Konten dari Pengguna

Eskatologi Islam: Apakah Manusia Hanya Akan Dibangkitkan Ruhnya di Akhirat?

Nailun Najla (Naila)
Mahasiswa Magister Peminatan Industri Halal, Program Studi Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam, Sekolah Kajian Stratejik dan Global di Universitas Indonesia
25 Oktober 2024 18:54 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nailun Najla (Naila) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Hari Kiamat (Doomsday) (pixabay.com/Thomas Breher)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Hari Kiamat (Doomsday) (pixabay.com/Thomas Breher)
ADVERTISEMENT
Kematian selalu menjadi misteri terbesar yang menghantui kehidupan manusia. Apa yang terjadi setelah kita meninggalkan dunia ini? Apakah ada kehidupan setelah kematian? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini menjadi landasan bagi eskatologi. Berasal dari bahasa Yunani, Eskatologi merupakan gabungan dari eschaton (yang terakhir, yang paling jauh) dan logos (ilmu), adalah sebuah cabang ilmu yang mempelajari tentang kehidupan setelah mati, atau dalam bahasa Islam dikenal sebagai akhirat. Bagi umat Muslim, akhirat bukan sekadar konsep teologis, melainkan bagian dari keyakinan dasar yang tertuang dalam rukun iman. Percaya pada kehidupan setelah mati adalah pilar penting yang membentuk pandangan seorang Muslim tentang dunia dan kehidupan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Namun, bagaimana sebenarnya kehidupan setelah kematian dipahami? Apakah kehidupan tersebut bersifat fisik, rohani, atau mungkin keduanya? Para filsuf Muslim dan ulama besar telah memikirkan dan mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan ini selama berabad-abad, dengan memberikan berbagai pandangan yang memperkaya diskursus eskatologi. Dalam artikel ini, kita akan mengulas pandangan-pandangan mendalam dari tokoh-tokoh seperti Ibn Rusyd, Al-Ghazali, Ibn Sina, Mulla Sadra, Nasir al-Din al-Tusi serta Shihab al-Din Suhrawardi tentang eskatologi dalam Islam.
Eskatologi dalam Pandangan Islam
Dalam Islam, eskatologi adalah keyakinan yang sangat erat kaitannya dengan konsep iman kepada hari kiamat. Ini adalah salah satu dari enam rukun iman yang harus diyakini oleh setiap Muslim. Dalam sebuah hadits yang dikenal dengan nama Hadits Jibril, Nabi Muhammad SAW menjelaskan rukun iman sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Hadits Riwayat Muslim No. 8
قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ, قَالَ : أَنْ بِاللهِ, وَمَلاَئِكَتِهِ, وَكُتُبِهِ, وَرُسُلِهِ, وَالْيَوْمِ الآخِرِ, وَ تُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ. قَالَ : صَدَقْتَ
“….Dia berkata: “Beritahukan kepadaku tentang Iman.” Nabi menjawab: “Iman itu adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” Kemudian ia berkata: “Engkau benar.”…. "
Hadits ini memberikan landasan yang sangat jelas mengenai enam rukun iman yang harus diyakini setiap Muslim, yakni beriman kepada Allah (iman billah), beriman kepada malaikat (iman bil malaikah), beriman kepada kitab-kitab (iman bil kutub), beriman kepada Rasul-rasul (iman bil rusul), beriman kepada hari akhir/kiamat (iman bil yaumil akhir), dan beriman kepada takdir (iman bil qada wal qadar).
ADVERTISEMENT
Terdapat beberapa ayat dalam Al-Qur'an yang menjelaskan pentingnya beriman kepada hari akhir. Berikut ini adalah beberapa dalil yang berkaitan dengan keyakinan terhadap hari akhir atau hari kiamat:
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالنَّصٰرٰى وَالصَّابِــِٕيْنَ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
Al-Baqarah [2]: 62 "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi'in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati."
