Jejak Waktu dan Kumpulan Buku 2020

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
30 Desember 2020 10:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rak buku dan majalah (ilustrasi). Foto: Pixabay/Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Rak buku dan majalah (ilustrasi). Foto: Pixabay/Unsplash
ADVERTISEMENT
Selama wabah, banyak hubungan kita yang berubah, tetapi satu hal yang saya rasakan betul berbeda adalah cara berinteraksi dengan waktu dan buku.
ADVERTISEMENT
Bahwa waktu adalah teka-teki, metode kita memahami masa sekaligus mensimplifikasi, atau waktu adalah ilusi - adalah hal yang seringkali sulit saya hayati. Akan tetapi, hidup di masa pandemi ini membawa perspektif “baru” tentang semesta yang amat fana.
Sepanjang tahun ini, entah kenapa, sesuatu (atau seseorang) yang lebih familiar dan membawa nyaman selalu jadi pilihan. Mungkin ini reaksi wajar dari begitu banyaknya ketidakpastian - membaca ulang buku-buku lama adalah kenikmatan utama di saat senggang. Karenanya, untuk pertama kalinya dalam tradisi rekomendasi tahunan ini, saya akan masukkan buku-buku yang sudah saya baca berulang tetapi tetap sama berkesannya di kedua, ketiga atau keempat kali (demi tetap memberi nilai tambah bagi Anda, saya menghindari memasukan ulang buku yang sudah dicantumkan di daftar pilihan tahun-tahun lalu).
ADVERTISEMENT
Masih dalam rangka keinginan untuk lebih banyak refleksi selama pandemi, sejarah jadi benang merah dari buku-buku pilihan saya tahun ini. Peristiwa yang berulang dan jadi pelajaran, periode yang berhasil dilalui dan jadi tanda kekuatan - banyaknya buku penelitian kepahlawanan ataupun historical fiction di daftar tahun ini berhasil membuat saya mendapat pencerahan (sekaligus keringanan dan kehangatan) yang saya harapkan dari bacaan.
Tanpa berpanjang lagi, di akhir Desember 2020 yang rasanya seolah masih di Februari - berikut buku-buku pilihan saya tahun ini:
”She grows up feeling wrong, out of place, too dark, too tall, too unruly, too opinionated, too silent, too strange. She grows up with the awareness that she is merely tolerated, an irritant, useless, that she does not deserve love, that she will need to change herself substantially, crush herself down if she is to be married. She grows up, too, with the memory of what it meant to be properly loved, for what you are, not what you ought to be.”
ADVERTISEMENT
”The trick is never to let down your guard. Never think you are safe. Never take for granted that your children’s hearts beat, that they sup milk, that they draw breath, that they walk and speak and smile and argue and play. Never for a moment forget they may be gone, snatched from you, in the blink of an eye, borne away from you like thistledown.”
Hamlet akan selalu menjadi milik Shakespeare (dan pencinta karyanya seperti saya), tetapi Agnes (istri sang maestro), yang diimajinasikan kembali oleh O’Farrell dalam novel ini dengan sangat dekat, akan selalu jadi salah satu karakter terkuat, yang bertahun kedepan terus melekat. Ritme penulis saat bercerita, membuat buku ini menenangkan seperti sedang membaca doa, tetapi juga menegangkan seolah sedang menyaksikan kutukan. Kalau saya harus memilih hanya satu buku fiksi yang Anda baca tahun ini - bukan hanya karena ada gambaran konteks tentang epidemiologi - maka karya perempuan asal Irlandia ini akan jadi literatur yang mentransformasi hal yang luput dari penghayatan kita sehari-hari.
ADVERTISEMENT
”In a way, silence is the opposite of all of this. It’s about getting inside what you are doing. Experiencing rather than overthinking. Allowing each moment to be big enough. Not living through other people and other things.”
”I was about to devour my food when Borge suggested we shouldn’t begin eating at once but rather pause for a moment. In silence. We should slowly count to ten internally and only then begin eating, he said. Show collective restraint. Remind each other that satisfaction is also a matter of sacrifice. Waiting felt strange. But I have never felt as rich as I did in that moment of silence.”
ADVERTISEMENT
Kagge adalah manusia pertama yang berhasil mencapai 3 kutub dunia dengan berjalan kaki - kutub utara, kutub selatan dan puncak gunung Everest (bukunya yang lain “Walking” pernah menjadi salah satu buku pilihan saya beberapa tahun lalu). Di buku ini, ia bercerita tentang bagaimana alam berbicara dan ia mampu mendengar lebih banyak justru dalam sepi. Kagge juga mengumpulkan pengalaman orang lain - misalnya pemain sepak bola ternama yang “menulikan” telinga dari keriuhan supporternya setiap kali hendak mencetak gol, atau eksperimen psikologi saat subyek penelitian memilih sengatan kejut listrik dibanding duduk sendirian di ruangan tanpa hiburan. Rahasia terbesar, saya dapat dari ceritanya tentang Manhattan: sepi tidak pernah datang saat ditunggu, tapi perlu diciptakan di manapun kita butuh.
