Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Babak Baru ASEAN-AS
16 Mei 2022 16:00 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Naldo Helmys tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Utusan Athena, sebagaimana dicatat Thucydides dalam Peloponnesian War bagian 5.89, berkata kepada penguasa Melos: “Tentu kau sudah paham, di dunia manusia masalah keadilan hanya bisa dibicarakan jika kekuatan mereka setara, dengan kata lain, yang kuat melakukan apa pun yang mereka bisa dan yang lemah harus menerima apa pun nasib mereka.”
ADVERTISEMENT
Dialog Melos itu terjadi tahun 416 SM di tengah perang Peloponnesia antara Athena melawan Sparta. Melos, sebuah pulau kecil di Laut Aegea, punya ikatan sejarah dengan Sparta, tetapi memilih netral meski dihadapkan pada Athena penguasa lautan. Athena yang tidak menghormati netralitas Melos menghancurkan pulau itu setelah penguasanya, seperti dalam dialog, memandang derajat mereka setara dengan negara adidaya. Persuasi negara lemah hancur-lebur di hadapan kekuatan membabi-buta negara kuat.
Ribuan tahun berlalu situasi dilematis Melos dapat dihadapi negara atau kawasan apa pun. Ukraina, bekas Uni Soviet yang ingin mendekat ke Uni Eropa, diinvasi Rusia meski mencederai prinsip-prinsip integritas wilayah sebuah negara merdeka. Jika Ukraina menang, apalagi tidak perlu menjadi netral seperti tuntutan minimal Rusia, mungkin negara netral lainnya yang punya batas panjang dengan Rusia, yakni Finlandia, segera bergabung dengan Uni Eropa.
ADVERTISEMENT
Bagi Indonesia, netral bukan pilihan. Prinsip politik luar negeri bebas aktif tidak dapat dimaknai dengan menjadi negara netral nan pasif. Sebaliknya, politik itu dijalankan dengan tidak hanya bebas untuk membangun hubungan damai dengan pihak mana pun, tetapi juga aktif menjadi kreator perdamaian itu sendiri.
Prinsip itu yang ditampakkan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Khusus ASEAN-AS yang diselenggarakan pada 12-13 Mei 2022 lalu di Washington, D.C. Indonesia selaku koordinator hubungan ASEAN dan Amerika Serikat (AS) mencoba mengundang kembali peran aktif Gedung Putih di kawasan Asia Tenggara. ASEAN, dalam beberapa tahun terakhir, mencoba untuk tidak menjadi arena tarung AS dengan China yang oleh Presiden Donald Trump sebelumnya dibawa ke arah yang paling menegangkan sejak berakhirnya Perang Dingin.
ADVERTISEMENT
Baik China maupun AS merupakan mitra dagang dan investasi utama ASEAN. Namun, ketegangan kedua pihak seolah menuntut negara-negara ASEAN untuk harus memilih. Ini bukan dejavu atas suasana batin yang melandasi lahirnya pidato Mohammad Hatta, Mendayung Antara Dua Karang, di tahun 1948, ketika Indonesia seolah harus memilih antara AS atau Uni Soviet. Paling tidak saat itu Hatta percaya bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak akan berhasil merebut kekuasaan untuk menjadikan Indonesia negara soviet. Indonesia saat itu dihadapkan dengan ancaman yang lebih nyata: agresi militer Belanda dan ancaman disintegrasi bangsa.
Akan tetapi, terutama sejak perang dagang AS-China, ancaman itu kini berseliweran di teras kita.
China yang banyak membangun negara-negara berkembang melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI), sayangnya, hingga saat ini tidak tampak serius untuk menghormati Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) yang merupakan dasar hukum internasional untuk memproteksi perairan Indonesia. Sehingga potensi konflik di Laut China Selatan, yang dapat merembes ke Laut Natuna Utara, tetap tinggi.
ADVERTISEMENT
Sedangkan AS dalam beberapa tahun terakhir menjadi potensi ancaman tersendiri melalui absensi dan presensi mereka di kawasan. Di era Donald Trump, AS mengedepankan unilateralisme, mengabaikan kolaborasi, dan menarik diri dari beberapa kesepakatan penting. Ketidakhadiran Trump di kawasan justru merusak keseimbangan yang dapat dilihat dengan semakin dominan pengaruh China.
Sebaliknya, kehadiran Biden kendati menjadi sinyal baik juga harus dipandang dalam kacamata geopolitik yang tidak lepas dari potensi ancaman. Biden tampak serius melirik kawasan ASEAN yang bagi Washington, D.C. adalah bagian dari Indo-Pasifik. Di teras ASEAN, AS memiliki Quad (aliansi militer AS, Jepang, India, Australia), dan AUKUS (pakta pertahanan Australia, Inggris, AS yang membantu kepemilikan kapal selam nuklir Canberra). Biden tidak bisa lagi mengabaikan ASEAN mengingat organisasi kawasan itu sudah membangun blok dagang terbesar bersama China di bawah kerangka RCEP yang sudah berlaku sejak 1 Januari 2022.
ADVERTISEMENT
Saat ini di tengah peringatan 45 tahun kemitraan ASEAN-AS, suatu langkah nyata untuk mengundang keterlibatan AS lebih dalam di kawasan amat diperlukan, tidak saja untuk meningkatkan perdagangan, tetapi secara politis juga untuk mencapai perimbangan di kawasan. Dalam konteks inilah KTT ASEAN-AS 2022 dan kesepakatan yang telah berhasil dicapai, Joint Vision Statement, menjadi relevan.
Dalam hal ini Pemerintah Indonesia patut diapresiasi karena telah berhasil memimpin perundingan pada KTT tersebut sehingga hubungan ASEAN-AS sekarang telah meningkat dari kemitraan strategis menuju kemitraan strategis komprehensif.
Babak baru ini harus disambut baik oleh ASEAN. Blok kawasan punya daya tawar kuat karena menjadi aktor penentu keberhasilan visi Indo-Pasifik yang terbuka, sejahtera, dan tahan banting seperti dicita-citakan AS. Bisa dipastikan, tanpa peranan aktif ASEAN, kucuran dana dari AS sebesar USD 150 juta (IDR 2,2 triliun) untuk mengimbangi pengaruh China di kawasan akan sia-sia. Sebab, keberhasilan Joint Vision Statement ditentukan oleh daya kreasi ASEAN sendiri untuk mewujudkan kerja sama konkret di bidang kesehatan, ekonomi, maritim, konektivitas, pembangunan sub-regional, teknologi dan inovasi, perubahan iklim, dan perdamaian.
ADVERTISEMENT
Namun, politik tetaplah politik. ASEAN tidak boleh melupakan persaingan AS-China, kendati keduanya berkontribusi nyata untuk pembangunan kawasan. Agar stabilitas dan perdamaian tetap terjaga, penting bagi ASEAN untuk terus memperkuat prinsip-prinsip yang sudah ada. Daya tawar lebih, variatif, dan kontinu diperlukan agar kekuatan-kekuatan besar itu tetap dapat menghargai prinsip-prinsip ASEAN. Jangan lengah, jangan sampai ASEAN menjadi Melos.