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَالْكِتٰبِ الَّذِيْ نَزَّلَ عَلٰى رَسُوْلِهٖ وَالْكِتٰبِ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ مِنْ قَبْلُۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِاللّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَكُتُبِهٖ وَرُسُلِهٖ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا
ADVERTISEMENT
An-Nisa [4]: 136 "Wahai orang-orang yang beriman! Tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sungguh orang itu telah tersesat sangat jauh."
Dalam ayat lainnya juga dijelaskan mengenai keberadaan surga dan neraka, yakni perhentian terakhir di alam akhirat sebagai tempat pembalasan atas perbuatan-perbuatan manusia selama di dunia. Di antaranya terdapat pada ayat-ayat berikut:
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَاِنَّمَا تُوَفَّوْنَ اُجُوْرَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِۗ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَاُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
Ali ‘Imran [3]: 185 "Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya."
ADVERTISEMENT
Eskatologi dalam Islam mencakup serangkaian peristiwa, termasuk kematian, kehidupan di alam barzakh (alam antara dunia dan akhirat), kebangkitan, hari penghakiman, dan akhirnya masuk ke surga atau neraka. Kehidupan dunia dianggap sebagai ujian sementara di mana amal baik dan buruk dicatat dan akan dihisab (diadili) di akhirat.
Dalam konteks ini, akhirat dipahami sebagai kehidupan yang kekal, di mana setiap tindakan manusia di dunia akan mempengaruhi nasibnya di kehidupan yang abadi tersebut. Oleh karena itu, pemahaman tentang akhirat sangat penting dalam membentuk tindakan sehari-hari umat Muslim. Tetapi apakah akhirat hanya berkaitan dengan kehidupan rohani, atau juga menyangkut aspek fisik? Bagaimana dalil-dalil menerangkan hal tersebut?
Berikut beberapa ayat Al-Quran dan hadits yang mendeskripsikan bagaimana keadaan manusia setelah kematian:
ADVERTISEMENT
اَيَحْسَبُ الْاِنْسَانُ اَلَّنْ نَّجْمَعَ عِظَامَهٗ ۝ بَلٰى قٰدِرِيْنَ عَلٰٓى اَنْ نُّسَوِّيَ بَنَانَهٗ ۝
Al-Qiyamah [75]: 3–4 "Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari-jemarinya dengan sempurna."
Ayat ini menunjukkan bahwa manusia akan dibangkitkan kembali setelah kematian, termasuk tubuh fisik mereka, meskipun telah hancur. Lalu pada ayat-ayat lain dijelaskan pula kondisi orang-orang yang dihisab dan dimasukkan ke neraka atau surga.
هَلْ اَتٰىكَ حَدِيْثُ الْغَاشِيَةِۗ ۝ وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ خَاشِعَةٌۙ ۝ عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌۙ ۝ تَصْلٰى نَارًا حَامِيَةًۙ ۝ تُسْقٰى مِنْ عَيْنٍ اٰنِيَةٍۗ ۝ لَيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ اِلَّا مِنْ ضَرِيْعٍۙ ۝ لَّا يُسْمِنُ وَلَا يُغْنِيْ مِنْ جُوْعٍۗ ۝ وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ نَّاعِمَةٌۙ ۝ لِّسَعْيِهَا رَاضِيَةٌۙ ۝ فِيْ جَنَّةٍ عَالِيَةٍۙ ۝ لَّا تَسْمَعُ فِيْهَا لَاغِيَةًۗ ۝ فِيْهَا عَيْنٌ جَارِيَةٌۘ ۝ فِيْهَا سُرُرٌ مَّرْفُوْعَةٌۙ ۝ وَّاَكْوَابٌ مَّوْضُوْعَةٌۙ ۝ وَّنَمَارِقُ مَصْفُوْفَةٌۙ ۝ وَّزَرَابِيُّ مَبْثُوْثَةٌۗ ۝
ADVERTISEMENT
Al-Ghasyiyah [88]: 1–16 "Sudah datangkah kepadamu berita tentang (hari) pembalasan? Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum dari sumber yang sangat panas. Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar. Banyak muka pada hari itu berseri-seri, merasa senang karena usahanya, dalam surga yang tinggi. Tidak kamu dengar di dalamnya perkataan yang tidak berguna. Di dalamnya ada mata air yang mengalir. Di dalamnya ada takhta-takhta yang ditinggikan, dan gelas-gelas yang terletak (di dekatnya), dan bantal-bantal sandaran yang tersusun, dan permadani-permadani yang terhampar.”
