembangkan oleh seorang uskup agung dari Brazil, Dom Helder Camara.
Dalam ilmu matematika, Spiral merupakan bentuk kurva yang dimulai dari sebuah titik yang bergerak melingkari dirinya sendiri sehingga menjadi bulatan titik yang lain.
Penjelasan utama dari teori yang dikemukakan tahun 1971 untuk merespon kondisi sosial-politik Amerika Latin itu, menyatakan bahwa 'violence beget violence', kekerasan menimbulkan kekerasan yang lainnya. Sebuah postulat dalam teori kekerasan.
Menurut Camara kekerasan dibagi menjadi 3, yang dimulai dari kekerasan personal lalu institusional, dan terakhir struktural. Dan yang menjadi sumber utama dari kekerasan adalah ketidakadilan. Kaitannya dengan apa saja, hak sosial ekonomi ataupun politik. Dan ketidakadilan adalah sebuah kekerasan mendasar.
ADVERTISEMENT
Daya ledak dari ketidakadilan sangat dahsyat. Ketidakadilan dapat menyebabkan kerusakan fisik, kerusakan psikologis dan kerusakan moral.
Dalam pada itu, Camara menyebut kekerasan jenis tersebut dengan kekerasan nomor 1, yang kelak memicu kekerasan di kalangan masyarakat sipil; ribut-ribut antar suku, serangakaian demonstrasi, dan lain sebagainya, kekerasan jenis tersebut disebut kekerasan nomor 2.
Ketika itu terjadi, untuk meredam berlakulah kekerasan nomor 3 yang wujudnya adalah represi negara melalui aparatur militer dan ketika konflik sampai ke jalan-jalan, ketika kekerasan nomor 2 mencoba merespon kekerasan nomor 1, para penguasa memandang dirinya wajib menjaga atau memulihkan ketertiban umum sekalipun itu berarti dipakainya kekuatan, seperti itulah cara kekerasan nomor 3 bekerja.
Dalam kasus ribut-ribut antar suku di Jogja belakangan ini, Anang menyebut aparatur kepolisian harus segera menangkap pelaku yang menjadi sumber utama masalah dan itu menghantarkan kita pada pertanyaan berikutnya: Bisa dan maukah polisi memposisikan sebijak dan seadil mungkin agar tidak reaktif dan terpenting tidak menimbulkan kekerasan yang baru?
ADVERTISEMENT

Mempertanyakan Cara Penyelesaian Masalah

Polisi sangat bisa dan malah sudah jadi kewajiban untuk bertindak, mengingat sejumlah pihak yang dirugikan telah membuat laporan ke Polda DIY dan dibarengi tekanan sosial yang timbul akibat peristiwa itu.
Namun jalan penyelesaian pihak kepolisian sepertinya hanya menciptakan situasi damai yang palsu. Dalam unggahan video yang dimuat di akun YouTube Lembaga Strategi Nasional dan beberapa yang tersebar di Twitter, tampak bersama dengan pihak TNI, mengundang tokoh-tokoh, para tetua dan diaspora terkait, duduk bersama dan menyatakan pembacaan sikap, isinya bisa ditebak; permohonan maaf dan imbauan untuk menjaga kondusifitas di Jogja.
Pertanyaannya, mengapa aparatur negara juga tidak mengundang yang bersangkutan langsung, geng NTT dan Maluku yang bertikai, apakah dengan mengundang para orang tua itu mereka yang bertikai sudah merasa terwakili dan bersedia untuk mendengarkan?
ADVERTISEMENT
Perlu dicatat juga, sejauh ini pelaku utama belum ditangkap dan diadili sesuai mekanisme hukum. Alangkah lebih menyenangkan jika suara-suara di atas keluar langsung dari mulut yang bersangkutan.
Dugaan saya, dalam hal ini kekerasan sengaja dibiarkan untuk tetap menempatkan kelompok tertentu pada streotip. Aparatur negara abai pada tugasnya. Dan hal ini disebut juga sebagai kekerasan struktural. Kekerasan yang dimapankan.
Jika terus dibiarkan rasa kemanusiaan kita bakal terancam oleh kepungan kekerasan dan fanatisme buta. Dan kasus serupa kemungkinan bakal terus berulang-ulang. Saat-saat yang tidak diharapkan itu, apakah kita hanya bisa tepok jidat?
Tabik!