Konten dari Pengguna

Pendidikan Tinggi : Kunci Kemandirian Perempuan

Najwa Zabrina Kaisaura F
Pelajar di SMAS Muhammadiyah 2 Wuluhan
20 Oktober 2024 13:51 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najwa Zabrina Kaisaura F tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Pixabay
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Alasan perempuan enggan mengenyam pendidikan tinggi ini sangat beragam, mulai dari kekhawatiran akan kesuksesan yang melebihi pasangannya, yang berpotensi memicu perselisihan dalam rumah tangga, hingga ketakutan tidak menemukan pasangan yang setara. Bahkan di Indonesia, perempuan berpendidikan tinggi seringkali menjadi sasaran komentar negatif. Misalnya, “Kenapa sih sekolah tinggi tinggi, kalo akhirnya cuma di dapur,” atau “Perempuan tidak perlu sekolah tinggi tinggi, cowok takut deketin, nanti susah dinikahi.” Secara tidak langsung, masyarakat Indonesia seolah mengurung perempuan agar tetap berada di posisi yang pas-pasan agar diterima sepenuhnya di mana-mana.
Namun, kita harus melihat dari sudut pandang yang berbeda. Jika seorang perempuan menikah dan suaminya mengalami kesulitan, entah karena sakit, tidak bisa bekerja lagi, atau bahkan meninggal dunia, atau jika mereka memutuskan untuk bercerai, siapa yang akan menafkahi jika perempuan tersebut tidak berpendidikan tinggi? Dengan ilmu yang memadai, seorang wanita bisa bekerja dengan baik dan membuka usaha sendiri. Selain itu, suami juga lebih menghargai mereka. Terkadang wanita yang berpendidikan rendah enggan atau merasa kesulitan untuk menyampaikan pendapatnya kepada suami karena merasa tidak memiliki cukup kekuatan atau ilmu jika dibandingkan dengan suami. Ilmu yang dimiliki bisa menjadi penyeimbang saat berdiskusi dengan suami. Terlepas dari pilihan berkarir atau menjadi ibu rumah tangga, dengan pendidikan wanita bisa menjadi apapun yang diinginkan.
ADVERTISEMENT
Masyarakat masa kini, khususnya para orang tua, masih menganut anggapan kuno tentang persepsi “seberapapun suksesnya seorang wanita, dia akan berakhir di dapur”. Terutama masyarakat yang tinggal di pedalaman. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi wanita untuk bisa memilih diam atau bergerak ke arah sebaliknya. Toh, tidak sedikit wanita di luar sana yang memilih untuk bergerak ke arah sebaliknya. Tentu saja, hal ini tidak lepas dari sikap sebagian orang yang terus menerus mengkritik dan menggosipkannya, sehingga tidak sedikit pula yang terang-terangan menghinanya. Padahal, orang yang cerdas belum tentu hobi menggosipkan apalagi menghina. Jadi, bukankah orang yang menghina itu bisa dikatakan ‘tidak cerdas?’. Hal ini tentu sulit. Apalagi jika hidup di tengah orang-orang seperti itu, bebannya berkali-kali lipat. Namun, seorang wanita yang mandiri, cerdas, dan berpengetahuan luas tentu saja menganggapnya hanya angin lalu. Sebesar apapun tantangan yang ada, jika tekadnya kuat, semua rintangan bisa diterbangkan.
ADVERTISEMENT
Tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini berdampak besar pada kesehatan mental dan pola pikir wanita yang berada dalam situasi ini. Maka dari itu, wajib bagi mereka untuk mampu mengelola emosi dan pikirannya dengan baik, yang akan membuat mereka jauh lebih dewasa. Kita tidak bisa mengendalikan semua hal di dunia ini. Terutama hal-hal yang berhubungan dengan orang lain. Ada kalanya kita terjatuh dan ada kalanya kita berhasil. Untuk meraih keberhasilan tersebut dibutuhkan tekad, komitmen, dan konsistensi yang kuat demi masa depan yang gemilang.
Menjadi wanita cerdas dan progresif sebenarnya mudah. Hanya perlu belajar dan belajar. Namun, wanita cerdas tidak hanya belajar di depan buku. Akan tetapi, mereka juga belajar melalui masa lalu, pengalaman hidup, dan perjalanan masa lalu. Sejalan dengan mengapa wanita yang mengenyam bangku SMA akhirnya menjadi ibu dan sering berkutat di dapur, terlihat jelas perbedaan cara hidup dan cara bertindak antara ibu yang mampu mengelola kehidupan rumah tangganya dengan baik melalui kecerdasan dan keluasan ilmu, dibandingkan dengan ibu yang hanya bisa mengerjakan pekerjaan rumah tanpa didasari oleh ilmu dan kecerdasan berpikir.
ADVERTISEMENT