Ayat-ayat tersebut menunjukkan aspek jasmani dengan menggambarkan siksaan maupun kenikmatan fisik yang akan dirasakan oleh manusia di alam akhirat nanti.
ADVERTISEMENT
Tetapi terkait “jasmani” manusia yang akan dibangkitkan kembali dimaksudkan secara eksplisit dalam bentuk fisik yang sesungguhnya sebagaimana fisik manusia di dunia, atau sejatinya dalam bentuk “rohani” manusia saja. Karena alam akhirat masih merupakan alam ghaib yang tidak dapat dijangkau oleh manusia melalui apapun. Para filsuf Muslim telah lama mendiskusikan sifat kehidupan di akhirat, khususnya apakah kehidupan tersebut bersifat jasmani, rohani, atau gabungan dari keduanya. Pemikiran ini menyoroti berbagai sudut pandang filosofis yang berkembang dalam tradisi Islam mengenai hakikat keberadaan manusia setelah kematian. Berikut beberapa pandangan filsuf Muslim terkait sifat kehidupan di akhirat:
Ibn Rusyd: Kehidupan Akhirat sebagai Dimensi Rohani
Ibn Rusyd, atau dikenal di dunia Barat sebagai Averroes, adalah seorang filsuf Muslim dari Andalusia yang terkenal dengan pendekatan rasionalisnya terhadap ajaran agama. Salah satu isu penting yang dia kaji adalah sifat kehidupan di akhirat. Dalam diskursus tentang eskatologi, Ibn Rusyd membagi pandangan menjadi tiga kelompok besar:
ADVERTISEMENT
1. Golongan pertama: Mereka yang percaya bahwa kehidupan di akhirat sepenuhnya bersifat jasmani, dengan kenikmatan dan kesenangan yang serupa dengan kehidupan dunia, hanya saja lebih abadi.
2. Golongan kedua: Mereka yang meyakini bahwa kehidupan di akhirat hanya bersifat rohani, tanpa keterlibatan unsur jasmani.
3. Golongan ketiga: Mereka yang percaya bahwa kehidupan di akhirat bersifat jasmani dan rohani, namun ada perbedaan mendasar dalam hal kekekalan di antara keduanya.
Ibn Rusyd sependapat dengan golongan kedua yang berargumen bahwa kehidupan di akhirat adalah pengalaman rohani semata. Menurutnya, setelah kematian, unsur jasmani manusia hancur, dan yang tersisa adalah roh atau jiwa. Ia mendasarkan pendapatnya pada akal dan logika, menyatakan bahwa karena alam akhirat bersifat ghaib dan non-material, maka lebih masuk akal untuk memahami akhirat sebagai kehidupan rohani yang tidak terikat pada dimensi fisik. Dengan pandangan ini, Ibn Rusyd berusaha menyelaraskan antara nalar kritis dan ajaran agama mengenai akhirat.
ADVERTISEMENT
Al-Ghazali: Keseimbangan Jasmani dan Rohani
Berbeda dengan Ibn Rusyd, seorang filsuf Muslim dari Persia, yakni Al-Ghazali menekankan pentingnya memahami kehidupan di akhirat sebagai perpaduan antara jasmani dan rohani. Dalam karyanya yang berjudul Tahafut al-Tahafut, Al-Ghazali berargumen bahwa Al-Qur'an dan hadits secara eksplisit menggambarkan bahwa manusia akan dibangkitkan dalam bentuk fisik pada hari kiamat. Menurutnya, jasad-jasad manusia akan disatukan kembali dengan jiwa mereka, dan mereka akan merasakan kenikmatan surga atau azab neraka baik secara jasmani maupun rohani.
