Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Semua Murid Semua Guru: Pahlawan Kesiangan dalam Lingkar Kekerasan
4 Februari 2018 16:43 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Keprihatinan atas wafatnya Pak guru Ahmad Budi di Sampang, menunjukkan penghormatan pada pendidik dan kepedulian pada pendidikan. Saya berduka luar biasa saat mendengar beritanya, jatuhnya korban dalam lingkungan pendidikan, tentu bukan sesuatu yang boleh dibiarkan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, reaksi yang beragam tentang kasus ini, juga menunjukkan minimnya pemahaman kita tentang lingkar kekerasan. Saya geram, tapi saya juga sadar simplifikasi ini butuh dilawan tanpa lelah dalam proses yang berkelanjutan.
Data tentang kekerasan dalam pendidikan di Indonesia begitu tinggi - sekitar 26-27% anak mengaku menjadi korban di rumah dan sekolah, 78% pernah jadi saksi atau terlibat. Angka yang berkait dengan guru di dunia juga memprihatinkan, 5-9% guru merasa tidak aman dalam pekerjaan. Karenanya, keterkejutan kita atas kasus ini sebetulnya bukti dari rendahnya keterlibatan.
Masalah ini sudah di depan mata sejak lama. Kekerasan dalam pendidikan di Indonesia, hanya menjadi pembicaraan saat sudah ada korban fisik bahkan nyawa. Padahal setiap hari di ruang kelas, guru dan murid berada dalam kekerasan psikologis - termasuk secara emosional dan seksual. Tapi gawat darurat di dunia pendidikan, tidak dirasakan.
ADVERTISEMENT
Penanganan kekerasan dalam pendidikan, hanya menjadi kumpulan dari intervensi reaktif yang berfokus pada hukuman dan insiden orang per orang. Penanganan kekerasan dalam pendidikan belum menjadi program pencegahan yang memahami bahwa pelaku seringkali adalah korban, saksi dan semua yang ada di lingkungan adalah komunitas yang rentan dan butuh dukungan.
HI tidak “mendadak nakal”, Pak Guru Budi tidak “tiba-tiba dalam budaya berbahaya“ di hari itu saja.
Kejadian ini pasti bukan hanya bersumber pada beberapa jam kronologis di antara satu orang guru dan satu orang murid yang ditangani dinas pendidikan atau kepolisian. Penganiayaan, apalagi yang berujung kematian, bukan sekadar agresi atau frustasi sederhana. Tolong, atas nama murid-murid dan guru-guru yang setiap hari berjuang, saya mohon, kita tidak lagi menjadi pahlawan kesiangan dalam lingkaran kekerasan pendidikan.
ADVERTISEMENT
Apati terjadi di ruang kelas kita. Jutaan guru dan puluhan juta murid tidak dimanusiakan dalam hubungan, hanya dilihat sebagai bonus demografi atau sumber daya. Depresi terjadi di ruang keluarga kita - data menunjukkan anak terpapar pada 8000 pembunuhan dan 100.000 kekerasan di layar televisi dan gawai, tetapi semua hanya dianggap sebagai hiburan semata.
Perilaku murid HI dan kematian Pak Guru Budi adalah peringatan yang kesekian kalinya untuk kita semua.
Perasaan tertekan dan ketakutan, tidak merdeka dan tidak berdaya, berkaitan dengan praktik belajar-mengajar yang dilakukan sepanjang tahun ajaran. Data menunjukkan kekerasan terjadi bukan hanya di jam pelajaran, tapi dalam perjalanan ke dan dari sekolah, bahkan di acara-acara di luar kurikuler, yang diselenggarakan organisasi kesiswaan atau yang berkaitan.
ADVERTISEMENT
Anak tumbuh dengan pemahaman nilai moral dan perilaku sosial dari apa yang dipelajari dari lingkungan. Apakah orangtua mendisiplinkan dengan ancaman, mengapa teman yang melakukan perundungan mendapat tepuk tangan, bagaimana guru tidak meneladankan kemerdekaan.
Lihat sekeliling kita - penggunaan zat terlarang, permainan digital yang mengenalkan pada darah, kemiskinan yang menekan - tak perlu kaget saat anak-anak kita menjadi korban. Pola pergaulan murid di sekolah, tingkat kerusakan atau kehilangan barang, jumlah murid yang absen dari pelajaran dan guru yang absen dari pekerjaan - semua ini kartu kuning untuk pendidikan yang selalu, SELALU kita abaikan.
Penanganan kekerasan dalam pendidikan, jarang berdampak berkelanjutan. Di tengah kemarahan, kita bertekad meningkatkan pengawasan, yang seringkali menjadi ajang melabelkan (kelompok) murid yang beresiko tinggi. Padahal analisa data menunjukkan, pengelompokan murid yang bermasalah justru mengakibatkan turunnya kepercayaan diri dan meningkatnya “gank” tidak sehat.
ADVERTISEMENT
Di tengah kegalauan, kita menegakkan hukuman berlebihan, bukan hanya di pengadilan, tapi juga di peraturan sekolahan. Padahal riset terbaru membuktikan, ancaman dan ketakutan berpengaruh jangka panjang pada perkembangan otak individu sepanjang usia dan budaya lingkungan sepanjang masa.
Menghormati profesi, bukan sekadar dengan gaji tinggi. Intervensi dini, mutlak diperlukan sebelum anak perlu konseling dan terapi. Kesepakatan tujuan harus dibiasakan, bukan sekadar peraturan yang dipaksakan. Disiplin positif yang dipraktikan guru lah yang akhirnya menggerakkan perubahan, bukan sekadar pencanangan dokumen yang menghabiskan anggaran. Ini kunci guru yang merdeka dan murid yang berdaya, yang butuh kita semua.
Menghilangkan racun dalam ekosistem pendidikan, dimulai dari memutus lingkar kekerasan.
- - -
Tulisan lain yang berkaitan; Semua Murid Semua Guru: Melawan Perundungan http://bit.ly/2v8fE18
ADVERTISEMENT