Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Guru Yang Dirayakan, Pendidikan Politik dan Kewarganegaraan
25 November 2024 21:27 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bahkan sejak usia 3 tahun, anak sudah mampu memaknai kesadaran politik, lewat semua orang yang menjadi teladan. Tapi banyak kita, yang saat dewasa, baru belajar bagaimana menjadi rakyat berdaya. Sejak tahun 2000, skor literasi dasar di PISA (asesment bagi anak usia 15 tahun di dunia) yang rendah, sesungguhnya adalah indikator gagal tumbuhnya kapasitas aktor demokrasi kita mulai awal reformasi di kisaran periode yang sama.
ADVERTISEMENT
Ketidaksiapan kita sebagai warga dan pemegang hak suara, menambah keyakinan, bahwa penghayatan yang baik, akan berkembang utuh bila dimulai sejak dini. Indonesia butuh publik luas yang memegang kendali dan menolak dimanipulasi, butuh warga yang bijak memilih. Ekosistem pendidikan dan pengasuhan tentu bukan penanggungjawab utama, guru dan orangtua tak bisa sendiri menyelesaikan masalahnya. Kalau kita semua tak aktif membangun jembatannya, algoritma media sosial lah yang akan terus memonopoli “pencerdasan” atau tepatnya “pembodohan”, terutama bagi pemilih pemula.
Jangan lupa, mengatasi kesenjangan lebih penting dari persoalan siapa yang lolos seleksi sekolah, karena setiap anak Indonesia, apapun hasil ujiannya, perlu kompetensi esensi, untuk punya suara setara di proses demokrasi dan bernegara (bahkan sebelum 18 tahun usianya).
ADVERTISEMENT
Hari guru tahun ini, diperingati menjelang pilkada. Kita yang lebih dewasa, seolah melalui remedial kelas kewarganegaraan, pancasila dan sejarah, walau sudah tidak lagi jadi murid atau mahasiswa. Momentum ini perlu sekaligus digunakan, untuk memprioritaskan konsep dan miskonsepsi, yang bisa kita diskusikan di lingkup rumah dan sekolah.
Jangan hanya mengandalkan kurikulum atau kebijakan pemerintah! Yang paling berkepentingan agar semua punya kesadaran politik dan nantinya memiliki kebiasaan aktivisme sebagai warga — bukan (calon) pejabatnya — tapi rakyat seperti kita, yang cintanya tak pernah putus bagi (masa depan) Indonesia.
Sejak prasekolah, saat mulai berkomunikasi dua arah dan terbentuk rutinitasnya, anak sudah memahami, ada peran untuk melayani sekaligus membatasi dalam sistem keluarga. Tidak sulit baginya membayangkan, di luar keluarga pun, ada yang menjalankan peran serupa. Kita perlu membicarakan tata kelola pemerintah dan pelayan umum, walau tentu dengan bahasa sederhana.
ADVERTISEMENT
Jebakannya: kita sering mengasosiasikan kekuasaan (guru dan orangtua) dengan pengawasan satu pihak, atau bahkan mengancam anak — “Pak Polisi akan menangkap” kesalahan yang dilakukan. Seyogyanya kita fokus pada pentingnya keterlibatan dalam membuat kesepakatan, juga menggarisbawahi fungsinya dalam mencapai tujuan. Semua hal, dari berlalu-lintas dan peran polisi memastikan memakai sabuk pengaman di kendaraan atau mengantri di pusat perbelanjaan, akan dipahami anak sebagai bagian dari pencapaian diri maupun masyarakat keseluruhan. Disiplin untuk berkomitmen dan mandiri yang kita jalankan positif di keluarga, selain untuk mengatasi kekacauan rumah, menjadi modal pendekatan mengembangkan rakyat kritis serta demokratis sepanjang hayatnya.
Anak kita perlu punya kemampuan membedakan opini dan fakta, mendapat pengalaman bahwa ada banyak cara memecahkan masalah. Mengamati dalam keseharian, perbedaan pendapat berkait preferensi individu dan tak (mungkin) semua punya pendapat 100% sama. Saya tahu, bahwa untuk orang usia lanjut pun hal ini susah, tetapi justru sangat berharap generasi muda tidak sekadar menghafal pelajaran “kewarganegaraan” yang minim esensinya.
ADVERTISEMENT
Tugas di rumah yang dijalankan tanpa pamrih, membuatnya tahu: menjadi gubernur dan bupati bukan hanya soal memperebutkan posisi. Ada tanggungjawab anak dalam konteks mikronya, ada yang harus dipenuhi pemangku kebijakan, dan berkait dengan kehidupan setiap harinya. Taman kota, kemacetan jalan atau tong sampah yang dilewatinya, polusi udara — semua dipengaruhi oleh efektivitas pengelolaan kota. Karenanya, jauh lebih konkrit membahas politik saat pilkada, yang dampaknya jauh lebih kongkrit, dibanding pemilihan presiden misalnya.
Anak dan remaja, mengenal dan mempraktikkan konsep janji. Politisi membuat janji pada publik dengan penuh “berani”. Diskusikan, tanyakan: apakah janji tersebut benar dan baik, tidak hanya untuk kita, tetapi juga untuk rukun tetangga, semua dan setiap rakyat Indonesia. Perdalam dengan anak: siapa yang harus merelakan sesuatu agar politisi dapat menyenangkan orang yang diberi janji? Banyak analogi yang bisa dipakai dari pengalaman anak dengan saudaranya sendiri!
