Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sekali lagi: Sekali Merdeka Tetap Merdeka!
15 Oktober 2024 13:52 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gimana cara tahan menghadapi serangan pada tujuan kemerdekaan dalam pendidikan yang menganggap “MERDEKA” = Ugal-ugalan? Itu pertanyaan yang berkali-kali muncul di forum, beberapa minggu belakangan.
ADVERTISEMENT
Perdebatan dalam pendidikan, penting dilakukan, karena banyak sekali kita yang menggunakan istilah sama atau sekadar ikut-ikutan saja, padahal sebenarnya percaya hal yang bertentangan dan memakai cara yang berbeda, terutama saat bicara proses belajar-mengajar (termasuk perencanaan dan penilaian) yang merdeka. Daya tahan saya tidak musiman, karena terus tepapar pada data, bahwa konsep dan praktik ini bukan soal satu-dua tokoh atau satuan pendidikan, tetapi didukung teori psikologi dan praktik pedagogi yang kuat tentang transformasi. Sudah disebarkan puluhan tahun, diadaptasi puluhan ribu sekolah dan madrasah yang bukan cuma punya fasilitas lengkap atau dana berlimpah, tapi di pelosok Nusantara.
Bagaimana menghadapi kalangan yang tak percaya pentingnya anak (dan orang dewasa!) yang merdeka?
Kita sangat perlu berempati dengan mereka, karena saya tahu bahwa tidak semua orang punya kesempatan unlearn pengalaman pribadi atau bahkan mengurai traumanya dalam pendidikan. Kadang miris — seseorang yang misalnya mengatakan bahwa anak tidak akan mau belajar kecuali buat ujian — pasti berangkat dari orientasi bahwa anak pada dasarnya malas, tidak akan berhasil tanpa hukuman dan hanya akan “merangkak” bila hidupnya penuh dengan beban dan ancaman.
ADVERTISEMENT
Mereka mungkin lupa, bahwa kemerdekaan adalah fitrah. Merdeka bukan “brain washing” yang disuntikkan dari luar, kekuatan paradigma ini justru karena keyakinan bahwa setiap kita punya kekuatan internal, yang dipantik dengan ekosistem yang memberdayakan. Bayi lahir dengan keingintahuan dan anak selalu kecanduan bergerak menyelesaikan masalah karena rasanya puas sekali saat bisa serta berhasil mengerjakan sesuatu yang susah! Anak-anak ini melakukannya tanpa dijanjikan ranking, nilai atau validasi media massa. Manusia tumbuh dan membangun peradabannya karena tanggung jawab sebagai khalifah — ada fitrah untuk terus beradaptasi seiring perubahan semesta. Kalau ada orang dewasa yang menganggap bahwa anak “sudah dari sononya” terus-menerus perlu disogok dengan ranking atau dihukum dengan ketidaklulusan untuk mahir menguasai sesuatu? Jelas ini bukan cita-cita kita tentang masa depan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ibu dan Bapak yang saya hormati, anak-anak ini dasarnya baik dan nggak perlu dibuat sengsara hidupnya untuk terus menyuburkan perbaikan di dunia. Justru karena selama puluhan tahun bangsa ini mengaku merdeka, tapi kualitas demokrasi dan tingkat korupsi masih begini-begini saja — kita yakin, bahwa literasi dan numerasi yang tinggi, hanya bisa tercapai kalau anak-anak kita ada di sistem pendidikan yang tidak terjajah lagi. Yang jelas salah kaprah juga, bahwa kemerdekaan ini, hanya bisa diimplementasi pada anak-anak orang kaya. Betapa tidak adilnya — ada pembatasan yang “dinormalkan”, kesempatan untuk merdeka hanya dicanangkan untuk sebagian anak saja.
Anak yang tak punya kemewahan pilihan, yang suaranya sering dikebelakangkan, justru lebih perlu kita yang mengafirmasikan kontekstualisasi dan bukan menyalahkan korban dengan dalih standardisasi. Kemerdekaanlah yang menguatkan komitmennya untuk belajar — karena tahu betul apa capaian yang menjadi tujuan. Kemerdekaan juga yang mendorongnya mandiri memilih tantangan, tak berhenti belajar di tengah jalan saat menghadapi kesulitan. Kemerdekaan juga menjadi kunci kebiasaannya berefleksi — memahami kondisi sekaligus berani mengubah strategi.
ADVERTISEMENT
Dampak nyata: hanya kemerdekaan inilah yang memungkinkan anak memegang kendali dalam proses belajarnya. Ada puluhan ribu contoh, sejak puluhan tahun lalu, yang menunjukkan betapa kompetensi ditumbuhkan dengan kemerdekaan. Kita melihat anak-anak mengobservasi masalah lingkungan yang ada di lingkungan, kritis mendalami lewat inkuiri dan proses riset tentang apa yang menjadi akar sekaligus apa alternatif solusinya yang kreatif, merancang karya secara bergotong royong sambil terus berempati bahwa ada keanekaragaman di dalam kelas dan masyarakat.
