Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Masa Depan Inskripsi Warisan Budaya Takbenda
2 Juli 2022 16:58 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Naldo Helmys tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Manifestasi budaya, apapun wujudnya, punya andil besar sebagai identitas nasional yang mencirikan suatu bangsa. Ciri khas itu menjadi pembeda suatu bangsa di tengah pergaulan global. Bahkan lebih dari itu identitas nasional turut menentukan seberapa jauh peranan suatu bangsa di dunia.
ADVERTISEMENT
Sebagai bangsa yang berbudaya tinggi-multikultural, moderat, dan toleran-Indonesia patut mengambil peran untuk menyebarkan inklusivitas bagi dunia. Sudah seyogyanya, pelestarian budaya turut dimanfaatkan untuk mencapai tujuan nasional. Yang diharapkan, budaya Indonesia tidak saja dikenal dunia, tetapi mampu memberi sumbangsih sebagai alternatif atas permasalahan global kontemporer.
Agar maksud itu tercapai, budaya patut diperlakukan sebagai warisan masa lampau. Warisan bukan tongkat estafet yang diserahterimakan dari satu tangan ke yang lain boleh jadi tanpa memberi pengaruh yang signifikan. Sebaliknya, di dalam warisan, inheren makna bahwa pewaris mengharapkan adanya perubahan kehidupan ke arah yang lebih baik manakala itu diwariskan. Budaya sebagai warisan dimaknai sebagai kekuatan pengubah dengan daya cipta untuk membentuk rupa peradaban yang berkesinambungan.
ADVERTISEMENT
Pemeliharaan budaya suatu bangsa bukan lagi tanggung jawab negara secara individu, melainkan sudah menjadi tujuan global. Salah satunya dilakukan dengan inskripsi Warisan Budaya Takbenda (WBTB) pada Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO). Langkah ini sudah diawali dengan disepakatinya Konvensi Perlindungan Warisan Budaya Takbenda tahun 2003. Perjanjian inilah yang menjadi dasar inskripsi WBTB suatu negara di UNESCO.
Adapun WBTB Indonesia yang pertama kali didaftarkan di UNESCO adalah keris dan wayang pada tahun 2008. Setelah itu dari tahun ke tahun WBTB baru didaftarkan, yaitu batik (2009), angklung (2010), tari saman (2011), dan noken (2012). Namun, belakangan, satu negara hanya dapat mendaftarkan satu WBTB untuk dua tahun. Melalui mekanisme ini, Indonesia berhasil mendaftarkan tiga genre tari bali (2015), proses pembuatan pinisi (2017), pencak silat (2019), dan gamelan (2021). Selain itu, ada mekanisme lain, yaitu pengusulan bersama oleh dua negara atau lebih. Strategi ini rupanya pernah dilaksanakan ketika Indonesia dan Malaysia berhasil mendaftarkan pantun pada tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Esensi inskripsi WBTB ke UNESCO bukan terletak pada pendaftarannya. Warisan tersebut disebut takbenda kendati beberapa ada yang dapat diekspresikan dalam wujud yang bisa disentuh, seperti batik atau keris misalnya. Namun, penekanan WBTB bukan pada objek, melainkan keseluruhan sistem budaya yang melekat pada objek tersebut.
Pada keris misalnya, melekat nilai-nilai dan makna keselarasan. Sedangkan pada batik tertentu melekat padanya alur hidup orang Indonesia, sebab ia dikenakan pada proses melahirkan hingga kematian. Sehingga yang diharapkan dari adanya kerangka UNESCO tersebut adalah pemeliharaan, bukan saja wujud budayanya, tetapi juga nilai. Yang diharapkan dari sehelai kain batik, umpamanya, tidak saja orang banyak memakainya secara kuantitas, tetapi bagaimana nilai-nilai itu meresap memandu cara bertingkah secara kualitas.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, ada pekerjaan besar yang melibatkan semua pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, pelaku budaya, hingga industri untuk mencapai titik temu pemahaman akan pemeliharaan nilai apa sesungguhnya yang diharapkan dari inskripsi WBTB ke UNESCO. Jangan sampai, misalnya, kecintaan terhadap budaya itu hanya tumbuh ketika ada potensi sengketa budaya. Meski terkadang klaim-klaim budaya tertentu oleh negara lain menimbulkan gejolak di tanah air. Seketika timbul semangat untuk melindungi. Akan tetapi, sudah sepatutnya kecintaan terhadap budaya tanah air tidak boleh berhenti di situ. Melainkan harus terus diperbaharui sesuai kebutuhan sehingga tercapai yang namanya lestari.
Tahun ini jamu sedang dalam proses pengusulan sebagai inskripsi ke UNESCO, sementara ada usulan bersama negara tetangga untuk mendaftarkan kebaya. Pertama, tentu ini harus dilihat sebagai langkah harmoni. Manakala sengketa budaya antar negara dapat dihindarkan dengan adanya kepemilikan bersama, tentu itu dapat dipilih jika ada manfaat nyatanya. Kedua, proses pengusulan tersebut tentu mesti dipahami sebagai kepentingan nasional yang holistik, bukan kepentingan golongan ataupun kedaerahan. Sehingga apapun yang akhirnya diusulkan dan diterima, sudah sepatutnya menjadi kebanggaan bersama bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Lantas, mengapa pelestarian budaya dengan inskripsi ke UNESCO ini penting? Barangkali tidak ada jawaban mutlak, tetapi dapat dibaca bahwa inilah upaya bersama agar kebudayaan dari peradaban umat manusia tidak didominasi oleh kultur tertentu saja, katakanlah itu sifatnya euroamerikasentris. Seiring dengan berkembangnya studi poskolonial dalam Hubungan Internasional, makin masif pula upaya untuk membangun dunia yang lebih beragam. Bukan sebagai antitesis terhadap barat. Dikotomi timur-barat rasanya usang memang. Melainkan, yang diharapkan adalah dunia yang berwarna, harmoni, inklusif, dan saling menghargai.
Kalau diperhatikan pula, di tanah air kita dan di berbagai belahan dunia, gelombang kultur asing itu tidak saja datang dari barat. Dua dekade silam mungkin demikian. Akan tetapi saat ini, ketimbang ‘mengultuskan’ bule, anak muda kita mungkin lebih ingin berfoto bersama dengan ‘oppa’ Korea. Alih-alih mengimitasi gaya berpakaian masyarakat barat, busana bernuansa Timur Tengah tidak kalah laku.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya bukan apakah gelombang-gelombang itu akan menggerus budaya nasional, sebab sejarah sudah membuktikan bangsa Indonesia sudah terbiasa menjadi tempat pertemuan lintas budaya. Namun, yang menjadi tanda tanya besar, bagaimana agar budaya kita, termasuk WBTB, dapat lebih mendunia.
Jika, pada seratus tahun Indonesia nanti kita ingin menyaksikan budaya nasional kita menjadi salah satu pusat-pusat budaya dunia yang lestari, maka dari sekaranglah perjalanan itu dimulai. Kerja-kerja itu jelas tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin. Dialog lintas budaya antar negara perlu digalakkan. Pusat-pusat studi budaya perlu dibangun. Pemerintah, masyarakat, penggiat budaya, dan industri harus saling menopang. Sampai kapan? Mungkin sampai pantun jadi gaya baru salam sapa masyarakat dunia?