Kerja Sama-Sama dan Sama-Sama Kerja

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
27 Juni 2022 16:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan hamil bekerja. Foto: PR Image Factory/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan hamil bekerja. Foto: PR Image Factory/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Perbedaan utama kerja sama dibanding kompetensi lainnya, alih-alih hanya menggambarkan kemampuan individu, konteks interaksinya tinggi sekali. Kerja sama, hanya bisa diidentifikasi dan dievaluasi antar orang dan sekeliling yang ikut berkontribusi.
ADVERTISEMENT
Kompetensi ini hanya tumbuh dan disuburkan oleh lingkungan yang tepat. Sifatnya yang dua arah bukan berarti individu hanya pasrah menerima nasib berada di lingkaran mana, tetapi justru menunjukkan pentingnya kita memilih tempat belajar dan berkarya yang sekaligus memberi kesempatan mengasah kolaborasi setiap individu di dalamnya.
Di dalam kelompok, kita bukan hanya punya kewajiban sebagai anggota, menjunjung spirit sekolah atau patriotisme pada negara, tetapi berbagi keyakinan yang sama, bahwa ada perilaku tertentu yang terpuji dan perlu dicapai. Berapa banyak di antara kita yang secara sadar mencari dan mempertahankan integritas moral bersama-sama?
Sebagian besar dari pekerja, melihat kariernya dari lensa keberlanjutan finansial dan lupa bahwa esensi dari perkembangan di usia dewasa bukan hanya kemampuan meraih kemapanan secara ekonomi, tetapi juga memengaruhi ekologi. Ekosistem yang ideal untuk pertumbuhan manusia, apa pun bidangnya, selalu yang paling memunculkan blended strength yaitu ada loyalitas pada tempat kerja, tetapi ada regulasi diri pada masing-masing yang bekerja dan kerendahan hati dari semua.
ADVERTISEMENT
Berapa banyak dari kita, dan organisasi kita yang menempatkan humility sebagai salah satu budaya yang perlu dijaga? Orientasi pada ego dan branding pribadi, membuat nilai ini semakin langka. Padahal, penelitian longitudinal tentang dampak kolektif dari organisasi jelas menunjukkan kualitas ini sebagai prediktor keberhasilan tertinggi.
Berada di organisasi non profit ataupun for profit dengan kesinkronan nilai, menjadi prasyarat kesinkronan aksi. Kita tahu bahwa yang berada di dalamnya dan melakukannya mendapat pengalaman menyenangkan, yang kita belum tahu bahwa bahkan yang menyaksikannya pun mendapat pengalaman yang mengesankan.
Bayangkan situasi di mana kita menikmati pertandingan renang indah, atau bahkan sepakbola dengan koordinasi antar pemain yang membuat permainan jadi nikmat bagi penontonnya - kerja sama di organisasi persis seperti itu prosesnya, walau dalam ritme lebih pelan dan durasi lebih lama dan juga kadang tak “senyata” itu bagi kita. Di organisasi yang saya pimpin, refleksi tentang efektivitas bersama, tentang pengaruh performa satu orang kepada orang lainnya, jadi latihan penting untuk semua.
ADVERTISEMENT
Bahkan di saat ditemukan adanya kegagalan, alih-alih mencari satu kambing hitam tapi memahami pola di lingkaran keputusan yang menjadi penghambat atau pemantik kesalahan adalah langkah pertama evaluasi yang dibiasakan. Semua perlu berubah untuk mencapai misi bersama. Riset menunjukkan, semakin sulit apa yang akan (atau sedang dilakukan), solidaritas justru menjadi kekuatan utama yang membantu setiap orang menghadapi oposisi dan ketidakpastian.
Bekerja sama dalam konteks belajar, seringkali tak jadi prioritas utama. Padahal, pendidikan adalah area penempatan yang akan berdampak sangat signifikan untuk kemampuan kerja sama di masa depan. Yang biasanya disuburkan?
Justru kompetisi berlebihan dan klasifikasi “si pintar” dan yang “hanya sedang”, yang terpilih dan yang juara, yang “biang kerok masalah” dan “nggak jelas maunya apa”. Padahal, yang jelas tak jelas adalah strategi kita sebagai guru dan orang tua dalam memanfaatkan semua kesempatan sebagai latihan bekerja sama. Salah satu contoh misalnya, berapa banyak guru yang menetapkan kelompok secara random semata dan berapa banyak yang memikirkan berbagai alternatif kombinasi sesuai kebutuhan muridnya?
ADVERTISEMENT
Riset menunjukkan banyaknya jumlah anggota, karakter individu di dalamnya, adalah salah satu hal yang sangat berpengaruh terhadap prestasi murid kita. Kita juga tahu betul, di tempat kerja nantinya, dinamika kelompok ini, akan sangat memengaruhi kesuksesan target organisasi. Tetapi, kita melepas lulusan-lulusan kita tanpa pengalaman mengenal diri, mengidentifikasi kontribusi dan dinamika interaksi. Kita menyia-nyiakan belasan tahun di pendidikan tanpa membiasakan kesepakatan bersama, umpan balik dari teman atau kakak dan adik kelasnya, prosedur resolusi konflik dan mediasi teman sebaya, apresiasi rutin akan keunikan dan keahlian semua yang jadi bagian dari komunitas sekolah dan madrasah.
Mengajarkan dan meneladankan kerja sama di lingkaran pendidikan ataupun pekerjaan adalah gabungan dari hal-hal yang kita lakukan dan hal-hal yang TIDAK kita lakukan. Menggiatkan sifat saling peduli tentu penting dilakukan, tetapi tak akan ada artinya bila kita membiarkan “free rider” yang tak ikut serta dalam proses kelompok tanpa konsekuensi yang mesti dipertanggungjawabkan.
ADVERTISEMENT
Memastikan bahwa komunikasi antar tim berlangsung penuh empati, wajib jadi norma organisasi yang selalu dipatuhi, tetapi tidak akan ada artinya bila sewaktu rapat agenda selalu bertele-tele atau tak ada kesempatan untuk bersikap kritis dan terus berefleksi. Meminta kelompok untuk menetapkan tujuan berkala dan laporan di akhir kegiatan harus jadi bagian dari evaluasi kinerja divisi, tetapi hanya jadi prosedur basa-basi bila laporan tentang (dugaan) pelecehan atau diskriminasi terhadap disabilitas, tidak pernah secara serius ditindaklanjuti.
Ujian tentang kompetensi individu untuk bekerja sama, kemampuan organisasi untuk menguatkannya memang akan selalu kita hadapi. Berbagai tantangan selama dan setelah pandemi yaitu saat ruang belajar, bekerja, bahkan berumahtangga dan penggunaan sosial media terdisrupsi jelas menunjukkan bahwa yang bisa terus berkembang (bukan sekadar bertahan) adalah yang punya modal kerja sama kuat untuk kompetensi kolektif di masa ini.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, krisis juga bisa memunculkan rasa teralienasi, kecendrungan mau “menang sendiri”, berkurangnya waktu koordinasi, rasa terancam yang membuat potensi risiko terus dihindari. Semua hal ini, perlu dimitigasi agar tidak menggerogoti budaya kerja sama yang sangat berharga untuk keberhasilan jangka panjang kita. Adaptasi dan transformasi membutuhkan resiliensi, yang datangnya bukan dari diri sendiri, tapi kerja sama yang dipraktikkan dan dihayati. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, jadi berjuta kali lebih penting, “when winter is coming”.