Semua proses ini dilalui sejak usia dini hingga perguruan tinggi, dengan keyakinan bahwa akhlak kepada alam adalah bagian esensial bukan saja untuk ilmu pengetahuan tetapi juga keimanan. Indikator suksesnya; bukan pameran karya setelah project based learning yang berlangsung mewah, tapi seberapa “berbeda” pendekatan yang digunakan antara satu anak dengan anak lainnya karena masing-masing punya konteks, minat dan bakat yang berbeda. Masih akan butuh belasan tahun lagi sampai murid-murid di tingkat dasar mengikuti Tes PISA dan menaikkan rata-rata negara kita, tetapi mudah-mudahan dalam 1–2 tahun ini perubahan perilaku seperti kesempatan merata untuk memilih tantangan di mata pelajaran atau jurusan perkuliahan seperti kedokteran, sesuai aspirasi diri dan kebutuhan masyarakatnya (bukan karena sudah “terlanjur” masuk pesantren atau SMK).
ADVERTISEMENT
Gambaran diatas tentu sangat berbeda dibanding proses menderita dalam belajar, seperti yang dilalui Ibu dan Bapak, serta nenek-kakeknya sebelum ini. Jelas status quo di masa lalu tak wajar dipertahankan — terlebih untuk generasi yang bersekolah di era reformasi dan digitalisasi. Guru dan dosen yang jadi mitra kolaborasi dan berkarya saya sampai hari ini, di ratusan kabupaten/kota dalam jaringan di penjuru negeri — bukan orang-orang yang merasa jadi korban atau terjebak pada kenyataan mereka tidak berlimpah materi.
Manusia itu kompleks dan kebutuhannya di profesi adalah berkontribusi. I am truly sorry kalau pengalaman Ibu dan Bapak sebagai politisi atau di birokrasi, pelaku di dunia-usaha dan industri atau apapun itu di mana Anda merasa menjadi ahli, menunjukkan bahwa orang bergerak hanya karena rupiah dan transaksi. Sama seperti banyak yang berdemo tanpa bayaran, coba kita perluas pergaulan, lebih banyak menghabiskan waktu di lapangan. Yang pada akhirnya bertahan, adalah yang percaya, kemajuan butuh siklus jangka panjang, indikator kesuksesannya bukan kesempurnaan yang dicapai lewat jalan pintas. Tanda keberhasilan kita yang utama: pelibatan (dan keresahan!) semua pemangku kepentingan, yang bukan hanya diatas kertas.
ADVERTISEMENT
Di ekosistem pendidikan, dorongan utama mencapai kompetensi adalah otonomi. Guru dan dosen yang ingin mewujudkan aspirasi yang mulia mengubah nasib murid dan masyarakatnya, jauh lebih banyak jumlahnya dari yang Anda duga! Kalaupun ada yang bilang kebebasan membahayakan atau hanya bisa diterapkan saat sarana, prasarana dan anggaran berlebihan, itu namanya merendahkan! Jangan-jangan memang sedang mempraktikkan divide et empera! Kalau ada orang dewasa yang nggak percaya pentingnya merdeka — ini karena aspek-aspek kehidupannya sekarang mementingkan hasil instan dibanding proses berkelanjutan, keriuhan isu kontroversi dibanding kehangatan yang memanusiakan dalam relasi.
Dari pendidikan, ayo terus kita perjuangkan — menumbuhkan dan meneladankan kemerdekaan! Ini memang “perang paradigma” — masih akan lama, tapi saya yakin kita punya cukup stamina! Wong sekutunya puluhan juta anak Indonesia yang tak mau selalu ketinggalan, apalagi sekadar dijejalkan hafalan atau menghabiskan belasan tahun untuk ilmu yang tak akan lagi relevan!
ADVERTISEMENT
Sekali merdeka, tetap merdeka ya teman-teman! Tak ada hubungannya dengan transisi pemerintahan, karena emansipasi dan regulasi diri tak pernah bisa diberikan atau diinstruksikan.
Dalam refleksi bersama beberapa sahabat penggiat, sambil saling menularkan energi, kami sepakat bahwa sebagian dari pertentangan ini sebenarnya bagian yang terprediksi dalam dialektika lintas generasi. Teriring salam untuk semua yang peduli, baik yang bekerja setiap hari atau sekadar mengamati. Salah satu yang saya syukuri dari perjalanan di bidang ini — debat paradigma selalu menggali keragaman sudut pandang, yang pada akhirnya membuat subyek pendidikan bisa memilih. Merdeka belajar, berkolaborasi dan berkarya, selalu jadi sentra yang dikendalikan sang pelajar di sepanjang hayatnya.
Semangat merdeka juga berarti kita perlu selalu terbuka. Inovasi adalah ciri di ekosistem pendidikan, yang selalu penting untuk disuburkan, lintas zaman dan masa pemerintahan. Akan ada kebijakan baru yang menjadi prioritas, akan ada strategi bersama yang perlu kita selaraskan antar pemangku kepentingan. Ujian bagi kita semua, tak pernah bukan soal dari mana (apalagi dari siapa) inovasi tersebut berasal, tetapi bagaimana proses difusi kita gerakan.
ADVERTISEMENT
Apa yang menjadi paradigma dibaliknya, sebagaimana yang diuraikan di tulisan ini, jelas fondasi utama untuk setidaknya “face reliability” dari inovasi. Langkah keduanya; apa pijakan kebijakan dari hal dan praktik baik yang sudah ada — mana yang perlu diteruskan dengan semangat keberlanjutan dan mana perubahan yang esensial dengan tujuan kemajuan. Langkah ketiga hingga kesepuluh ribunya jauh lebih susah; mempertahankan motivasi untuk terus beradaptasi dengan menguatkan rasa saling percaya, menciptakan kebiasaan baru di semua tingkatan lembaga dan aktor pendidikan dengan momentum-momentum yang kita jaga bersama.