ADVERTISEMENT
Kita perlu menjaga cita-cita negara sejahtera, tapi perlu skeptis juga, mendengar politisi berjanji bahwa pemerintah dapat terus-menerus memberi sesuatu tanpa meminta imbalan apapun juga. Ada konsep keadilan yang tak terpisahkan dari kemajuan, jangan ada pihak yang dikorbankan — bukan karena rela tapi karena dipaksa — saat janji politik diimplementasikan. Gratis ini dan itu, seringkali terlihat terlalu bagus untuk diwujudkan, dan biasanya memang demikian :)
Politisi perlu didemistifikasi — seperti bintang K-Pop idola, mereka hanyalah manusia. Ada yang pintar, jujur, bodoh dan pengecut. Sedikit sekali (jika ada), yang merupakan malaikat seutuhnya. Mereka, seperti kita semua, ada kelebihan dan kekurangannya. Banyak yang layak dapat sokongan, banyak yang harus dilawan dan dikalahkan. Pelayan publik adalah pilihan profesi terhormat, demokrasi membutuhkan orang baik yang terlibat.
ADVERTISEMENT
Sama seperti saya, Anda juga mungkin seringkali frustasi pada pernyataan kandidat atau sikap partai. Yang selalu saya jaga, apalagi di depan anak dan murid yang ada di samping kita serta mengobservasi: menjelaskan bahwa ekspresi frustasi ini muncul karena kita penuh semangat dalam memperjuangkan nilai, bukan marah atau menunjukkan sikap agresi pada siapapun yang ada di layar televisi :)
Sayang, banyak kita yang memfokuskan pembicaraan pada apakah kita suka atau tidak pada karakteristik kandidat saja. Selain menekankan perspektif tak tepat, membahas orang yang asing baginya, membuat demokrasi tak relevan untuk anak kita. Tekankan, memantau hasil pemilihannya, akan selalu jadi kewajiban bersama. Ada kompromi, karena tentu tak ada pilihan yang sempurna, tetapi ada kriteria minimal yang perlu dijaga. Wakil rakyat yang rekam jejaknya dalam mengadopsi regulasi, tidak hanya memikirkan mendulang suara. Mengawal kinerja, tak tergantung jurnalis semata, tapi agenda di meja makan atau rapat mingguan organisasi siswa.
ADVERTISEMENT
Kesadaran politik semacam inilah yang akan jadi bagian pendidikan berkelanjutan, mendorong kepedulian, bukan hanya keramaian sesaat menjelang pemilihan.
Anak yang terbiasa mengambil keputusan, akan jauh lebih mahir dalam bernegara. Mereka paham, membuat keputusan bersama, seringkali bukan soal siapa yang benar atau salah, tapi tentang apa yang menjadi prioritas kita. Memilih mau nonton film apa di akhir pekan; faktor yang menentukan bukan soal siapa aktornya saja, tapi durasi dan jadwal tayangnya, topik film yang berkesan dan sudah ditonton sebelumnya. Kompetensi lain yang dibutuhkan; mampu mencari informasi dari berbagai sumber yang beragam, termasuk membicarakannya dalam berbagai kesempatan.
Sayangnya, anak seringkali berada dalam situasi kampanye yang disamarkan jadi percakapan. Tak heran banyak remaja yang merasa dimanipulasi, kalau orangtua dan guru yang sudah berniat mengkampanyekan pilihan sendiri, tidak menyatakannya sejak awal.
ADVERTISEMENT
Salah satu tanda penalaran tinggi, kemampuan menganalisis motif yang mendasari komunikasi. Beda lho, proses mengolah pesan yang netral dibanding pesan dengan kepentingan. Dalam situasi ideal, semua percakapan dengan anak yang memantik kesadaran, didominasi oleh orang dewasa yang lebih banyak mendengarkan, bukan berusaha meyakinkan. Tak heran, banyak remaja yang menolak terbuka tentang preferensinya, karena tahu, tidak akan mendapat empati malah akan “dinasihati” saja.
Dalam konteks mencari informasi, usahakan pula, menyimak argumen dari pihak yang bersebrangan agenda (kampanye)nya. Lagi-lagi, anak serta remaja kita seringkali justru disalahkan oleh guru dan orangtua, ketika aktif mencari tahu pandangan berbeda.
Budaya percakapan bahkan perdebatan di keluarga ini, jadi fondasi menghadapi lingkaran lainnya yang susah menerima (bahkan menghina) pilihan kita. Contohkan pada anak, bagaimana menghindari pertengkaran dan perundungan dengan menekankan kemerdekaan. Jawab dengan tenang, “Memilih selalu dipengaruhi banyak faktor dan komplikasi, sehingga tak perlu saling memengaruhi, yang penting saling menghormati”.
ADVERTISEMENT
Anak memang tak selalu menyimak dengan penuh perhatian, tetapi momen ini terpatri dalam ingatan, jadi dasar wawasan mereka dalam kebangsaan. Hanya segelintir anak yang akan menjadi politisi, tapi semua anak pasti terdampak oleh buruknya ekosistem politik, bila kita tidak punya determinasi, ikut memperbaiki.
Sebagian kita punya kemapanan finansial dan jaringan sosial yang seolah membuat kita “bisa tak peduli”. Ini jelas salah kaprah, karena kemewahan tidak jadi alasan apati pada proses ini. Mari menjadi yang digugu dan ditiru, bukan hanya di proses pilkada, tetapi yang lebih penting lewat keseharian di sepanjang usia.