Konten dari Pengguna

Sekali lagi: Sekali Merdeka Tetap Merdeka!

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
15 Oktober 2024 13:52 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gimana cara tahan menghadapi serangan pada tujuan kemerdekaan dalam pendidikan yang menganggap “MERDEKA” = Ugal-ugalan? Itu pertanyaan yang berkali-kali muncul di forum, beberapa minggu belakangan.
ADVERTISEMENT
Perdebatan dalam pendidikan, penting dilakukan, karena banyak sekali kita yang menggunakan istilah sama atau sekadar ikut-ikutan saja, padahal sebenarnya percaya hal yang bertentangan dan memakai cara yang berbeda, terutama saat bicara proses belajar-mengajar (termasuk perencanaan dan penilaian) yang merdeka.
Daya tahan saya tidak musiman, karena terus tepapar pada data, bahwa konsep dan praktik ini bukan soal satu-dua tokoh atau satuan pendidikan, tetapi didukung teori psikologi dan praktik pedagogi yang kuat tentang transformasi. Sudah disebarkan puluhan tahun, diadaptasi puluhan ribu sekolah dan madrasah yang bukan cuma punya fasilitas lengkap atau dana berlimpah, tapi di pelosok Nusantara.
Bagaimana menghadapi kalangan yang tak percaya pentingnya anak (dan orang dewasa!) yang merdeka?
Kita sangat perlu berempati dengan mereka, karena saya tahu bahwa tidak semua orang punya kesempatan unlearn pengalaman pribadi atau bahkan mengurai traumanya dalam pendidikan. Kadang miris - seseorang yang misalnya mengatakan bahwa anak tidak akan mau belajar kecuali buat ujian - pasti berangkat dari orientasi bahwa anak pada dasarnya malas, tidak akan berhasil tanpa hukuman dan hanya akan “merangkak” bila hidupnya penuh dengan beban dan ancaman.
ADVERTISEMENT
Mereka mungkin lupa, bahwa bayi lahir dengan keingintahuan dan anak selalu kecanduan bergerak menyelesaikan masalah karena rasanya puas sekali saat bisa serta berhasil mengerjakan sesuatu yang susah! Manusia tumbuh dan membangun peradabannya karena tanggungjawab sebagai khalifah - ada fitrah untuk terus beradaptasi seiring perubahan semesta. Kalau ada orang dewasa yang menganggap bahwa anak “sudah dari sononya” terus-menerus perlu disogok dengan ranking atau dihukum dengan ketidaklulusan untuk mahir menguasai sesuatu? Jelas ini bukan cita-cita kita tentang masa depan Indonesia.
Ibu dan Bapak yang saya hormati, anak-anak ini dasarnya baik dan nggak perlu dibuat sengsara hidupnya untuk terus menyuburkan perbaikan di dunia.
Justru karena selama puluhan tahun bangsa ini mengaku merdeka, tapi kualitas demokrasi dan tingkat korupsi masih begini-begini saja - kita yakin, bahwa literasi dan numerasi yang tinggi, hanya bisa tercapai kalau anak-anak kita ada di sistem pendidikan yang tidak terjajah lagi. Yang jelas salah kaprah juga, bahwa kemerdekaan ini, hanya bisa diimplementasi pada anak-anak orang kaya. Betapa tidak adilnya - ada pembatasan yang “dinormalkan”, kesempatan untuk merdeka hanya dicanangkan untuk sebagian anak saja.
ADVERTISEMENT
Anak yang tak punya kemewahan pilihan, yang suaranya sering dikebelakangkan, justru lebih perlu kita yang mengafirmasikan kontekstualisasi dan bukan menyalahkan korban dengan dalih standardisasi. Kemerdekaanlah yang menguatkan komitmennya untuk belajar - karena tahu betul apa capaian yang menjadi tujuan. Kemerdekaan juga yang mendorongnya mandiri memilih tantangan, tak berhenti belajar di tengah jalan saat menghadapi kesulitan. Kemerdekaan juga menjadi kunci kebiasaannya berefleksi - memahami kondisi sekaligus berani mengubah strategi. Menderita dalam belajar, seperti yang dilalui Ibu dan Bapak, serta nenek-kakeknya sebelum ini, bukan status quo yang wajar dipertahankan - terlebih untuk generasi yang bersekolah di era reformasi dan digitalisasi.
