Italia yang Rapuh

Naldo Helmys
CPNS Diplomat Pusat Strategi Kebijakan Multilateral Kementerian Luar Negeri. Dosen Tutor Ilmu Pemerintahan Universitas Terbuka. Penulis Isu-isu Hubungan Internasional. Semua tulisan di platform ini adalah pandangan pribadi.
Konten dari Pengguna
23 Juli 2022 18:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Naldo Helmys tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perdana Menteri Italia Mario Draghi tengah menyampaikan pidato dalam suatu acara yang diselenggarakan oleh Italian Foreign Press Association, 12 Juli 2022 (sumber: governo.it).
zoom-in-whitePerbesar
Perdana Menteri Italia Mario Draghi tengah menyampaikan pidato dalam suatu acara yang diselenggarakan oleh Italian Foreign Press Association, 12 Juli 2022 (sumber: governo.it).
ADVERTISEMENT
Tampuk pemerintahan Italia akan segera berganti. Tanggal 21 Juli 2022 lalu PM Mario Draghi telah mengumumkan pengunduran dirinya setelah gagal mempertahankan koalisi besar di pemerintahan. Padahal Draghi belum 1,5 tahun berkuasa. Kabar ini mempertegas satu hal: politik Italia masih belum stabil.
ADVERTISEMENT
Faktanya, sejak Italia menjadi republik usai Perang Dunia II, tidak satu pun PM Italia mampu mempertahankan kekuasaan selama sepuluh tahun. Silvio Berlusconi menjadi penguasa terlama selama sembilan tahun, tetapi tidak berturut-turut (1994-1995, 2001-2006, dan 2008-2011). Lama kekuasaan Berlusconi yang juga mantan pemilik klub sepak bola AC Milan bahkan masih kalah dengan ‘kekuasaan’ Juventus yang mampu juara liga sembilan musim berturut-turut!
Sedangkan sejak era Presiden Sergio Mattarella, Italia sudah memiliki empat perdana menteri: Matteo Renzi (2014-2016), Paolo Gentiloni (2016-2018), Giuseppe Conte (2018-2021), dan Mario Draghi. Tandanya akar politik dan ekonomi Italia masih cukup rapuh sehingga stabilitas masih jauh panggang dari api.
Kontributor paling mencolok terhadap ketidakstabilan politik di Italia adalah fragmentasi elit politik yang sangat kuat, terutama dalam beberapa tahun belakangan. Secara tradisional, Italia adalah pendukung Uni Eropa, gagasan yang menuntun Draghi dalam mengambil kebijakan. Akan tetapi, belakangan politik sayap kanan, konservatif, populis, dan skeptitisme Uni Eropa menjamur di berbagai negara Eropa, tidak terkecuali Italia.
ADVERTISEMENT
Kendati singkat, pemerintahan Draghi dinilai berhasil membawa Italia keluar dari krisis akibat pandemi COVID-19. Kerja sama Italia dengan Uni Eropa yang sangat baik, termasuk dalam produksi vaksin, telah menyelamatkan negeri itu yang mana pada awal pandemi termasuk yang paling parah terdampak. Lebih jauh lagi, pandangan integrasi Eropa yang dianut Draghi membawa Italia untuk turut membantu Ukraina secara politik, militer, dan ekonomi di tengah invasi Rusia.
Akan tetapi, kebijakan Draghi dinilai terlalu Eropa-sentris. Kritik datang dari Giuseppe Conte yang memimpin partai populis berideologi skeptisisme Eropa, Movimento 5 Stelle (M5S). Partai yang dipimpin Conte itu memberi penolakan dukungan terhadap kebijakan Draghi yang bermaksud meluncurkan stimulus ekonomi sebagai upaya untuk bangkit dari situasi krisis akibat pandemi dan perang di Ukraina. Sebagai catatan, pemerintahan Conte sebelumnya dijatuhkan karena kebijakan lockdown yang diambilnya dalam penanganan pandemi dinilai tidak efisien dan dapat mencederai hak-hak sipil.
