Menghormati Orang Tua, Fondasi Penting atau Ketinggalan Zaman?

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
22 Januari 2024 9:24 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak masak bersama orang tua. Foto: fizkes/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak masak bersama orang tua. Foto: fizkes/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menghormati orang tua, bukan konsep pengasuhan dan pendidikan yang usang! Keharmonisan keluarga selalu jadi bagian yang sangat penting dalam norma budaya. Prinsip penghormatan yang sama juga ada dalam agama. Menghormati orang tua, nyata terbukti sebagai prasyarat dasar hubungan, yang menumbuhkan individu yang kompeten (ingat: kompetensi meliputi karakter yang dipraktikkan!) di semua tahapan perkembangan.
ADVERTISEMENT
Apakah kita termasuk yang kaget pada pernyataan di atas, atau menganggapnya sebagai pandangan tradisional? Sangat mungkin, persepsi kita akan apa yang dibutuhkan oleh anak dari orang tuanya, sekaligus definisi kita tentang menghormati, masih dipenuhi banyak miskonsepsi.
Bagi sebagian orang tua, kata penghormatan sering diasosiasikan dengan ketakutan. Padahal, penghormatan yang menjadi tujuan selalu didasari kesadaran akan cinta yang kuat. Untuk kita yang dibesarkan dengan pengalaman pengasuhan yang menolak diskusi sama sekali, hormat pada orang tua seringkali disalahartikan sebagai kepatuhan yang satu arah. Saat giliran tiba menjalankan peran pengasuhan kita, hal pertama yang harus kita “pelajari kembali” adalah, penghormatan pada orang tua adalah kondisi yang saling melengkapi dengan penghormatan pada anak.
Menghormati orang tua, tak berarti berarti 100% setuju dan seiya sekata, tetapi berarti seberapa kuat pun perbedaan yang dipertanyakan, tak seorang pun di keluarga yang layak diperlakukan tidak sopan. Membanting pintu atau sindiran sarkas (seberapa pun “lucu”nya) - hanya akan jadi contoh yang salah dan duri dalam daging di hubungan timbal balik antara orang tua dengan anaknya hingga dewasa.
ADVERTISEMENT
Jangan-jangan “trauma” pada pola pengasuhan masa lalu kita, membuat kita punya stigma pada kata “hormat” sebagaimana seharusnya. Yakinlah, hanya anak dan remaja yang mendapatkan kebutuhan dasarnya-a.l. diajak bermain dan diterima tanpa syarat-yang akan mendapat teladan dan makin menguatkan relasi dengan orang tua yang penuh hormat. Mampu mendengarkan dan menunggu giliran berbicara sampai mampu memahami sudut pandang orang tua saat melarang kita, dibiasakan karena ada saling empati dan semua anggota keluarga kebutuhannya terpenuhi.
Dalam kasus yang berbeda, ada sebagian orang tua yang ragu dirinya akan tidak disukai, gagal menjadi “teman anak” saat berperan otoritatif memberikan arahan dan batasan. Anak-anaknya, dengan niat baik tentunya, “sengaja dibiarkan” 100% memilih bahkan untuk hal-hal yang belum dimiliki pengetahuannya. Orang tua-orang tua ini seringkali misalnya berkata; anak bebas mau makan apa, tapi lupa bahwa kebiasaan makan anak dimulai dari apa yang disediakan di rumah, makanan yang disepakati untuk tidak pernah dibeli saat berbelanja dan tidak dimakan bersama. Makan adalah keterampilan yang perlu latihan dan panduan orang dewasa yang paham gizi seimbang yang dibutuhkan keluarga, bukan sekadar soal selera tentang apa yang disuka.
ADVERTISEMENT
Banyak contoh lain sehari-hari, membiarkan anak “mandiri” dalam memilih sekolah sendiri misalnya, di usia di mana kriteria tentang apa yang menjadi tujuan pengasuhan, atau pemahamannya tentang struktur lingkungan dan lembaga persekolahan tentu amat sangat minim dibanding orang tua yang berpengalaman. “Kepercayaan” berlebihan pada anak, di saat ia belum mencapai kematangan, bukanlah tanda kepedulian, melainkan tanda pengabaian kendali dari yang orang tua seharusnya memegang amanah ini.
Menghormati orang tua, sangat esensial untuk membuat manusia (di segala usia), memiliki rutinitas yang mendukung kesejahteraan jasmani dan rohaninya. Arahan untuk tidur cukup dan lebih banyak berolahraga atau rutin beribadah-misalnya, membutuhkan batasan yang tegas sejak balita. Banyak sekali masalah yang kita temui di pemuda-pemudi kita, dari obesitas sampai kesulitan konsentrasi atau bahkan ketidakmatangan emosi dan depresi, yang muncul karena kegagalan keluarga menerapkan struktur disiplin sejak dini.
