Konten dari Pengguna

No Matter How Much I Say ‘I Love You’, I Always Love You More Than That

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
23 Juli 2022 15:32 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Ibu dan Anak Perempuan yang Harmonis. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ibu dan Anak Perempuan yang Harmonis. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Menjadi anak perempuan dari ibu, dan menjadi ibu dari anak perempuan adalah ikatan dalam hidup yang saya tempatkan sebagai pijakan sekaligus junjungan. Begitu banyak pengalaman “menjadi” lainnya dalam multi peran saya - sejak lahir hingga akhir - yang berpusat pada dua hubungan ini. Ketika menulis catatan ini, saya memandang ke halaman rumah di saat hujan. Pasti bukan kebetulan, karena hujan selalu jadi momen yang paling penuh kenangan dalam pengasuhan. Setiap hujan, saya selalu mencontohkan nikmatnya bacaan, kegemaran pada buku adalah salah satu hal yang saya harapkan bisa diteruskan Nishrin dan Nihlah (dan Fathi) sebagai warisan. Bacaan adalah penangkal kesepian. Setiap hujan pula, saya selalu mengajak anak-anak untuk menari sambil menikmati guyuran dan genangan. Gerakan adalah resep petualangan. Hal lain yang saya harapkan jadi kebiasaan adalah hidup yang tak melulu penuh keseriusan :) Hubungan dengan Mama, Nishrin dan Nihlah, memaksa saya meredefinisi banyak sekali kata. Kata kerja seperti mencintai dan mencoba lagi, tiba-tiba menjadi lema yang digunakan berkali-kali, dalam banyak momen apresiasi maupun frustasi. Kata sifat seperti cantik dan baik hati, yang sebelumnya mungkin jarang dinyatakan dalam satu kalimat, sekarang seolah menjadi sinonim yang menempel sebagai pujian ataupun peringatan dalam setiap kesempatan. Kata benda seperti kebersamaan dan keberdayaan, serta merta diperluas artinya bukan hanya untuk tetangga dan keluarga, bukan hanya sebagai tujuan sementara, tetapi sebagai rumus dalam pengasuhan lintas usia. Perjalanan membesarkan anak perempuan, selalu berkait dengan masa lalu, masa kini dan masa depan. Tak ada seorangpun dari kita, yang tidak membawa pengalaman (menyenangkan maupun penuh penyesalan) ke dalam hubungan. Tak sepantasnya juga kita mendiskon pentingnya kehadiran - yang rutin dan membosankan ataupun yang meriah dalam perayaan - yang memengaruhi interaksi sebagai anak dan sebagai ibu dalam keseharian. Yang lebih penting lagi, menumbuhkan semua potensi anak perempuan kita, juga berarti meretribusi dan memperbaiki proses komunikasi karena kita sadar betul bahwa dunia yang akan mereka hadapi nanti, penuh dengan hal-hal yang orangtuanya bukan saja tidak pernah mengalami, tetapi tidak cukup memahami dan tidak bisa memprediksi. Pengasuhan anak perempuan, dipenuhi dengan tantangan. Tak lebih dan tak kurang dibanding pengasuhan anak laki-laki, tetapi tak bisa dipersamakan bahkan diperbandingkan. Menghilangkan kekhasan gender dalam perkembangan, tak seharusnya menjadi indikator keberhasilan. Sensitif dan responsif terhadap apa yang hadir sebagai kodrat bawaan, terhadap mana yang harus dikuatkan oleh lingkungan - dari, untuk dan oleh “keperempuanan” adalah salah satu amanah terbesar sepanjang masa kehidupan.