Al-Ghazali menentang keras interpretasi yang hanya mengakui kehidupan rohani di akhirat. Baginya, kebangkitan jasad adalah bagian dari keajaiban yang dijanjikan oleh Allah, dan menolak hal ini sama saja dengan mengingkari ajaran fundamental Al-Qur'an. Ia juga menegaskan bahwa pemahaman tentang kebangkitan jasad harus dipahami secara literal, bukan metaforis. Jadi, menurut Al-Ghazali, kehidupan di akhirat adalah pengalaman utuh yang melibatkan dimensi fisik dan spiritual.
ADVERTISEMENT
Ibn Sina (Avicenna): Jiwa yang Kekal
Ibn Sina, atau Avicenna, seorang filsuf dan ilmuwan Muslim dari Uzbekistan yang sangat berpengaruh, memiliki pandangan yang lebih mendalam tentang hakikat jiwa dan tubuh. Menurutnya, jiwa manusia adalah kekal dan tidak tergantung pada tubuh fisik. Dalam konsepnya, setelah kematian, jiwa akan terus hidup tanpa memerlukan keberadaan jasmani. Kehidupan di akhirat, dalam pandangan Ibn Sina, lebih bersifat rohani karena jiwa manusia bersifat abadi dan tidak terpengaruh oleh kematian fisik.
Selain itu, beberapa filsuf Muslim lainnya seperti Mulla Sadra, Nasir al-Din al-Tusi serta Shihab al-Din Suhrawardi turut memiliki pandangan mengenai sifat akhirat—baik jasmani maupun rohani. Ketiga tokoh ini menawarkan perspektif yang berbeda dan mendalam terkait hakikat kehidupan setelah kematian. Berikut adalah pendapat mereka:
ADVERTISEMENT
Mulla Sadra (Sadr al-Din al-Shirazi): Kesatuan Jasmani dan Rohani melalui Transformasi
Mulla Sadra, seorang filsuf Muslim dari Persia yang terkenal dengan filsafat Hikmah al-Muta'aliyah (The Transcendent Philosophy), mengajukan pandangan tentang akhirat yang didasarkan pada konsep ontologinya tentang keberadaan (wujud). Mulla Sadra mengajukan konsep “substantial motion” (al-harakat al-jauhariyyah), yang menjelaskan bahwa jiwa mengalami perkembangan dan transformasi selama hidup di dunia, hingga mencapai bentuk paling sempurna di akhirat. Menurutnya, manusia mengalami transformasi terus-menerus, dan jiwa memainkan peran penting dalam proses ini. Ia berpendapat bahwa akhirat mencakup aspek jasmani dan rohani manusia karena keduanya tidak bisa dipisahkan secara mutlak, tetapi tubuh fisik atau sifat jasmani manusia akan berubah mengalami transformasi menjadi lebih spiritual.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut tentang konsepnya, ia berpendapat bahwa kehidupan di akhirat merupakan lanjutan dari proses transformasi ini, di mana manusia akan merasakan kenikmatan atau azab dengan dimensi jasmani yang telah menjadi rohani. Mulla Sadra percaya bahwa alam akhirat adalah realitas yang lebih tinggi daripada alam dunia. Tubuh manusia di akhirat bukanlah tubuh kasar yang ada di dunia ini, melainkan tubuh yang telah ditransformasikan melalui pergerakan substansial dari dunia materi ke alam spiritual.
Nasir al-Din al-Tusi: Kebangkitan Jasmani dan Rohani
Nasir al-Din al-Tusi, seorang filsuf dan ilmuwan Muslim dari Persia, juga membahas sifat kehidupan di akhirat. Ia mendukung pandangan bahwa kebangkitan di akhirat melibatkan unsur jasmani dan rohani, di mana manusia akan menjalani kehidupan baru dengan tubuh yang dibangkitkan bersama jiwanya. Al-Tusi berpendapat bahwa tubuh manusia akan dibangkitkan bersama dengan jiwa, dan keduanya akan mengalami kenikmatan atau azab. Al-Tusi memandang tubuh manusia di akhirat sebagai entitas fisik yang dihidupkan kembali, tetapi berbeda dengan tubuh kasar yang ada di dunia. Ia mengungkapkan sebuah argumen bahwa tubuh yang dibangkitkan adalah tubuh yang disiapkan oleh Allah untuk menerima balasan dari amal perbuatan yang dilakukan selama hidup di dunia.
