Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengintip Perayaan Hari Kemenangan di Negeri Bir
15 April 2024 14:58 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Najwa Aulia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Matahari bersinar cerah, tanpa takbir berkumandang, tanpa ketupat tersaji di meja makan.
ADVERTISEMENT
Selamat pagi dari Jerman, negara yang dijuluki dengan Negeri Bir karena Jerman dan bir bagaikan api dan asap. Jerman merupakan salah satu dari lima negara dengan jumlah ekspor bir terbanyak di dunia. Setiap tahunnya, Jerman mengekspor bir sekitar 1,6 juta ton. Bahkan, harga bir ukuran 0,5 liter lebih murah ketimbang air mineral dalam kemasan dengan ukuran yang sama.
Kendatipun, Jerman merupakan negara yang menduduki peringkat kedua dengan jumlah umat muslim terbanyak di Benua Eropa. Menurut Pew Research Center, pada pertengahan 2016, penduduk muslim di Jerman ada 4,95 juta jiwa atau sebanyak 6,1 persen dari jumlah penduduk. Meskipun tempat ibadah bagi umat muslim yang ada di Jerman ada sekitar 2.400, namun masjid yang menggelar salat id di hari raya Idulfitri dapat dihitung jari.
ADVERTISEMENT
Kezia, salah satu mahasiswa yang merantau ke Kota Aachen, Jerman, selama empat bulan, mengatakan bahwa ia menempuh jarak hingga 100 kilometer untuk melaksanakan salat id.
“Aku pas salat id tuh naik kereta dulu ke Duisburg, jaraknya sekitar 115 kilometer. Aku berangkat dari Aachen jam 4, soalnya mau ikut salat id jam 9.30 pagi.” Ucap Kezia.
Kezia juga mengungkapkan alasan mengapa ia rela menempuh jarak hingga 115 kilometer untuk melaksanakan salat id. Salah satu yang menjadi alasannya adalah karena banyak orang Indonesia yang melaksanakan salat id sekaligus merayakan Idulfitri di Kota Duisburg. Selain itu, Duisburg juga menjadi salah satu titik berkumpulnya umat muslim yang juga melaksanakan salat id.
“Alasannya karena di Duisburg itu banyak orang yang datang dari berbagai kota lain, terus juga karna yang datang mostly orang Indonesia, and of course di sini ada makanan-makanan Indonesia, contohnya opor, ketupat, rendang, terus juga banyak appetizer dan bazaar juga.” Ungkap Kezia.
ADVERTISEMENT
Alasan Kezia memilih untuk merayakan hari Idulfitri bersama orang-orang Indonesia karena ia mengaku bahwa ia senang sekali ketika berkumpul bersama orang-orang Indonesia. Jauh dari rumah dan keluarga, meskipun sedih, namun tak memungkiri dirinya untuk menemukan teman-teman yang terasa hangat seperti keluarga baginya. Apalagi, orang-orangnya terasa seperjuangan karena sama-sama hidup sebagai perantau di negeri orang.
“Honestly sesedih-sedihnya aku karna lebaran ga sama keluarga, aku tetep seneng juga ngerasain lebaran di sini, terutama lebaran sama orang-orang Indonesia, aku bener-bener seneng banget. Kita kan perantau ya, jadi ketemunya juga jarang, karena di sini juga pada punya kesibukan masing-masing. Tapi pas hari lebaran kemarin, semua pada dateng dari mana-mana, terus kita cerita-cerita keseharian kita, ceritain tentang kesibukan masing-masing, pokoknya seru deh, sambil makan-makan, ngobrol-ngobrol, rasanya kayak punya keluarga baru.” Ujar Kezia.
ADVERTISEMENT
Hari Idulfitri dijalani dengan menyenangkan dan mengesankan di Duisburg. Namun, di balik itu, persiapan salat id di Negeri Bir ini juga cukup sulit. Seperti mengurus sewa tempat yang jauh dari pusat kota demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dan membangun suasana Idulfitri sendiri sebagai umat minoritas. Karena suasana Idulfitri di Jerman sangat jauh berbeda ketimbang di Indonesia. Jangankan agenda takbiran, libur nasional pun tidak ada.
