Konten dari Pengguna

Kurikulum Merdeka: Peluang atau Beban Baru bagi Guru?

Najwa Khoirotun Nisa
Mahasiswi Pendidikan Ekonomi UNIVERSITAS PAMULANG
5 Mei 2025 17:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najwa Khoirotun Nisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak diperkenalkan secara bertahap oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kurikulum Merdeka telah menjadi topik hangat di dunia pendidikan Indonesia. Dengan janji memberikan kebebasan belajar kepada siswa dan fleksibilitas dalam mengajar bagi guru, kurikulum ini hadir sebagai angin segar untuk menjawab keterbatasan sistem sebelumnya yang terlalu kaku. Namun di balik semangat pembaruan tersebut, muncul berbagai pertanyaan dan tantangan, terutama dari para guru yang menjadi ujung tombak pelaksanaannya di lapangan.
ADVERTISEMENT
Kebebasan yang Membingungkan?
Salah satu pilar utama Kurikulum Merdeka adalah memberi keleluasaan kepada guru untuk merancang pembelajaran sesuai dengan konteks dan kebutuhan siswa. Guru tidak lagi diwajibkan mengikuti buku paket atau silabus baku, melainkan didorong untuk menjadi perancang pembelajaran yang adaptif dan kreatif.
Namun kenyataannya, tidak semua guru siap dengan perubahan paradigma ini. Banyak guru merasa gagap dalam merespons tuntutan tersebut. Alih-alih merasa “merdeka,” sebagian guru justru merasa terbebani. Ketiadaan pedoman yang konkret, minimnya pelatihan tatap muka yang aplikatif, serta keterbatasan waktu menjadi kendala utama. Di banyak daerah, guru ditinggalkan untuk mencari pemahaman sendiri melalui modul daring yang tidak selalu mudah dipahami atau relevan dengan kondisi lokal.
Tidak sedikit guru yang akhirnya sekadar mengganti istilah tanpa mengubah pendekatan. Misalnya, kegiatan project-based learning hanya sebatas tugas kelompok biasa tanpa integrasi nilai-nilai kontekstual yang diharapkan. Hal ini tentu tidak sepenuhnya salah guru, melainkan cerminan dari kurangnya dukungan sistemik dalam proses transisi.
ADVERTISEMENT
Dampak pada Kesejahteraan Guru
Tuntutan untuk menjadi guru yang reflektif, inovatif, dan responsif tentu tidak bisa dipenuhi begitu saja. Dalam praktiknya, guru dituntut untuk memahami karakteristik setiap murid, menyusun perangkat ajar yang berbeda-beda, merancang asesmen yang holistik, hingga mengevaluasi pembelajaran secara berkelanjutan. Semua ini memerlukan energi dan waktu yang besar.
Sayangnya, peningkatan beban kerja ini sering tidak diiringi dengan peningkatan kesejahteraan atau pengakuan profesional yang layak. Banyak guru merasa tertekan dan mengalami kelelahan emosional karena harus terus berinovasi tanpa dukungan yang cukup. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat berdampak pada penurunan kualitas pembelajaran dan menurunnya motivasi guru itu sendiri.
Peluang untuk Tumbuh
Meski banyak tantangan, Kurikulum Merdeka juga membuka peluang besar untuk pertumbuhan profesional guru. Kebebasan yang diberikan sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan pendekatan-pendekatan pengajaran yang lebih kontekstual, relevan, dan bermakna bagi siswa. Guru tidak lagi terkungkung dalam batasan silabus, dan dapat mengaitkan materi dengan isu-isu lokal maupun global.
ADVERTISEMENT
Dengan semangat kolaboratif, guru dapat membangun komunitas belajar untuk saling berbagi ide dan praktik baik. Di beberapa sekolah, muncul inisiatif-inisiatif menarik seperti pembelajaran lintas mata pelajaran, proyek berbasis lingkungan, dan pemanfaatan teknologi sederhana untuk meningkatkan partisipasi siswa. Inilah esensi dari merdeka belajar: menjadikan kelas sebagai ruang hidup yang dinamis dan membebaskan potensi semua pihak.
Apa yang Dibutuhkan Guru?
Agar Kurikulum Merdeka benar-benar memberikan dampak positif, guru harus menjadi subjek perubahan, bukan sekadar objek kebijakan. Ini berarti mereka harus dilibatkan sejak tahap perencanaan, diberikan pelatihan yang berbasis praktik, serta didukung dengan sistem yang menghargai proses, bukan sekadar hasil.
Beberapa hal konkret yang dibutuhkan antara lain:
1. Pelatihan yang kontekstual dan berkelanjutan, bukan sekadar sosialisasi sesaat.
ADVERTISEMENT
2. Akses terhadap sumber belajar yang bervariasi, baik digital maupun cetak, yang sesuai dengan karakteristik lokal.
3. Komunitas belajar profesional (PLC) yang aktif di tingkat sekolah maupun daerah.
4. Kebijakan internal sekolah yang memberi ruang bagi eksperimen dan inovasi guru tanpa takut salah.
5. Pengakuan dan insentif yang layak bagi guru yang terus belajar dan berkontribusi dalam pengembangan kurikulum.
https://www.istockphoto.com/id/foto/happy-elementary-students-raising-their-hands-on-a-class-at-school-gm2161421659-581867910
Kesimpulan: Merdeka, Tapi Jangan Sendiri
Kurikulum Merdeka adalah langkah maju dalam pembaruan pendidikan Indonesia. Namun seperti halnya semua perubahan besar, keberhasilannya sangat ditentukan oleh bagaimana implementasi dilakukan di lapangan. Guru tidak bisa berjalan sendiri dalam proses ini. Mereka perlu diberdayakan, dipandu, dan dihargai sebagai mitra utama dalam membentuk masa depan pendidikan bangsa.
ADVERTISEMENT
Kebebasan sejati bukan hanya soal leluasa memilih metode, tetapi juga tentang adanya dukungan, kejelasan arah, dan rasa memiliki terhadap perubahan. Dengan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, sekolah, dan komunitas pendidikan, Kurikulum Merdeka bukan hanya bisa menjadi slogan, tetapi realitas yang membebaskan.