Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Papua Darurat Perlindungan HAM di Negara Demokrasi
15 Oktober 2024 16:40 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Najwa Ardiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Muhammad Najwa Ardiansyah
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
ADVERTISEMENT
Hak Asasi Manusia adalah adalah hak-hak yang melekat pada setiap individu tanpa memandang ras, jenis kelamin, kebangsaan, atau status lainnya. Hak-hak ini mencakup hak untuk hidup, kebebasan berpikir dan berekspresi, hak atas pendidikan, hak untuk tidak disiksa, dan banyak lagi yang tercantum pada Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang berbunyi ” Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. penghilangan nyawa. Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, dipaksa, dikecualikan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang”. Jadi setiap warga negara Indonesia memiliki Hak Asasi Manusia dari sejak berada di kandungan hingga meninggal. Hak Asasi Manusia didapatkan langsung tanpa melalui tahap seleksi apapun, Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam negara demokrasi merupakan hasil dari perjuangan manusia untuk mempertahankan harkat dan martabatnya. HAM dan demokrasi saling berkaitan, karena HAM hanya akan terealisasi dalam pemerintahan yang demokratis.
ADVERTISEMENT
Pemberontakan OPM
Mungkin ini bukan masalah baru lagi di Indonesia. Pelanggaran hak asasi manusia di Papua yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), udah lama jadi isu yang nggak pernah kelar. Kalian juga pasti sudah tidak asing lagi dengan konflik ini. Banyak laporan soal kekerasan, pembunuhan, dan intimidasi yang dituduhkan ke Organisasi Papua Merdeka, terutama terhadap warga sipil dan pihak-pihak yang nggak sejalan sama mereka. Aksi-aksi kekerasan ini sering kali dibungkus sama tujuan politik buat memisahkan Papua dari Indonesia, tapi di sisi lain juga ngorbanin banyak nyawa dan bikin situasi keamanan di Papua makin nggak stabil. Di tengah konflik ini, warga sipil lah yang paling sering kena imbasnya. Jadi harus sampai kapan lagi kita dihantui dengan teror seperti ini di tengah kehidupan masyarakat setempat? selama ini negara cukup bertindak seminim mungkin untuk menghindari gesekan antara tentara dan KKB di Papua.
ADVERTISEMENT
Maka dari sini anggota militer harus segera bertindak agar tidak lebih banyak korban lagi yang berjatuhan seperti contoh pada tanggal 1 Desember 2018 menewaskan 31 pekerja PT Istaka Karya yang di bunuh oleh OPM, Kejadian ini diduga dilatarbelakangi karena salah satu pekerja PT Istaka Karya yang mengambil foto ketika para OPM sedang merayakan ulang tahun kelompoknya.
Pada tahun 2020 OPM bikin serangkaian serangan ke pos-pos polisi di daerah Tembagapura, yang deket banget sama tambang Freeport, Mereka nyerang pos polisi buat nunjukkin kalau mereka nggak setuju dengan kehadiran aparat di daerah mereka. Waktu itu, ada beberapa polisi yang luka-luka karena serangan tersebut. OPM merasa kalau tambang itu dan aparat yang ngejaga daerah situ cuma menguntungkan pihak luar, sementara orang Papua sendiri nggak dapat manfaat yang sebanding. Ini bikin mereka makin marah dan ngelakuin serangan buat memperjuangkan hak-hak mereka dan minta pengusiran aparat keamanan dari wilayah Papua.
ADVERTISEMENT
Situasi di tempat kejadian menjadi panas waktu itu, karena selain serangan fisik, ada juga ancaman dan baku tembak antara OPM dan aparat. Pemerintah Indonesia pun ngirim lebih banyak pasukan buat menjaga wilayah tersebut, tapi tetap saja nggak bisa langsung meredam perlawanan OPM yang terus terjadi di sana. Dalam serangan di Pos Polisi tercatat ada korban luka dari pihak aparat, tapi untuk korban jiwa dari pihak kepolisian atau OPM nggak terlalu jelas dilaporkan secara rinci. Biasanya, informasi soal korban jiwa dalam konflik di Papua bisa agak simpang siur atau minim. Tapi yang jelas, situasi waktu itu cukup tegang, dengan baku tembak yang intens dan berujung pada banyaknya korban.
Kesimpulan
Konflik yang terjadi di Papua ini menunjukkan bahwa situasi semakin rumit dan berlarut-larut. Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh OPM, seperti kekerasan dan pembunuhan terhadap warga sipil, menciptakan ketidakstabilan yang berkepanjangan. Meskipun ada niat politik di balik aksi mereka untuk memperjuangkan kemerdekaan, cara yang mereka tempuh justru semakin memperburuk keadaan dan mengorbankan banyak nyawa.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, kurangnya tindakan tegas dari pemerintah Indonesia dalam menangani situasi ini juga menjadi sorotan. Tindakan yang minim dari negara tampaknya lebih mengutamakan menghindari gesekan langsung dengan OPM, padahal jelas bahwa warga sipil yang sering menjadi korban dari konflik ini. Kebijakan yang ada harusnya lebih responsif terhadap pelanggaran HAM agar tidak terus-menerus merugikan masyarakat. Sedangkan petugas keamanan negara tidak ada yang boleh menghabisi dari OPM itu sendiri dengan alih alih OPM memiliki HAM, dari sinipun negara harus bertindak tegas yang terukur. Entah itu di realisasikan cepat atau lambat pemerintah harus melakukan tindakan tegas terukur itu harus digelar untuk menghentikan pembunuhan dan teror kepada warga yang berada di Papua.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif ilmu negara, kita bisa melihat bahwa konflik ini mencerminkan tantangan dalam penerapan prinsip-prinsip demokrasi. Namun, situasi di Papua juga menunjukkan bahwa demokrasi saja tidak cukup untuk menjamin keamanan dan keadilan. Ada kebutuhan mendesak untuk menemukan pendekatan yang lebih komprehensif, termasuk dialog dan pemahaman yang lebih baik antara pihak-pihak yang terlibat, agar konflik ini bisa mereda dan hak-hak masyarakat Papua dapat terjamin dengan lebih baik.