Perempuan Bekerja: Serba Salah atau Salah Sendiri?

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
2 Agustus 2019 12:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan bekerja. Foto: Dok: Najelaa Shihab
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan bekerja. Foto: Dok: Najelaa Shihab
ADVERTISEMENT
Melakukan segalanya dan tidak 'cukup' juga, ini rasa dan pikir utama yang sering ada pada perempuan bekerja. Dunia memang sering kali tidak ramah, namun sering kali juga 'musuh' utama bukan apa yang dilakukan oleh orang lain pada kita, namun bagaimana kita mendefinisikannya. Membahas tentang perempuan dan dunia pekerjaan, sering mendapat label 'memainkan kartu keperempuanan', padahal kita semua tahu, perempuan tumbuh dengan standar ganda sejak kelahiran.
ADVERTISEMENT
Perempuan multiperan seringkali berarti banyak 'berkorban'. Sampai di sini, sebagian yang menolak memahami mengatakan, pengorbanan ini memang pilihan sehingga tidak perlu mendapat 'belas kasihan'. Ibu anak balita yang memasukkan anak ke sekolah swasta dengan susah payah, bekerja lembur untuk pendapatan lebih setiap harinya, tetapi kurang sekali waktu untuk hadir mengantar-jemput atau di pertemuan sekolah. Saat anak bermasalah, 'ibu yang memprioritaskan kerja' jadi penyebab utama. Lebih baik tidak punya anak saja? Ini juga keadaan yang selalu datang dengan stigma. Kurang subur dalam reproduksi, karena tekanan dan pilihan untuk 'sibuk bekerja' di luar rumah.
Perempuan yang berkarya di dalam rumah dan memilih mengurus rumah tangga, tak bebas dari yang dirasakan sesamanya. Saat anak terkena infeksi, padahal diberi ASI atau makanan rumah masakan sendiri, tetap saja lebih banyak penyesalan di hati. Saat terpaksa berpisah atau ditinggal suami, belum berpasangan di usia yang seharusnya sudah 'dinikahi', jauh lebih banyak yang menghakimi. Tanpa mendapat tudingan yang kadang kala disampaikan dengan 'maksud mengingatkan' perempuan yang 'kurang sempurna', di sekeliling kita sudah selalu dipenuhi 'serba salah atau salah sendiri' 24 jam dalam seharinya, tanpa perlu sindiran di media sosial.
ADVERTISEMENT
Harapan peran sosial dan tuntutan keseimbangan, dalam situasi tertentu adalah bentuk saling menjaga, namun dalam kenyataannya perempuan mendapat jauh lebih banyak tekanan dibanding laki-laki yang bekerja di bidang yang sama. Bahkan di bidang yang seringkali dianggap 'feminin dan tradisional' pun, seperti pendidikan, capaian perempuan sering dipertanyakan. Jumlah ketua osis/senat atau kepala sekolah dan rektor perempuan, masih sangat kurang. Belum lagi bila kita melihat sektor yang berkait dengan kebijakan dan pemerintahan.
Teman dan teladan perempuan di sekitar kita, banyak yang menjadi contoh nyata dari percakapan 'kotor' yang menyabotase kepemimpinannya, justru saat yang bersangkutan menunjukkan kekuatannya. Membantu dianggap sok tahu, marah dianggap berbahaya, bekerja cepat dianggap kurang sabaran, menyampaikan gagasan dengan penuh perasaan dianggap cerewet dan merugikan program berjalan. Semua perilaku persis sama yang akan mendapatkan penilaian jauh berbeda bila dilakukan oleh laki-laki di posisi yang sama. Saat menggambarkan prestasi dan membuktikan reputasi, dipertanyakan kenapa mendapat dispensasi, atau dianggap membandingkan diri dengan laki-laki. Apalagi saat bercerita tentang kondisi fisik yang berubah dan berbeda, jangan pernah berharap mendapat empati.
ADVERTISEMENT
Pada saat kita menganggap semuanya sebagai kompetisi, dan bukan kolaborasi, maka sulit sekali untuk sepakat bahwa kita semua beruntung disaat perempuan lebih banyak berkontribusi.
Refleksi ini bukan curhatan kesusahan, apalagi pamer kehebatan perempuan, kalau ada satu hal yang membedakan gender ini dibanding laki-laki dari sudut emosi, saya sangat percaya pada pentingnya saling berempati dan memberi validasi. Semua perempuan yang berkarya di rumah atau di luar rumah, pasti pernah merasa, bahkan saat dipuji 'sempurna' yang sering ada di dada kadang betapa masih banyaknya kekurangan kita.
Refleksi ini juga bukan untuk menyalahkan atau membela siapa-siapa, tetapi untuk mengingatkan pentingnya perempuan bersuara. Untuk anak-anak perempuan dan anak-anak laki-laki kita, juga mewakili laki-laki (dan semua pasangan) yang selama ini menjadi pendukung, bahkan penentu sukses dan gagalnya seorang perempuan yang ada disamping, di depan atau di belakangnya. Kita semua perlu lebih terlibat, membuka kesempatan, melihat kesalahan sebagai kesempatan belajar, memudahkan saling memaafkan dengan tujuan saling memuliakan.
ADVERTISEMENT
-
Tulisan adalah rangkaian dari seri Cinta untuk Perempuan yang Tidak Sempurna. Salah satunya bit.ly/pahlawansuper