Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pesan Moral Relief Garudeya Candi Kidal hingga Kaitannya dengan Lambang Negara
25 Desember 2021 12:53 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Naila Maghfiroh Dzil Fadli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Relief Garudeya Candi Kidal
ADVERTISEMENT
Candi Kidal merupakan candi Hindu yang terletak di desa Kidal, kecamatan Tumpang, kabupaten Malang. Candi tersebut merupakan peninggalan kerajaan Singasari yang berfungsi sebagai tempat pendharmaan Raja Anusopati. Keseluruhan elemen candi terbuat dari batu andesit yang dipercaya berasal dari pembekuan larva gunung di Jawa Timur seperti gunung Semeru.
ADVERTISEMENT
Terdapat relief Garudeya pada bagian kaki candi, yakni di sisi timur, selatan dan utara. Cara membaca relief di candi Kidal adalah secara prasawiya, yakni dari selatan ke utara atau kiri ke kanan atau berlawanan arah jarum jam. Hal tersebut karena nama kidal bermakna kiri atau tiri yang menggambarkan anak tiri yakni Raja Anusopati.
Relief sisi selatan berupa Garudeya sedang mengangkat tiga naga yang menggambarkan perbudakan yang dialami Garudeya dan Ibu Winata. Sisi timur berupa relief Garudeya memegang guci yang berisi air amerta atau air kehidupan sebagai tebusan untuk membebaskan Winata atau ibunya dari perbudakan. Relief ketiga yang menghadap utara berupa gambaran Garudeya membawa Ibunya yakni dewi Winata karena telah berhasil membebaskannya dari perbudakan.
Cerita Garudeya
Berawal dari cerita manusia setengah dewa yang mempunyai 14 istri. Dua belas istrinya mempunyai anak dengan bertelur dan menetas kemudian menghasilkan berbagai macam isi dunia. Sedangkan, istri yang ke-13 yang bernama Winata dan istri ke-14 yang bernama Kadru tidak kunjung memiliki anak. Karena merasa malu dengan istri-istri yang lain yang sudah berhasil mempunyai anak, mereka akhirnya menghadap sang Resi Kasyapa atau suaminya yang berupa manusia kura-kura. Mereka meminta telur yang ketika menetas supaya menjadi isi dunia.
ADVERTISEMENT
Kadru meminta 1000 telur dan tidak lama kemudian menetas lah telur Kadru menjadi naga. Sedangkan Winata hanya meminta tiga telur. Namun, dia berharap agar tiga telur itu setelah menetas bisa menjadi penguasa di dunia. Itulah janji dari sang Winata. Sayangnya, telur Winata tidak kunjung menetas meskipun telur Kadru telah berhasil menetas semua dan berkeliaran di mana mana hingga Kadru merasa kewalahan.
Winata yang tidak sanggup menahan sabar akhirnya memecah telur pertama yang hanya berupa semburat kemerahan yang tidak berbentuk, tidak berkepala dan tidak berbadan. Itulah anak pertama sang Winata yang kita kenal dengan sang Fajar di pagi hari. Anak-anak Kadru terus bertambah besar sedangkan telur pertama Winata hanya berupa semburat merah dan kedua telur yang lain tidak kunjung menetas juga. Hal tersebut membuat Winata tidak sabar dan memecahkan telur keduanya. Telur keduanya hanya berupa sinar yang tidak berbentuk. Telur keduanya marah akibat ulah Ibunya yang tidak sabaran. Winata segera meminta maaf namun anak keduanya ini sudah telanjur merasa sakit dan marah.
ADVERTISEMENT
Kemarahan anak keduanya ini membuat apa pun yang dikenainya pasti akan hancur dan itulah yang kita kenal dengan petir yang umumnya menggambarkan kemurkaan. Anak kedua berkata kepada Winata jika tabiat Ibunya terus seperti ini maka bersiap lah untuk menjadi budak Kadru. Dia juga berpesan kepada ibunya untuk lebih bersabar lagi dan tidak memecah paksa telur ketiga karena telur ketiga ini lah yang akan mengangkat derajat dan memuliakan hidup ibu Winata.
Lima ratus tahun berlalu, telur ketiga pun menetas dan keluar lah burung raksasa sakti yang bernama burung Garudeya. Suatu hari, Kadru mengajak Winata untuk bermain tebak-tebakan tentang warna asli dari kuda Uraiswara milik dewa Wisnu yang setiap hari lewat di depan rumah mereka dengan kecepakatan kilat. Mereka membuat perjanjian yang kalah harus menjadi budak yang menang. Ini sebenarnya adalah jebakan Kadru yang kewalahan merawat anak-anaknya yang sangat banyak. Winata yang sebenarnya di pihak yang menang karena menebak kuda tersebut berwarna putih karena memang kuda tersebut sejatinya berwarna putih. Namun, dia dinyatakan kalah karena kelicikan Kadru yang menyuruh anak-anaknya yang berupa naga untuk menyemburkan bisa beracun ketika kuda tersebut lewat yang menyebabkan warna kuda menjadi hitam persis seperti tebakan Kadru. Sesuai kesepakatan, Winata dan Garudeya pun menjadi budak Kadru dan ikut merawat anak-anak Kadru.
ADVERTISEMENT
Sang Garudeya yang kian bertumbuh besar merasa kasihan dengan kondisi ibunya. Dia menghadap Kadru dan bertanya bagaimana agar ibunya bebas dari perbudakan. Kadru memberi syarat tebusan berupa air amerta (air kehidupan) yang dimiliki oleh para dewa. Gerudeya segera menyanggupi dan pergi ke kahyangan untuk meminta air tersebut kepada dewa Wisnu. Perjalanannya tidak lah mulus. Dia diminta untuk menjadi tunggangan dewa Wisnu jika ingin mendapatkan air tersebut dan menghadapi berbagai rintangan.
Setelah berhasil mendapatkan air tersebut Garudeya memberikan kepada Kadru dan menyampaikan pesan dari dewa Wisnu kepada Kadru dan anak-anaknya agar mandi suci terlebih dahulu sebelum meminum tirta amerta yang suci itu. Ketika mereka sedang mandi, dewa Wisnu mengambil kesempatan itu untuk mengambil kembali air tersebut sehingga mereka batal mendapatkan kesucian tirta amerta. Namun demikian, Garudeya tetap berhasil membebaskan ibunya dari perbudakan karena telah membawakan tirta amerta kepada Kadru.
ADVERTISEMENT
Kaitan Pesan Moral Relief, Candi dan Lambang Negara
Relief Garudeya mengandung pesan moral tentang perjuangan seorang anak untuk berbakti kepada ibu. Relief tersebut juga disebut sebagai amanat raja Anusopati yang mempunyai keinginan untuk mengangkat derajat sang ibu yang bernama Ken Dedes. Hal ini kemudian menjadikan presiden Soekarno meminta relief burung Garuda di candi Kidal untuk dijadikan lambang negara karena tiga hal tersebut mempunyai filosofi yang sama. Candi Kidal merupakan tempat pendharmaan seorang anak tiri yakni raja Anusopati yang sangat menyayangi dan ingin mengangkat derajat ibunya yang menderita karena suaminya atau ayah tirinya lebih mencintai istri keduanya. Ketiga relief Garudeya menggambarkan perjuangan seorang anak untuk membebaskan ibunya dari perbudakan sebagai bentuk bakti. Sedangkan burung garuda adalah lambang usaha anak bangsa untuk mengangkat derajat dan membebaskan ibu pertiwi yang dicintai dari penjajahan.
ADVERTISEMENT
Sumber: Pak Imam Tinarko (mantan penjaga candi Kidal)