ADVERTISEMENT
M5S tidak sendirian. Di sisi mereka terdapat partai-partai populis lain yang turut membuat elit politik di Italia sulit disatukan. Sebut saja Lega Nord dan Forza Italia (FI). Belum lagi tekanan dari partai Fratelli d’Italia (FdI) yang memiliki faksi fasis di dalamnya. M5S dan FdI belakangan paling vokal dalam diskursus politik Italia untuk menumpahkan kekesalan mereka terhadap Uni Eropa, yang dianggap penyebab stagnasi perekonomian Italia selama 30 tahun terakhir.
Menariknya, dilihat dari Indeks Kerentanan Negara, fragmentasi elit politik di Italia tampak baik-baik saja. Berdasarkan indeks yang dirilis lembaga riset Fund for Peace, justru Italia punya masalah dengan ketimpangan ekonomi dan pandangan soal migran.
Kesenjangan ekonomi Italia meningkat dari 2,0 pada tahun 2020 menjadi 2,6 pada tahun 2022. Sekilas, perubahan tampak tidak begitu tinggi. Akan tetapi, dari semua indikator yang berkontribusi pada peningkatan kerentanan suatu negara, kesenjangan ekonomi di Italia adalah satu-satunya indikator yang naik dalam dua tahun belakangan.
ADVERTISEMENT
Masalah kesenjangan ekonomi dengan gaduh politik di Italia mungkin berkorelasi. Kesenjangan ekonomi Italia pada 1994-2018 memiliki pola yang sama dengan kecenderungan masyarakat Italia untuk menentukan pilihan dalam pemilu.
Kawasan Italia metropolitan seperti Roma, Turin, Genoa, dan Milan merupakan daerah dengan pendapatan tertinggi, tetapi kesenjangan di sana juga tinggi. Kemudian kawasan timur laut dan tengah yang berpendapatan menengah memiliki tingkat kesenjangan rendah. Sedangkan kawasan selatan yang berpendapatan rendah memiliki tingkat kesenjangan yang paling tinggi.
Dari hasil pemilu di Italia, kawasan berpendapatan tinggi pada umumnya memilih partai yang tengah berkuasa. Kawasan dengan pendapatan menengah condong memilih partai-partai populis. Akan tetapi, kawasan dengan kesenjangan tinggi menunjukan tingginya angka golput menandakan mereka mungkin tidak merasa terwakili oleh partai-partai di Italia.
ADVERTISEMENT
Selain pertentangan elit dan masalah kesenjangan, faktor lain di balik rapuhnya politik di Italia adalah pandangan skeptis masyarakat terhadap isu pengungsi dan imigran. Kabar buruknya, kerentanan Italia dari isu pengungsi meningkat dari 4,5 pada tahun 2021 menjadi 4,6 pada tahun 2022. Kendati pengungsi dan imigran adalah dua istilah yang berbeda, tetapi keduanya dapat sama-sama ditolak oleh kelompok sayap kanan ekstrim dan bahkan neo-fasis.
Di Italia, indikator tersebut dapat menunjukan banyak hal. Nasionalisme ekstrem serta sentimen yang berbau rasial terbilang masih menjadi isu yang sensitif. Sebagai catatan, PM Paolo Gentiloni dari Partito Democratico (PD) yang berhaluan kiri-tengah kehilangan posisi akibat terpaan isu pemberian status kewarganegaraan kepada para imigran. Gentiloni saat itu mencanangkan program naturalisasi untuk 800.000 anak yang lahir di Italia dari orang tua asing ataupun bagi warga negara asing yang sudah lama tinggal di Italia. Kebijakan pro-imigran seperti itu banyak ditentang terutama oleh M5S dan Forza Italia.
ADVERTISEMENT
Ditengarai isu-isu sosial seperti itu akan terus mengemuka di Italia. Terlebih kelompok ultra kanan FdI yang dipimpin Giorgia Meloni sedang bergerak untuk mencapai posisi puncak dalam pemerintahan.