ADVERTISEMENT
Shihab al-Din Suhrawardi: Alam Akhirat sebagai Alam Cahaya
Shihab al-Din Suhrawardi, seorang filsuf dari Persia yang bernama lengkap Shihab al-Din Yahya ibn Habash Suhrawardi, dikenal dengan filsafatnya Iluminasi (Hikmah al-Isyraq), memiliki pandangan metaforis tentang alam akhirat. Menurutnya, kehidupan setelah kematian lebih berhubungan dengan cahaya dan kegelapan, yang merupakan simbol dari realitas rohani dan jasmani. Suhrawardi berpendapat bahwa alam akhirat adalah dunia cahaya, di mana jiwa manusia akan terbebas dari kegelapan dunia material.
Ia menggambarkan kematian sebagai proses pelepasan dari tubuh fisik, di mana jiwa yang telah tercerahkan akan memasuki alam cahaya yang lebih tinggi. jiwa manusia akan beralih dari dunia fisik yang gelap ke dunia cahaya yang lebih terang di akhirat. Kehidupan rohani di akhirat dilihat sebagai keadaan yang lebih tinggi, di mana manusia dapat mencapai kesatuan dengan cahaya Ilahi. Suhrawardi menekankan pentingnya pencerahan rohani selama hidup di dunia agar jiwa dapat mempersiapkan diri untuk memasuki alam cahaya setelah kematian.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, konsep eskatologi dalam Islam mengajarkan bahwa kehidupan ini hanyalah sebuah persinggahan sementara. Apa yang kita lakukan di dunia akan berdampak pada nasib kita di akhirat. Dalam pandangan para filsuf dan ulama Muslim, eskatologi tidak hanya menjadi pembahasan teologis, tetapi juga intelektual, di mana berbagai pendekatan dari yang rasional hingga spiritual coba dijelaskan.
Ibn Rusyd, Al-Ghazali, Ibn Sina, Mulla Sadra, Nasir al-Din al-Tusi serta Shihab al-Din Suhrawardi—semuanya memberikan sumbangan penting dalam pemahaman eskatologi Islam. Ibn Rusyd dengan pendekatan rasionalisnya, juga Ibn Sina menekankan kehidupan jiwa atau rohani, sementara Al-Ghazali memadukan unsur jasmani dan rohani dalam pandangannya tentang akhirat. Ibn Sina menekankan rohani pada kehidupan akhirat karena jiwa akan terus hidup tanpa memerlukan keberadaan jasmani. Mulla Sadra melihat akhirat sebagai transformasi dari jasmani menjadi spiritual. Nasir al-Din al-Tusi menyatukan aspek jasmani dan rohani dalam kebangkitan di akhirat, sementara Shihab al-Din Suhrawardi menggunakan metafora cahaya untuk menggambarkan kehidupan rohani yang lebih tinggi di akhirat.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, eskatologi mengingatkan kita bahwa hidup di dunia ini penuh dengan pilihan dan tanggung jawab. Apa yang kita lakukan sekarang akan menentukan bagaimana kita menjalani kehidupan yang kekal nanti. Maka dari itu, memahami eskatologi bukan hanya soal apa yang terjadi setelah mati, tetapi juga tentang bagaimana kita menjalani hidup kita di dunia ini dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, dan harapan akan kehidupan yang lebih baik di akhirat. Tentang bagaimana kehidupan akhirat nanti hanya bersifat rohani, hanya bersifat jasmani ataupun keduanya, hanya Allah SWT lah yang memiliki pengetahuan pasti atas hal tersebut. Wallaahu a’lam bish showaab.