Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Cerpen: Tukang Becak Itu Ayahku
6 Juli 2023 18:06 WIB
Tulisan dari Pika Piqhaniah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bagi seorang ayah, memberikan yang terbaik untuk keluarganya adalah kewajiban. Maka dari itu, tidak ada yang bisa membantah bahwa ia adalah seorang pahlawan di keluarganya.
ADVERTISEMENT
Kemilau rembulan malam memberikan pesona indah di atas atap rumahku. Sebuah gubuk kecil yang sesak dan terlihat rapuh dari luar maupun dalam. Bagiku, rumah ini bukan hanya sekedar gubuk. Tetapi, sebuah istana milik raja dan ratu di duniaku.
ADVERTISEMENT
Aku Cahya, seorang anak pinggiran yang mempunyai cita-cita tinggi untuk memberikan istana megah kepada mereka. Mereka yang selalu ada di dalam hidupku sejak aku lahir, sampai aku tumbuh besar seperti sekarang. Bapak, ibu, kakak dan adik.
Bapakku adalah seorang ayah yang tangguh dalam menghadapi hari-harinya. Seorang ayah yang selalu diteriaki “si tukang becak” oleh orang-orang. Ia selalu berangkat pagi sekali untuk mengantarkan salah satu penumpang langganannya ke pasar. Ia akan pulang ketika sudah larut malam dalam kondisi kelelahan.
Aku tidak tahu berapa penghasilan bapak setiap harinya. Yang aku tahu, nasi dan lauk pauk selalu tersedia di atas piring di meja makan kecil di rumahku.
“Cahya, ngapain kamu di sana?” tanya seseorang dari bawah.
ADVERTISEMENT
“Nunggu bapak pulang, Teh,” sahutku dari atas.
Posisiku saat ini memang sedang berada di ketinggian. Aku menunggu bapak pulang di atas genting sambil melihat rembulan malam dan juga bintang-bintang. Meskipun keduanya jarang tampil bersama, tetapi salah satunya akan tetap ada menemani malamku secara bergantian. Di sini, aku selalu mengenang masa-masa indah bersama bapak. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.
“Cahya makan dulu ya sayang,” ucap bapak dengan lembut padaku yang sedang marah karena tidak ada ayam goreng di piring.
“Nggak mau, pokoknya Cahya gak mau makan!” teriakku dengan keras.
Tak lama kemudian, bapak pergi keluar sambil mengalungkan handuk kecil di lehernya. Setelah kurang lebih satu jam, bapak kembali sambil membawa kantong plastik berisi satu kilogram daging ayam mentah. Dan langsung menyuruh ibu untuk memasaknya agar aku bisa cepat makan.
ADVERTISEMENT
Esoknya pagi mulai menyapa, ditemani oleh rintikan air hujan yang masih jatuh secara perlahan. Di tengah perjalanan menuju sekolah, hujan turun semakin deras. Tepat di tengah ramainya jalan raya, aku melihat seorang laki-laki sedang mengayuh becak sambil di terpa hujan yang deras dan tubuhnya basah kuyup. Sedangkan, penumpangnya duduk manis sambil ditutupi oleh plastik agar tak terkena percikan air hujan. "Itu bapak!"
Aku tertegun melihat pemandangan itu, air mataku mulai meluncur dengan deras. Dengan semangatnya, bapak bekerja keras di bawah teriknya matahari dan dinginnya musim hujan demi keluarganya.
Sebenarnya, ini bukan kali pertama aku melihat bapak sedang bekerja. Tetapi, aku tidak pernah memikirkan betapa sulitnya bekerja sebagai seorang tukang becak. Pada akhirnya, aku menyesal pernah meminta sesuatu yang membuat bapak kesusahan. Mungkin saja malam itu, bapak pergi menarik becak agar mendapatkan uang untuk membeli ayam.
ADVERTISEMENT
Selama di sekolah, aku terus kepikiran bapak. Aku tidak tega melihat bapak kesusahan seperti itu. Sejak saat itu, aku berjanji bahwa aku tidak akan mempersulit bapak lagi.
Tak lama kemudian, suara klakson becak bapak berbunyi. Bapak terus mengayuh becaknya sambil berteriak memanggil namaku. “Cahya, bapak pulang,” teriaknya setelah melihatku dari kejauhan.
Ayah adalah seorang pahlawan sejati yang tidak pernah pamrih atas perjuangannya, bahkan ia tidak pernah mendapat gelar pahlawan secara formal. Tapi bagiku, gelar pahlawan bukan hanya bisa diberikan kepada mereka yang berjuang di medan perang. Seorang ayah yang pekerja keras juga adalah pahlawan bagi keluarganya.