Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Hukum Kebiri Kimia: Mampukah memerangi Tindak Kekerasan Seksual Terhadap Anak?
14 Januari 2021 7:43 WIB
Tulisan dari Najwa Bana Shafa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Angka kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat setiap tahunnya, bahkan di kala pandemi Covid-19 seperti sekarang angka kekerasan seksual terus beranjak naik. Komnas Perlindungan Anak mengatakan bahwa selama periode tahun 2020, 52% kasus kekerasan terhadap anak didominasi oleh kekerasan seksual, baik yang dilakukan secara individual maupun berkelompok (gang rape). Berdasarkan data SIMFONI PPA, pada periode 1 Januari 2020 hingga 11 Desember 2020, kasus kekerasan seksual terhadap anak tercatat mencapai 5.640 kasus. Tingginya kasus kekerasan seksual terhadap anak tersebut menandakan bahwa masih lemahnya sistemasi hukum dan kurangnya peran orangtua, pemerintah, dan pendidikan dalam memberikan edukasi seks kepada anak.
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam memerangi dan menekan angka tindak kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia?
Baru-baru ini sedang ramai diperbincangkan tentang penandatanganan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 oleh Presiden Joko Widodo pada 11 Desember 2020, mengenai tata cara pelaksanaan tindak kebiri kimia, pemasangan pendeteksi elektronik, dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Penandatanganan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 mengenai hukum kebiri kimia tersebut disambut baik oleh Komnas Perlindungan Anak dan KPAI karena dinilai mampu memberikan kepastian hukum dan efek jera bagi pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak. Namun, hal tersebut nyatanya menuai berbagai kontra, salah satunya adalah Komnas HAM. Komnas HAM meminta kepada DPR dan Pemerintah agar mengkaji ulang peraturan tersebut karena dinilai merupakan bentuk penyiksaan terhadap hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Padahal kasus kekerasan seksual terhadap anak juga merupakan bentuk penyiksaan terhadap hak asasi anak karena dinilai dapat memberikan rasa traumatik bagi korban secara fisik, tetapi psikis pun juga. Tidak jarang bahwa kekerasaan seksual dapat menimbulkan korban jiwa, seperti kasus seorang siswi SMP Padang Ulak Tanding bernama Yuyun yang diperkosa dan dibunuh oleh 14 orang hingga jasadnya dibuang ke jurang sedalam 5 meter. Menurut UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa perlu adanya perlindungan dan kepastian hukum yang diberikan oleh pemerintah kepada anak.
ADVERTISEMENT
Dalam Peraturan Pemerintah mengenai hukuman kebiri kimia, pelaku kekerasan seksual terhadap anak terdiri dari pelaku persetubuhan dan pelaku perbuatan cabul. Tindakan kebiri kimia yang disertai rehabilitasi hanya dikenakan kepada pelaku persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sementara itu, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik dan pengumuman identitas pelaku diberikan baik kepada pelaku persetubuhan maupun pelaku perbuatan cabul. Tindakan kebiri kimia merupakan pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau tindakan lainnya untuk menurunkan kadar testoteron pria menggunakan obat.
Oleh karena itu, dengan diberlakukannya peraturan hukuman kebiri adalah hal yang tepat karena mampu memberikan salah satu jawaban atas kegelisahan yang terjadi di tengah masyarakat dan memberikan efek jera kepada pelaku kekerasan seksual serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi anak. Di samping itu, perlu adanya sinergitas yang baik antara pemerintah dan masyarakat dalam menangani masalah kekerasan seksual terhadap anak agar dapat menciptakan kesejahteran dan mengurangi angka kekerasan seksual di Indonesia.
ADVERTISEMENT