Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Mengkurasi Kenyataan dan Ilusi Pilihan bagi Perempuan
13 Juni 2022 12:54 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Begitu banyak kita yang punya impian tentang kehidupan yang sempurna. Sebagai perempuan dengan begitu banyak peran yang dijalankan, bayangan tentang pekerjaan yang mencapai cita, keinginan tentang pasangan, anak atau gaya yang di atas rata-rata, jadi bagian dari khayalan juga perencanaan harian kita. Tumbuhnya potensi yang utuh, mewujudkan apa yang kita ingin dan butuh, adalah syarat dasar kesejahteraan manusia, apa pun jenis kelaminnya. Hal-hal tersebut sebenarnya bukanlah mimpi yang muluk.
ADVERTISEMENT
Hidup yang dijalankan dengan asumsi bahwa kita memiliki pilihan adalah keniscayaan buat sebagian yang punya kemewahan. Saya dan Anda termasuk kelompok yang beruntung secara strata sosial dari perempuan kebanyakan. Dalam posisi sekarang pun, banyak kita yang tidak menyadari, mayoritas perempuan saat ini (termasuk diri kita sendiri) sebenarnya berhadapan dengan berbagai batasan struktural. Pun yang merasa dan berusaha optimal, sebenarnya masih harus mengkurasi kenyataan, apalagi mereka yang hidup serba pas-pasan.
Data soal bias dalam penghasilan, bahwa di posisi tertinggi di korporasi pun, perempuan dengan jabatan yang sama hanya mendapatkan renumerasi 60-77% dari penghasilan laki-laki, sudah kita ketahui. Yang jarang kita sadari, bias ini sudah terjadi bahkan dalam proses seleksi, saat pemimpin korporasi memberikan rekomendasi, perempuan dianggap “tidak cocok” karena perilaku “feminin” seperti lebih menunjukkan empati dan berbagai emosi atau terlalu “kolaboratif” dalam dunia bisnis yang kompetitif. Di saat yang sama, evaluasi negatif juga diterima (calon) pemimpin yang “melanggar” karakteristik “keperempuanannya” karena dianggap terlalu ambisius atau agresif. Jelas, pilihan atas apa yang dilakukan atau tidak dilakukan perempuan, jauh lebih terbatas sekaligus di “judge” berlebihan dibanding yang dibayangkan.
ADVERTISEMENT
Salah satu umpan balik (kalau tidak ingin dibilang curhatan) yang juga sering saya terima, bahkan hak dasar seperti memiliki mentor yang membimbing pengembangan karier pun, tidak otomatis dimiliki perempuan. Masih sangat minim sesama perempuan dengan pengalaman serupa yang berada di posisi atas, dan saat mengharapkan mentor laki-laki pun, sulit bagi perempuan untuk menembus lingkaran “men’s club”.
Yang mungkin mengejutkan, di saat belum ada kesetaraan penghasilan, perempuan dipaksa mengeluarkan lebih banyak uang untuk berbagai keperluan. Saya menganga, saat mengetahui bahwa mainan atau perlengkapan tulis “untuk bayi dan anak perempuan”, harganya rata-rata 7-17% lebih tinggi daripada yang didesain untuk laki-laki. “Pink Tax” juga nyata di harga pembalut saat remaja, di premi asuransi dan pembiayaan kesehatan kita sepanjang usia.
ADVERTISEMENT
Argumen yang paling sering saya dengar saat bercerita mengenai tidak tersedianya ekosistem yang mendukung kemajuan perempuan, adalah bahwa laki-laki sekarang juga banyak dirugikan oleh keadaan. Data memang menunjukkan, bahwa terlepas dari segala keunggulan bawaan sebagai laki-laki untuk mendapatkan kekuasaan dan pekerjaan, ada hambatan bagi laki-lagi dalam mendapat dukungan sosial-emosional.