ADVERTISEMENT
“ ‘Want,’ she told her, in a measured tone, ‘is an interesting word. It means lack. Sometimes if we fill that lack with something else the original want disappears entirely. Maybe you have a lack problem rather than a want problem. Maybe there is a life that you really want to live.’ “
”Never underestimate the big importance of small things,’ Mrs. Elm said. ‘You must always remember that.”
Perjalanan fantastis antara hidup dan mati, deskripsi tentang penyesalan dan pilihan kehidupan yang hangat tapi tak “cheesy”. Haig punya kemampuan mengurai emosi yang luar biasa dalam setiap bukunya (untuk anak maupun dewasa). Akan tetapi novelnya kali ini - mungkin karena deskripsinya tentang perpustakaan yang selalu dekat di hati atau karena kutipan Rusell dan Sartre, melampaui ekspektasi saya sebagai pembaca.
ADVERTISEMENT
”In 1913, Thomas Edison declared that the age of books was about to give way to the age of motion pictures. He told an interviewer, ‘Books will soon be obsolete in the public schools. Scholars will be instructed through the eye. It is possible to teach every branch of human knowledge with the motion picture. Our school system will be completely changed inside of ten years.’ When Edison’s ten-year prediction failed to come to pass, he simply gave himself more time.”
“First, new technologies in education are not, in fact, wholly new; they build on a long history of education innovations. Second, there are certain basic obstacles that time and time again have tripped up the introduction of large-scale learning systems.”
ADVERTISEMENT
Membedakan mana yang shahih secara paedagogi dan mana yang sekadar “market fit” dan trendi, atau mana prediksi yang tak akan pernah terbukti - adalah keterampilan paling esensial untuk pendidik di masa kini. Sayangnya (atau untungnya?) tidak ada satu solusi yang mudah dan berlaku untuk semua - apalagi dalam kondisi pendidikan yang belum merata seperti di Indonesia. Topik buku ini sangat berkait dengan tema Temu Pendidik Nusantara yang baru saja terselenggara. Saya bukan hanya beruntung karena telah membacanya, tapi juga dapat kesempatan mendiskusikannya dengan begitu banyak guru selama pandemi ini, saat teknologi jadi bagian tak terpisahkan bagi murid sejak usia dini hingga perguruan tinggi.
Paparan (dan pengakuan Reich) tentang pentingnya keragaman metode dan panduan rekan sejawat, juga pertanyaan tentang “apa yang baru” dan layak diterapkan - penting mendasari perdebatan lanjutan tentang tujuan integrasi digital dalam belajar-mengajar.
ADVERTISEMENT
“Nabi Muhammad saw. tidak pernah menghardik bujangnya. Nabi saw. menyayangi segenap kaum kerabatnya. Lemah lembut sikapnya pada anak cucunya. Rumahnya adalah rumah kebaikan, malu dan budi - tidak ada orang yang membicarakan aib orang lain disana”
“Bagi kita peminat sejarah umat Islam di Indonesia, sebelum menyebut Demak hendaklah kita perhatikan Giri. Kemudian terdapat pula catatan bahwa raja-raja Mataram mendapat gelar sultan dari pengakuan Giri pula. Sehabis berkuasa Demak, disambut oleh Pajang, dan akhirnya Mataram, Giri masih tetap menjaga perjalanan agama Islam.”
Buku ini ditulis oleh Buya Hamka pada tahun 1930-an sampai tahun 1960-an dan hingga kini masih jarang sekali karya yang membahas bukan hanya penyebaran Islam di Jazirah Arab dan Eropa tetapi juga di India dan Afghanistan. Sebagaimana disampaikan penerbitnya, ada perbedaan penyajian fakta sejarah dalam buku ini dibanding karangan ulama lainnya. Namun, justru ini yang paling menarik bagi saya, kesempatan menyelami perspektif Buya Hamka tentang kerajaan Islam di Jawa, Aceh dan Maluku termasuk perjuangan kepahlawanan terhadap penjajah. Gaya penuturannya yang selalu lugas tetapi juga penuh hormat - serta kecintaan beliau pada Islam - Rasulullah, Sahabat dan tokoh-tokoh yang berjasa dalam rentang berabad lamanya - tercermin secara utuh lewat karya ini.
ADVERTISEMENT
”It's true: lives do drift apart for no obvious reason. We're all busy people, we can't spend our time simply trying to stay in touch. The test of a friendship is if it can weather these inevitable gaps.”