Guru dan dosen yang jadi mitra kolaborasi dan berkarya saya sampai hari ini, di ratusan kabupaten/kota dalam jaringan di penjuru negeri - bukan orang-orang yang merasa jadi korban atau terjebak pada kenyataan mereka tidak berlimpah materi.
ADVERTISEMENT
Manusia itu kompleks dan kebutuhannya di profesi adalah berkontribusi. I am truly sorry kalau pengalaman Ibu dan Bapak sebagai politisi atau di birokrasi, pelaku di dunia-usaha dan industri atau apapun itu di mana Anda merasa menjadi ahli, menunjukkan bahwa orang bergerak hanya karena rupiah dan transaksi.
Sama seperti banyak yang berdemo tanpa bayaran, coba kita perluas pergaulan, lebih banyak menghabiskan waktu di lapangan. Yang pada akhirnya bertahan, adalah yang percaya, kemajuan butuh siklus jangka panjang, indikator kesuksesannya bukan kesempurnaan yang dicapai lewat jalan pintas. Tanda keberhasilan kita yang utama: pelibatan (dan keresahan!) semua pemangku kepentingan, yang bukan hanya diatas kertas.
Di ekosistem pendidikan, dorongan utama mencapai kompetensi adalah otonomi. Guru dan dosen yang ingin mewujudkan aspirasi yang mulia mengubah nasib murid dan masyarakatnya, jauh lebih banyak jumlahnya dari yang Anda duga! Kalaupun ada yang bilang kebebasan membahayakan atau hanya bisa diterapkan saat sarana, prasarana dan anggaran berlebihan, itu namanya merendahkan! Jangan-jangan memang sedang mempraktikkan divide et empera! Kalau ada orang dewasa yang nggak percaya pentingnya merdeka - ini karena aspek-aspek kehidupannya sekarang mementingkan hasil instan dibanding proses berkelanjutan, keriuhan isu kontroversi dibanding kehangatan yang memanusiakan dalam relasi.
ADVERTISEMENT
Dari pendidikan, ayo terus kita perjuangkan - menumbuhkan dan meneladankan kemerdekaan! Ini memang “perang paradigma” - masih akan lama, tapi saya yakin kita punya cukup stamina! Wong sekutunya puluhan juta anak Indonesia yang tak mau selalu ketinggalan, apalagi sekadar dijejalkan hafalan atau menghabiskan belasan tahun untuk ilmu yang tak akan lagi relevan!
Sekali merdeka, tetap merdeka ya teman-teman! Tak ada hubungannya dengan transisi pemerintahan, karena emansipasi dan regulasi diri tak pernah bisa diberikan atau diinstruksikan.
Dalam refleksi bersama beberapa sahabat penggiat, sambil saling menularkan energi, kami sepakat bahwa sebagian dari pertentangan ini sebenarnya bagian yang terprediksi dalam dialektika lintas generasi.
Teriring salam untuk semua yang peduli, baik yang bekerja setiap hari atau sekadar mengamati. Salah satu yang saya syukuri dari perjalanan di bidang ini - debat paradigma selalu menggali keragaman sudut pandang, yang pada akhirnya membuat subyek pendidikan bisa memilih. Merdeka belajar, berkolaborasi dan berkarya, selalu jadi sentra yang dikendalikan sang pelajar di sepanjang hayatnya.
ADVERTISEMENT
Terima kasih untuk semua saran dan upaya yang intensinya luhur untuk pendidikan. Jalan kita mungkin berbeda, dan memang seharusnya tak dipaksa diseragamkan. Akan tetapi, semoga keberpihakan pada anak, yang dimulai dari penghormatan pada hak asasinya untuk merdeka - selalu menjadi pegangan dalam berperan!