“Rasanya bener-bener campur aduk banget, tapi lebaran di Jerman buatku seru sih, jadi di Duisburg ini kita kayak sewa satu tempat khusus gitu buat orang Indonesia salat id dan tempatnya pun jauh banget dari pusat kota, literally kayak bener-bener di ujung, deket danau. Tapi tempatnyaa MasyaaAllah cakep, sengaja milih tempat yang jauh supaya menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, soalnya kita rame banget, takutnya warga lokal pada kebingungan, kayak ‘wah, ada apa nih’, tapi karena jauh dan tempatnya di ujung gitu, kita jadi bisa takbiran sebelum salat.”
ADVERTISEMENT
Kezia juga menjelaskan, bahwa suasana hari lebaran di Jerman berbeda sekali dengan suasana lebaran di Indonesia. Suasananya bisa dibilang tidak terasa karena persiapan lebaran di Jerman tidak seheboh di Indonesia. Tidak ada takbiran, wangi opor ayam yang tercium, juga ketupat yang tersusun di meja makan. Berbeda dengan suasana di Indonesia yang biasanya sudah terasa dari seminggu sebelum hari lebaran tiba. Bahkan, tak sedikit orang Indonesia yang memesan tiket mudik sejak jauh-jauh hari agar bisa menghabiskan waktu Idulfitri bersama keluarga.
“Lebaran di sini bener-bener ga ada vibes lebarannya sama sekali, karena umat muslim di sini minoritas, jadi ya sudah yang merayakan ya, bener-bener umat muslim aja. Salat id yang biasanya kalau di Indonesia jam 7 udah mulai, di sini tuh jam 9.30 baru mulai salat, dan di Aachen ada satu masjid yang nyelenggarain salat id 3 sesi gitu, ada yang jam 7.30, jam 9, dan jam 10.30. Terus kalau di Indonesia itu sebelum lebaran kayak banyak banget persiapannya, mulai dari masak, nyari busana buat hari raya, mudik ke rumah kakek nenek di kampung, ketemu sama keluarga-keluarga yang ketemunya kadang cuma di hari lebaran. Kalau di sini bener-bener ga ngerasain itu, I mean, kalau lebaran di Indonesia tuh dari H-7 orang-orang udah excited banget buat prepare segala macem, tapi kalau di sini gimana yaa, yang ngrayain cuma umat muslim doang, jadi bener-bener ga kerasa apa-apa.” Kata Kezia.
ADVERTISEMENT
Selain suasana Idulfitri yang berbeda dengan di Indonesia, menjalankan puasa ramadhan di Jerman pun menantang. Kezia mengatakan bahwa hari-hari ketika menjalankan puasa di Jerman itu cukup menantang, terutama di hari-hari terakhir Bulan Ramadhan.
“Buat aku puasa di sini itu challenging banget karena puasanya lama banget. Pas awal-awal puasa sih, masih oke lah, karena bisa dibilang masih mirip-mirip jangka waktunya sama di Indonesia, tapi pas akhir-akhir mau deket lebaran, itu udah kacau banget, sih, Subuh jam 5an, buka puasa jam 8 malem. Jam 8 juga belum gelap di sini, bener-bener baru mau terbenam banget mataharinya. Terus yang bener-bener challenging buat aku tuh karena yang puasa di sini bener-bener umat muslim doang, yg lain mah pada makan, minum, berasa banget sih, apalagi kalau lagi jalan keluar, orang-orang tuh pada minum, makan, bahkan yang mabok pun ada.” Ungkap Kezia menjelaskan suasana Ramadhan di Jerman.
ADVERTISEMENT
Berbagai rintangan dan tantangan untuk menuju hari yang fitri dijalani Kezia dengan sepenuh hati. Menjalankan ibadah puasa di negeri asing memang merupakan hal yang cukup berat, terutama sebagai agama yang minoritas di Benua Eropa dan negara yang mendapat julukan Negeri Bir, namun Kezia dapat menyelesaikannya dengan segala kesabaran dan keimanannya yang tak goyah walau hanya sedikit.