Delusi Kesetaraan

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
3 September 2021 14:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pendidikan Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pendidikan Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Keadilan untuk kelompok rentan adalah konsep yang sering sekali disalahpahami dalam pendidikan. Padahal, kesenjangan jelas bukan fenomena sementara di ekosistem Indonesia, setelah puluhan tahun terjadi, diperburuk kondisinya oleh wabah. Karena itu, jangan pernah luput membicarakan kesenjangan bersamaan dengan akses dan kualitas, sebab dua kata terakhir tidak otomatis berarti ketersediaan dan keterjangkauan, tidak juga serta merta bermakna bagi semua dan setiap anak dalam kondisi yang beragam.
ADVERTISEMENT
Miskonsepsi utama yang sering saya dengar, bahkan di kalangan sesama pendidik-adalah adanya stigma yang melekat pada masyarakat (dan anak) miskin atau dengan kebutuhan khusus. Seolah mereka yang berada dalam kondisi terbatas terlahir dengan defisit bawaan. Individu dan kelompok dianggap perlu mendapatkan bantuan disebabkan kondisinya yang punya/penuh kekurangan. Hal ini jelas salah kaprah yang nyata, sama seperti gambar berikut (dikutip dari Rebecca Haslam) di baris pertama-yang seolah menganggap anak berbaju kuning “lebih pendek dari sononya” dan menganggap tanggung jawab kita selesai dengan memberikan bantuan sosial atau berbagai bentuk afirmasi dengan tiga kotak agar yang bersangkutan bisa berdiri sama tinggi. Tentu tindakan ini adalah pilihan terpuji, tetapi tanpa disadari, ada jumawa bahkan sikap penjajah yang kita kuatkan dalam ekosistem yang melihat kelompok rentan sebagai korban tak berdaya.
ADVERTISEMENT
Konsep yang utuh diawali dengan kesadaran bahwa ada posisi struktural yang menghambat individu dengan latar belakang tertentu (gender, golongan sosial ekonomi, suku dan agama, dllnya) untuk terlibat di masyarakat. Digambarkan di gambar kedua misalnya, daratan tempat berpijak ketiga anak ini berada di ketinggian yang berbeda-sehingga terlepas dari asa dan upaya yang sama, kelompok tertentu memiliki kemewahan dan kesempatan untuk memulai dari titik tolok yang lebih baik dibanding kelompok yang secara sistematis terpinggirkan. Upaya kita mengatasi kesenjangan dengan memberikan berbagai dukungan, menjadi sangat esensial untuk memastikan kesetaraan, sambil terus memastikan bahwa kita tidak menciptakan ketergantungan.
Jangan puas dulu, perlu langkah lanjutan untuk mencapai yang ingin kita tuju! Keadilan sejati terjadi pada saat individu berdaya untuk menolong dirinya sendiri. Inovasi di ekosistem pendidikan di negeri ini, diperlukan bukan semata untuk menambah dampak manfaat atau jumlah penerima dari gerakan kita di pendidikan, tetapi pada saat ada solusi-solusi yang bisa mendobrak batasan-batasan yang membelenggu tumbuhnya potensi individu. Kita perlu memfasilitasi, memediasi, melakukan konsultasi tanpa memandang kelompok rentan sebagai kelompok yang butuh di”terapi” atau bahkan dimanipulasi dan sekadar dijejali informasi agar punya kesadaran tinggi.
ADVERTISEMENT
Usaha mencapai kesetaraan adalah perjuangan memerdekakan diri, yang sama seperti emansipasi, tidak bisa sekadar “diberi”. Bayangkan anak-anak kita dengan berbagai latar belakangnya yang melihat keunikan konteksnya dan melalui proses pendidikan berkualitas untuk bisa berkontribusi dan memberi solusi bagi lingkungan terdekat. Gambaran di atas adalah definisi pendidikan berkualitas untuk memastikan kendali pada masa depan.
Belajar literasi misalnya, bukanlah sekadar rangkaian membaca buku teks yang seragam dari Sabang sampai Merauke atau melalui asesmen kompetensi untuk menilai kemampuan memahami narasi. Praktik di kelas-kelas kita, perlu sangat berbeda. Paedagogi yang memberdayakan, memastikan bahwa ada representasi karya dari sastrawan dengan latar belakang berbeda yang dekat dengan budaya murid dan kearifan lokal dalam silabusnya. Guru yang menggerakkan, mengadakan diskusi dengan mendatangkan berbagai narasumber membahas kaitan tulisan dengan sejarah kota misalnya serta memastikan murid menginvestaris gagasan bahkan tuntutan yang ingin diimplementasikan segera dari apa yang dibaca di teks dan data (serta tentunya memberi kesempatan murid memamerkan hasil belajarnya atau mempresentasikannya ke pimpinan sekolah dan orang tua).