Najelaa Shihab. Foto: Prabarini Kartika/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Najelaa Shihab. Foto: Prabarini Kartika/kumparan
Pengasuhan anak perempuan, dibersamai beragam pilihan. Untuk sebagian kita, punya anak perempuan menyadarkan bahwa kekuatan bisa muncul sebagai kelemahan, ketakutan yang berlebihan justru timbul bersamaan dengan ambisi yang paling diimpikan. Karenanya, salah satu pesan utama yang relevan lintas generasi adalah pengendalian diri - badan dan pikiran, emosi dan kognisi jauh lebih erat keterkaitannya dari apa yang perempuan percaya selama ini. Pesan lainnya yang hingga sekarang juga tak henti perlu kita advokasi, adalah bagaimana anak-anak perempuan kita menemukan cara untuk mandiri tapi sekaligus mampu mempengaruhi dunia yang didominasi oleh laki-laki dan mengajak jenis kelamin yang berbeda sebagai sekutu. Beruntungnya, sebagaimana dijanjikan Allah Yang Maha Kuasa, anak perempuan dianugrahi penjagaan-Nya. Abi Quraish Shihab selalu bangga pada anak-anak perempuannya dan menyatakan pentingnya orangtua ekstra berbahagia saat mendapat berkah mengasuh anak-anak perempuan kita. Setiap kalinya, pesan utama lain yang saya ulang-ulang di rumah, keluarga penuh dengan keistimewaan. Keajaiban seperti fakta bahwa (hampir) semua masalah bisa diselesaikan (atau setidaknya diredakan) dengan pelukan, atau tawa khas berdua atau bertiga yang istimewa dan “membersihkan” seluruh rongga kosong di dada dengan hangatnya kasih antara ibu dan anak perempuannya. Tak ada satu pun hal di dunia yang lebih indah dari apa yang saya rasakan di peristiwa-peristiwa sederhana yang saya yakin akan ada di ingatan selamanya. Pengalaman saya sebagai anak perempuan maupun ibu dari dua anak perempuan penuh dengan lika-liku peta jalan biologis maupun psikologis yang seringkali sulit dipahami, menjadi hampir mustahil rasanya bisa menjadi teladan saat kita sendiri pun masih belum mahir dalam menavigasi. Ada waktu di mana sebagai ibu saya berpura-pura sudah tahu, ada waktu di mana saya sebagai anak berpura-pura lebih berani. Yang saya yakini, menjadi anak perempuan dan ibu bagi anak perempuan di saat yang bersamaan adalah proses yang saling melengkapi, yang amat saya syukuri. Menjalankan peran ini secara simultan, mengubah sudut pandang. Sebelum menjadi ibu, saya seolah meneropong Mama Fatmawaty lewat kaleideskop dengan satu pola, konstelasi berubah setelah Nishrin dan Nihlah, ada imaji dan konsep yang berbeda. Sekarang, setiap pandangan insya Allah selalu didasari bukan hanya niat penuh kebaikan tapi juga keingintahuan. Perjalanan ini, bukan tentang apa yang kita berikan tetapi apa yang kita dapatkan sebagai pelajaran. Yang paling beruntung di antara kita? Yang bukan hanya mencinta karena darah, tapi secara tulus suka pada ibu dan anaknya sebagai manusia. Coba tanyakan pada diri sendiri, seandainya pun tak kenal sebelumnya, kualitas apa yang patut dihormati dan tak seharusnya disia-siakan dari ibu dan anak-anak perempuan kita selama ini? Kalau Anda sudah bisa menyebutkan satu atau dua saja, maka jadikanlah ini pegangan dalam membangun ketangguhan …. Karena, akan selalu ada karakter lain yang Anda temukan (mirip atau berbeda dengan diri) yang terlihat lebih buruk atau ingin dihindari, justru dari orang-orang yang paling kita sayangi. Mencintai tanpa kondisi, tidak otomatis terjadi, selalu butuh dikuatkan oleh ribuan maaf dan terima kasih, demonstrasi afeksi tiada henti. Ada batasan, ada kritikan, ada pengorbanan, ada kemarahan, yang jadi bagian dari pengasuhan anak perempuan. Cerita dari Rangkul - Relawan Keluarga Kita, yang direfleksikan di tulisan-tulisan di buku ini, adalah contoh nyata di sekitar. Apa pun latar belakangnya, keluarga yang penuh manipulasi atau deprivasi, keluarga yang berfungsi optimal dan saling membutuhkan, berbagi cerita adalah cara otentik yang perlu kita budayakan. Sejak awal, Yayasan Rangkul Keluarga Kita Berdaya, membuktikan praktik baik pendidikan keluarga yang dimulai dari sesama orang tua yang belajar mencintai dengan lebih baik, mengubah perilakunya lewat percakapan bermakna di lingkaran pengasuhan bersama. Tak perlu saling menyalahkan atau mencari alasan. Kalau buku ringan ini memantik percakapan yang pada akhirnya memperkokoh komitmen dan meringankan beban, maka tujuan penerbitannya sudah kesampaian! Terima kasih untuk semua yang menjadi pemimpin dalam pergerakan pendidikan, khususnya untuk keluarga yang makin mempraktikkan hubungan reflektif, disiplin positif dan belajar efektif. Capaian-capaian seperti publikasi seperti ini, selalu menjadi sumber energi berkelanjutan yang menunjukkan bahwa apa yang kita lakukan layak diperjuangkan - demi anak-anak (perempuan) Indonesia yang cita-citanya kita tumbuhkan!
ADVERTISEMENT