Tetapi, perbedaan antara “ketidakadilan” bagi laki-laki dibanding ketidaksetaraan perempuan hingga kini, sangat perlu kita pahami.
Pertama, laki-laki tidak “dihukum” saat menunjukkan perilaku sesuai dengan stereotip gender maskulinnya, hanya saat ia menunjukkan beberapa aspek yang dipandang “lemah” alias menyerupai (perempuan) lawan jenisnya. Sementara perempuan, sebagaimana diuraikan di atas, dirugikan oleh perilaku feminin yang dikuatkan oleh pengasuhan dan pendidikannya, kemudian tetap mendapat penalti saat mencoba “meniru” perilaku laki-laki.
ADVERTISEMENT
Kedua, ketidaksetaraan bagi perempuan bukan saja diinstitualisasi secara non-formal, namun juga dalam konteks hukum formal. Masih banyak hukum negara dan agama yang teks atau interpretasinya melihat perempuan sebagai milik laki-laki, dari mulai larangan keluar rumah sampai memilih pekerjaan tanpa izin suami seperti yang berlaku di Yaman atau Kamerun saat ini, hingga sanksi dan prosedur membebani yang harus dilalui oleh korban dan penyintas kekerasan seksual yang masih terjadi di Indonesia saat ini. Suka atau tidak suka, salah satu faktor yang mempertahankan ketimpangan ini adalah minimnya jumlah perempuan yang berperan dalam regulasi dan legislasi (kurang dari 22% di anggota parlemen parlemen dan pemimpin pemerintahan perempuan di seluruh belahan bumi).
Semua pilihan punya konsekuensi, dan ini disadari perempuan sejak dini. Karenanya menjadi tidak adil sama sekali pada saat pilihan perempuan dibatasi dengan alasan melindungi. Biaya atas kebebasan, adalah bagian dari kehidupan yang dibayar oleh laki-laki dan bersedia ditanggung oleh perempuan untuk mendapatkan hak asasinya. Pada saat mengerjakan tugas yang sama, mencapai prestasi yang sama, tentu perempuan tidak sedang berargumen bahwa ada karpet merah khusus bagi kita.
ADVERTISEMENT
Kenyataannya, jangankan afirmasi, apa yang sudah jelas-jelas dimiliki pun, mudah sekali dirampas dengan (atau tanpa) alasan inkompetensi ataupun tuntutan tradisi.
Fakta yang harus kita hadapi bersama, di dunia yang katanya makin berkelanjutan kini: 60 juta anak perempuan tidak atau putus sekolah, 15 juta dipaksa menikah dini setiap tahunnya, dan 2/3 dari 781 juta penduduk dunia yang aksara adalah perempuan yang selalu dikebelakangkan perkembangannya.
Dominasi di dunia ini, memang selalu terdeteksi, lewat diskriminasi yang dibalut dengan berbagai nama mulia seperti kodrat atau istilah lain yang ambivalen dipahami. Sampai di sini, semoga tergambar untuk semua, bahwa emansipasi belum mencapai tujuannya. Sampai di sini pula, semoga jelas juga untuk kita, mengapa masalah ketidaksetaraan butuh gerakan lintas generasi. Membangun kapasitas setiap perempuan, membutuhkan kapasitas sebagian (laki-laki dan perempuan) yang sudah sedikit lebih maju duluan sebagai pembuka jalan.
ADVERTISEMENT
Kalau prinsip yang kita percaya adalah kemenangan individual, sangat sulit membayangkan orang-orang dengan kemewahan ekstra bersedia mengambil tanggung jawab lebih untuk memastikan kemenangan kolektif sesama yang seringkali dianggap ancaman bagi eksistensi kita. Karenanya pertarungan perempuan vs perempuan harus kita punahkan, kehadiran laki-laki untuk membantu kemenangan semua perempuan (dan pada akhirnya semua manusia dan peradaban) perlu kita galakkan.
#cupyts
#cintauntukperempuanyangtidaksempurna