ADVERTISEMENT
Membolehkan remaja bermain video games di kamar hingga larut sekali, mengambil alih masalah anak yang menuju dewasa dengan teman/pasangan karena khawatir berlebihan ia akan “tersakiti” - semua contoh ini jauh lebih sering dialami dalam konteks ayah dan ibu yang enggan menunjukkan “authorithy”. Salah satu rasionalisasi para orang tua? “Jangan sampai anak saya tak populer di antara temannya”, atau yang sangat sering juga saya terima “biar dia belajar sendiri konsekuensinya”.
Di sini kita perlu memahami praktik baik metode penumbuhan nilai dalam perkembangan manusia. Nilai diajarkan dengan menumbuhkan anak yang memiliki identitas kuat tentang prinsip-prinsip yang mengakar dalam hidupnya. Anak tidak menjadi jujur setelah mendapat konsekuensi dari berbohong, anak menjadi jujur pada saat orangtuanya memberi “label” bahwa ia anak yang jujur, mencontohkan kejujuran di situasi sulit di mana integritas diujikan, dan kemudian ia mengidentifikasi dirinya sebagai “orang jujur” dengan penuh kebanggaan, sambil menunjukkan kompetensi yang merepresentasikan nilai ini di saat ia menghadapi masalah-masalah di pergaulan.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, mengajarkan nilai, dan memastikan perkembangan moral yang sesuai, berbeda dengan proses mengajarkan perilaku lain sehari-sehari yang punya konsekuensi instan dan dapat anak pelajari. Biarkan saja lompat-lompat nanti juga “berhenti saat kehabisan energi” atau “stop kalau jatuh dan sakit sendiri” sering kita terapkan saat kita membentuk perilaku anak untuk lebih berhati-hati. Tapi jangan lupa, melompat untuk melatih motorik kasar adalah tugas perkembangan dan kebutuhan anak di usianya. Konsekuensi dan “pembiaran” seperti ini pun tidak mungkin kita lakukan saat anak melompat-lompat di tempat yang mengancam secara fisik, misalnya di pinggir jalan yang berbahaya sekali.
Herannya, orang tua yang sama, di kondisi yang mengancam secara moral, cenderung abai memberikan tuntunan untuk menunjukkan penghormatan pada orang tua dan nilai yang dipercaya. Tak ada seorang anak pun yang tugas perkembangannya “menentang nilai” yang esensial dalam kehidupan bersama.
ADVERTISEMENT
Tugas orang tua: mencegah dan menyatakan “tidak” perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai, tujuannya: mendidik anak yang memiliki kemampuan mengendalikan diri dan terbiasa rendah hati. “Semau gue” karena tak ada figur yang konsisten pada apa yang disepakati, jelas bukan fondasi yang dibutuhkan untuk anak mengembangkan diri.
Penghormatan pada orang tua adalah dasar menumbuhkan kemandirian, bukan ketergantungan. Karenanya, penelitian menunjukkan, bahwa penghormatan orang tua merupakan faktor penting yang mendorong kemandirian berpikir alias kreativitas. Bertolak belakang dengan anggapan bahwa berpikir orisinil membutuhkan pembangkangan, dan anak-anak yang “melawan” adalah tanda “kemerdekaan”, riset menunjukkan bahwa faktor penghambat kreasi dan prestasi adalah conformity. Di masa kini, “keren”, seringkali berarti disukai sebaya dan berbeda dengan “cara orang tua”. Menjadi “populer” di mata anak, dan berharap anak menjadi “ngetop” dalam pergaulan bahkan menjadi indikator keberhasilan sebagian orang dalam pengasuhan. Semakin marak budaya “disrespect” di sekitar kita, termasuk apa yang disebarkan lewat lagu atau media sosial, semakin sulit bagi anak maupun orang tua untuk menolak tekanan, dan akibatnya menjadi makin cuek atau tak peduli pada tradisi berharga “hormat pada orang tua”. Semakin langka pula individu-individu yang tetap memegang wejangan ini dalam pengasuhan kita. Pada akhirnya, studi menunjukkan keteguhan sikaplah yang menjadi kunci dari kemampuan berinovasi dan mengelaborasi ide. Bayangkan dampaknya lintas generasi, bila justru yang disuburkan di keluarga adalah “fear of missing out” dan sekadar mengikuti apa yang jadi konvensi.
ADVERTISEMENT
Anda sendiri, terperangkap salah kaprah yang mana selama ini? Refleksikan bersama dengan menggunakan tulisan ini sebagai pemantiknya ya. Penghormatan kepada orang tua, nilai yang jadi fondasi untuk menguatkan peran orang tua dalam menguatkan nilai-nilai penting lainnya, sepanjang hidup anak-anak kita.
Mari memulai pola di keluarga, di mana nilai-nilai bisa ditumbuhkan lewat percakapan bermakna. Di meja makan masing-masing hari ini ya! Cari topik yang “aman” sebelum berlatih di topik yang lebih kontroversial. Ketegasan orang tua, akan hak dan kewajiban dalam keluarga, adalah tanda cinta pada cita-cita masa depan anak-anaknya.