Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Berprinsip yang Paling Prinsip
8 Januari 2024 19:50 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Individu yang berprinsip hampir selalu jadi cita-cita orangtua dan guru dalam pendidikan, sekaligus nilai yang disebut penting dalam rekruitment organisasi ataupun kriteria kesuksesan dalam berbagai industri.
ADVERTISEMENT
Salah satu kesulitan utama setiap kali berbicara tentang berprinsip adalah cakupan definisinya yang sangat lebar. Dimensi kompetensi berprinsip meliputi integritas yang kokoh serta muncul dalam perilaku jujur dan otentik. Individu yang berprinsip, punya keberanian bertindak sekaligus kebijaksanaan dalam memahami perspektif yang beragam. Kemampuan untuk menunjukkan kasih sayang - termasuk kemudahan memaafkan, kerendahan hati dan kesederhanaan (termasuk kehati-kehatian dalam proses mencapai tujuan) - juga umum disebutkan sebagai target profil yang diharapkan. Tidak hanya itu, keberagamaan dan kepercayaan yang konsisten dijalankan, serta berbagai aspek spiritualitas, juga seringkali dikaitkan dengan dimensi kompetensi berprinsip sepanjang hayat.
Di satu sisi, keluasan dan kedalaman definisinya menunjukkan urgensi serta ekspektasi tinggi yang bahkan sampai ke tingkat “setengah dewa” yang tak mungkin kita miliki. Di sisi lain, dimensi kompetensi ini bisa jadi semacam “keranjang sampah”yang mencakup segala yang tak mendapat prioritas utama. Semua hal yang “sulit” diajarkan, atau “tak nyata” untuk diberikan penilaian, akhirnya dimasukkan atas nama pendidikan karakter dan dilakukan tanpa perencanaan, dengan asumsi - toh “sudah otomatis akan diajarkan”.
ADVERTISEMENT
Faktanya, memandang indikator ini hanya sebagai sesuatu yang inheren di dalam diri atau “diselipkan” dalam interaksi di rumah atau tempat kerja sehari-hari, tidak akan cukup untuk menumbuhkannya sebagai kompetensi.
Mempraktikkan prinsip dalam kehidupan sejak dini hingga di dunia profesi, butuh pembelajaran dan pengalaman yang sama eksplisitnya, runut strukturnya, lengkap konsep dan terminologinya, sebagaimana semua proses menguasai dimensi kompetensi lainnya. Salah satu data yang mungkin mengejutkan, rata-rata tahap perkembangan moral diantara para pekerja di Amerika Serikat misalnya - hanya 20% yang mencapai tingkat optimal. Di Indonesia? Tak ada datanya, tapi bisa kita bayangkan bahwa kematangan moral bukan sesuatu yang dimiliki oleh mayoritas kita.
Kemampuan merencanakan pembelajaran, menjadi salah satu pembeda utama satuan pendidikan yang menumbuhkan murid-murid dengan prinsip kuat. Anak TK yang sedang berebut mainan dengan teman saat bermain di sentra kelasnya, sebagian mendapat “teachable moments” yang dimanfaatkan baik oleh guru atau orangtua. Tumbuh bersama orang dewasa yang mendengarkan frustasi dan melabel emosinya, menyediakan waktu untuk memediasi dan mendampingi anak mencoba berbagai alternatif solusi, mengenalkan kosa kata seperti tanggungjawab atau keadilan yang buat orang dewasa lain terlalu susah disebutkan di umur lima - tapi sebenarnya esensial bagi pemahaman berkelanjutan mereka. Ini kemewahan luar biasa yang masih langka dalam proses pendidikan dan pengasuhan kita.
ADVERTISEMENT
Kita juga melihat betapa asesmen akan karakter dalam pendidikan seringkali jadi bagian yang paling menyulitkan. Guru atau teman, khawatir memberikan penilaian rendah karena cendrung merasa ini adalah bentuk penghakiman yang berbahaya pada keseluruhan prestasi anak kita, tetapi juga ragu memberikan penilaian tinggi karena merasa tak punya cukup data perilaku anak di berbagai situasi.
Di dunia kerja, menjadi “berprinsip” seringkali makin susah, nepotisme adalah “kebiasaan” di mana-mana. Orang dalam yang melakukan pengaturan khusus dari tempat parkir sampai kesempatan hadir di forum tertentu yang tidak bisa diakses orang lain dalam jabatan, jadi contoh yang sering disampaikan sebagai keluhan di berbagai perusahaan.
Nilai kesetaraan dan keadilan di skala sistem besar, memang akan jadi lebih mudah dirawat saat nilai-nilai yang sama sudah menjadi bagian dari identitas personal anggota kelompok yang bersangkutan. “What is morally right, what is morally wrong” yang mampu dijawab jelas dan lantang oleh setiap individu, adalah bahan utama tentang “what is morally prescribed” di lingkungan. Tentu ada prinsip-prinsip yang kita kategorikan sebagai “harga mati” dan tak bisa ditawar lagi. Ada juga, hal-hal yang sesungguhnya perlu alternatif interpretasi dan sensitifitas emosi, untuk bisa dinegosiasi agar bisa mendapat solusi. Ada beberapa formula yang selalu saya gunakan; memastikan bahwa harga diri anak terbentuk bukan dari penilaian lingkungan pada apa yang ada di permukaan (sekadar apa yang dia tunjukkan dia lakukan), tetapi berdasar penilaian dirinya sendiri tentang intensi perilakunya apakah sesuai dengan standar moral. Memberikan umpan balik positif secara terbuka untuk menguatkan “perilaku bermoral” di organisasi, juga terbukti jadi dukungan yang efektif. “Sombong berjamaah” bahwa semua yang bekerja patut diapresiasi karena mengambil pilihan-pilihan yang sulit untuk menjaga “integrity” harus jadi “branding” yang sering diulang dalam narasi di tempat kita bekerja dan berkarya.
ADVERTISEMENT
Proses pengembangan kompetensi ini butuh kematangan biologis sekaligus kekayaan pengalaman menghadapi masalah dunia dengan berbagai tingkat kesulitannya. Akan ada waktu-waktu dimana kita menilai kompetensi pribadi (atau anak/bawahan yang mesti kita dampingi) belum cukup siap untuk dilema yang harus dihadapi. Jangan gentar dan lari atau mengambil alih, setiap ada gamang, ketidakseimbangan atau ketidakcocokan, adalah ujian penting untuk mengukuhkan komitmen pada nilai. Proses ini adalah bagian alamiah dari kemanusiaan, yang semakin bijaksana seiring dengan perkembangan hidupnya. Jangan mensabotase diri sendiri, atau merampas kesempatan orang lain untuk bertumbuh dengan ujian-ujian sejati.