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi ideal ini, akomodasi tak diperlukan lagi karena akar masalah sudah tertangani. Subyek pendidikan kita-semua dan setiap muridnya tak lagi mendapat halangan dan rintangan dalam bentuk pagar-pagar yang membatasi pandangan, menghambat harapan dan pencapaian tujuan. Pagar-pagar di gambar tadi, perlu kita identifikasi dan dieksplisitkan dalam teori perubahan pendidikan-metode seleksi, bahasa pengantar, seragam wajib, guru yang didatangkan dari luar pulau, kurangnya intervensi dini untuk anak dengan kesulitan belajar dan disabilitas, distribusi anggaran daerah, dampak bencana alam, partisipasi politik yang dibatasi-begitu banyak hambatan sistemik yang telah berkontribusi (secara sangat kompleks) pada kesenjangan dalam pendidikan.
Sebagian di antara faktor-faktor ini berkait dengan status individu, sebagian lain berkait dengan kelas dan norma sosial yang tentunya amat sangat saling memengaruhi. Bila kita gagal menanganinya-maka kesetaraan dalam kenyataan akan terus tergerogoti, tangga atau undakan yang kita bangun dengan intensi mencapai equality dan equity, tidak akan pernah kuat fondasinya dan akan langsung roboh atau “meleleh” saat digunakan anak-anak rentan untuk mendaki. Program demi program bukan saja perlu diluncurkan tetapi harus dievaluasi dengan lensa jangka panjang, lintas masa pemerintahan. Komitmen pada agenda keadilan perlu terus dinyatakan, kolaborasi strategi perlu percepatan, refleksi pendekatan yang berhasil mencapai tujuan dan yang gagal dilakukan berkelanjutan perlu terus ditingkatkan.
ADVERTISEMENT
Pengalaman-pengalaman belajar dan mengajar yang memerdekakanlah yang akan menjadi pendorong transformasi pendidikan. Kalau kita sepakat bahwa kualitas pendidikan Indonesia dalam kegawatdaruratan, sudah terang benderang pula bagi kita bahwa keberpihakan kita yang utama seharusnya adalah kepada anak-anak dari kelompok rentan. Kesenjangan pendidikan adalah penindasan pada kemanusiaan. Yang paling terdampak adalah anak-anak yang sejatinya paling membutuhkan akselerasi kualitas bukan sekadar agar sesuai dengan “standard” tetapi agar pendidikan menjadi jembatan perubahan masyarakat yang bersangkutan, digerakkan oleh individu-individu yang selama ini tidak diberi kendali untuk mandiri.
Anda ingin ambil peran menggerakkan perubahan pendidikan? Mulailah dari mengakui kemewahan yang kita dapatkan, kesempatan yang kita peroleh, yang bukan semata-mata murni karena kita berprestasi tetapi karena begitu banyak faktor di luar diri yang ikut memengaruhi keberhasilan kita sampai di titik ini. Tak perlu malu bahwa kita, koreksi-saya - “dibantu” oleh orang tua yang punya pola pengasuhan positif dalam membesarkan anaknya, oleh negara yang memberi subsidi biaya pendidikan di sekolah negeri sejak SD sampai perguruan tinggi, oleh lingkungan yang membuka wawasan sekaligus menguatkan pengalaman belajar dan bekerja selama ini. Pandang semua proses ini sebagai bagian dari utang yang harus dilunasi dengan membuka kesempatan sebanyak-banyaknya bagi yang membutuhkan, bersuara sekeras-kerasnya dan memberikan panggung seluas-luasnya bagi yang jarang terdengar. Mendidik diri kita tentang isu ini, perlu diiringi dengan advokasi dan orientasi beraksi.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, mari memantik percakapan tentang pentingnya publik yang berpihak pada anak dalam kondisi paling rentan. Bukan hanya karena koefisien atau angka statistik sudah memprediksi konsekuensi-konsekuensinya, bukan juga karena kesenjangan pendidikan terbukti menyebabkan kesenjangan pendapatan, tetapi karena kita percaya bahwa pendidikan adalah tanggung jawab moral dan sosial semua kita yang menjadi kunci transformasi masyarakat yang lebih berpusat pada hak-hak manusia.