”Every life is both ordinary and extraordinary - it is the respective proportion of those two categories that make that life appear interesting or humdrum”
Membaca buku ini di 2002 dan 2020 tetap terasa sama “segarnya”. Logan, adalah salah satu karakter penemuan Boyd yang terasa “paling nyata”. Artikulatif dan filosofis tetapi juga memancing tawa (bahkan kadang naif), novel ini menggambarkan keunikan masyarakat Inggris serta perjalanan ke berbagai negara dalam format buku harian yang sangat enak dibaca.
ADVERTISEMENT
”Equal educational opportunity is, indeed, both a desirable and a feasible goal, but to equate this with obligatory schooling is to confuse salvation with the Church.”
”A good educational system should have three purposes: it should provide all who want to learn with access to available resources at any time in their lives; empower all who want to share what they know to find those who want to learn it from them; and, finally, furnish all who want to present an issue to the public with the opportunity to make their challenge known.”
Ivan Illich dan paedagogi kritis, selalu menjadi rujukan tentang apa yang mungkin dan sudah terjadi dalam konteks pendidikan alternatif dan berbagai gerakan komunitas, homeschooling ataupun jaringan belajar di internet. Saat membaca kembali buku ini di tahun ini, saya punya kesempatan (dan waktu lebih banyak :)) untuk membandingkan tulisannya dengan rujukan literatur lain. Herbert Gintis, Dididier Peviteau, Petrovsky, Lee Hoinachki dan Carl Mitcham serta Charles Taylor - melakukan analisa lanjutan, termasuk tentang pergeseran pemikiran Illich sendiri, dan memantik berbagai diskusi yang masih berlangsung sampai hari ini. Tulisan-tulisan di buku ini, jadi dasar yang penting sekali untuk memahami keterkaitan antara pendidikan dengan masyarakat, agama, politik dan ekonomi.
ADVERTISEMENT
“Persatuan ibu-ibu habis menyusui ikut ketiduran”
“Namun, pada akhirnya … tidak ada yang mengalahkan rasa bahagia saat anak kita memeluk & menyampaikan cintanya pada kita, dengan caranya :)”
Komik favorit, kreasi teman baik saya, Puty Puar, yang jadi contoh representasi bahwa belajar “mencintai dengan lebih baik” selalu lebih efektif dengan berbagi cerita, terutama saat kita bersedia mengakui bahwa “tidak ada orangtua yang sempurna” (apalagi saya :)). Selain terus berusaha, kita juga perlu menerima diri dan teman perjalanan pengasuhan apa adanya.
‎اريد ان اكتب لك كلاما
‎لا يشبه الكلام
ADVERTISEMENT
‎واخترع لغة لك وحدك
‎و مسا حة حبي
“I want to write different words for you
To invent a language for you alone
To fit the size of your body
And the size of my love.”
Karya Nizar Qabbani, Syria.
Antologi dalam bahasa Arab dan Inggris yang merangkai tradisi literasi sejak abad VI, dari Maroko hingga Irak, dari pejuang legendaris pra-islam ‘Antara, penyair Andalusian Ibn Zaydun, legenda seperti Rabi‘a al-‘Adawiyya dan Khalil Gibran, sampai pujangga Mesir Ahmad Zaki Abu Shadi. Lima puluh puisi di sini berbicara tentang romantisme alam dan cinta, provokasi politik dan agama - menemani saya di saat wabah dan di rumah aja, tetapi paling sering dibawa kemana saja dan dibaca sebelum menutup mata.
ADVERTISEMENT
“Sebetulnya semua orang tahu kalau Kompeni mereguk habis kopi dari seluruh penjuru Nusantara tapi mereka berlagak bodoh”
“Akibatnya, si kuat akan berbuat apa yang bisa mereka lakukan, sedangkan si lemah akan berbuat apa yang terpaksa mereka lakukan.”
Tragedi dan kepahitan, semangat muda dan anti penjajahan yang sampai saat ini pun masih perlu terus diingatkan membuat kopi di novel ini bukan hanya sekadar pelengkap gaya hidup yang dinikmati setiap pagi. Ketekunan riset penulis tentang etnografi, paparan setting Parahyangan yang menjadi “sarang mutiara hitam” dan gambaran tentang perantauan - membuat karya ini layak diapresiasi.
“that we don’t want our children to pursue their own dreams or walk in our footsteps. We want to walk in their footsteps while they pursue our dreams.”
ADVERTISEMENT
“You can’t live long with the ones who are only beautiful. But the funny ones – oh, they last a lifetime.”
Terlalu banyak kalimat indahnya yang membuat ini buku tersulit di daftar tahun ini saat saya harus memilih hanya dua kutipan favorit saja. Bonus satu kutipan ya :)
“Her fingers traced the spines of the books on the shelves as if she were dreaming not as if she were looking.”
Bikin ngakak di banyak halamannya, narasi yang detil (dan penuh kejutan) tentang perilaku manusia (anak dan orangtua, psikolog dan kliennya, polisi dan para saksi serta pelaku kejahatannya) plus sedikit misteri dan kisah kasih , sedikit lagi tentang sepi dan depresi. Novel ini punya semua formula yang penting untuk jadi bacaan langganan, diceritakan ulang dalam percakapan dan direkomendasikan ke teman sebaya juga para remaja :) untuk yang belum mengenal karya penulis Swedia ini sebelumnya, ada salah satu yang juga populer dan sudah ada film-nya “A Man Called Ove” yang diperankan Tom Hanks (anggap aja judul ini bonus paket rekomendasi buku dan film - no 11b dan 11c ya :))
ADVERTISEMENT
“Dalam kunjungannya ke Yogyakarta, pada 1838, setelah hampir tiga tahun lamanya perang menghancurkan gedung-gedung terbagus di kota itu, Willem van Hogendorp menulis: ‘ Solo (Surakarta) selalu memberi saya kesan yang luar biasa, tetapi Djocja (Yogyakarta) dalam masa kemuliaannya pastilah merupakan Versailles Jawa’.”
“Tidak ada lagi jalan mundur. Di depan terbentang nyaris lima tahun lamanya perang yang akan menelan korban jiwa sekitar 200.000 orang Jawa dan mengharu biru kehidupan dua juta orang lagi. Selama masa ini sisa-sisa tatanan lama Jawa akan musnah. Hanya seabad lebih sedikit akan berlalu sebelum Jawa kembali mengenyam kebebasan sebagai bagian Indonesia merdeka”
ADVERTISEMENT
Perang Diponegoro, yang semua murid Indonesia hafal tahunnya adalah 1825-1830, bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Kalau Anda sama seperti saya, hanya tahu sepotong saja tentang Sang Pangeran dan babad tanah Jawa - maka historiografi Peter Carey yang disajikan lewat penelitian ilmiah - akan membuat Anda mengambil teladan dari apa yang terjadi, sekaligus memahami bahwa isu seperti korupsi pejabat dan intrik politisi, hubungan Islam dan kebangsaan, juga kesetaraan sosial dan konsumerisme adalah isu yang sama pentingnya di masa lalu Nusantara, masa kini dan masa depan kita nantinya.
“Each novel you read (never mind the novels you write) will give you some theory of which attitude is best to strike at which moment, and—if you experience enough of them—will provide you, at the very least, with a wide repertoire of possible attitudes. But out in the field, experience has no chapter headings or paragraph breaks or ellipses in which to catch your breath . . . it just keeps coming at you.”
ADVERTISEMENT
“Thing is, we’re a community, and we got each other’s back. You’ll be there for me, and I’ll be there for you, and we’ll all be there for each other, the whole building. Nothing to be afraid of – we’ll get through this, all of us, together.” “Yes, we will,” I whispered, hardly audible, even to myself …”
Penulis favorit lainnya, yang lagi-lagi esainya menunjukkan bukan hanya kemampuan berpikir yang sangat spesifik tentang manusia dan budaya tetapi sekaligus persepsi yang kritis tentang opini diri sendiri. Ada ribuan bacaan yang terbit tentang lockdown dan pengalaman di masa pandemi, tapi buku kecil ini (hanya enam tulisan) akan selalu jadi kilas balik yang paling berarti - ajakan lebih banyak mengobservasi yang dialami sekaligus mendengarkan diri sendiri. Bukan hanya buku non fiksi yang terbaik yang saya baca tahun ini, tetapi juga karya yang membuat saya menyadari kembali kekuatan tulisan (dan penulis) untuk membuat kita merasa berdaya menghadapi semua yang tak bisa dikendalikan di semesta.
ADVERTISEMENT
Satu lagi, tahun ini adalah tahun pertama di 10 tahun terakhir, saya lebih banyak membaca buku-buku fisik dibanding buku elektronik. Relevansi memang bukan hanya soal yang terkini atau berbasis teknologi. Nyatanya tahun ini pun saya (juga Anda) lebih sering naik tangga dan sepeda daripada lift atau kendaraan beroda lainnya :)
Terima kasih untuk semua penulis yang membuat karyanya abadi. Semoga Yang Maha Kuasa selalu memberi bukti pada kita agar lebih berani dan mengingatkan pentingnya saling berempati.
Salah satu resolusi untuk tahun depan nanti: ingin bikin klub diskusi buku sehingga lebih banyak kesempatan mendengarkan dan berbagi. Siapa yang mau ikutan, ditunggu pesannya ya di japri :)