news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Tantangan IPEF di ASEAN

Naldo Helmys
CPNS Diplomat Pusat Strategi Kebijakan Multilateral Kementerian Luar Negeri. Dosen Tutor Ilmu Pemerintahan Universitas Terbuka. Penulis Isu-isu Hubungan Internasional. Semua tulisan di platform ini adalah pandangan pribadi.
Konten dari Pengguna
22 Mei 2022 21:52 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Naldo Helmys tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden AS Joe Biden berjabat tangan dengan Menlu Jepang Yoshimasa Hayashi saat kedatangannya di Pangkalan Udara Militer AS Yokota di Fussa, Jepang, 22 Mei 2022. REUTERS/Kim Kyung-Hoon
zoom-in-whitePerbesar
Presiden AS Joe Biden berjabat tangan dengan Menlu Jepang Yoshimasa Hayashi saat kedatangannya di Pangkalan Udara Militer AS Yokota di Fussa, Jepang, 22 Mei 2022. REUTERS/Kim Kyung-Hoon
ADVERTISEMENT
Agenda internasional Presiden Joe Biden bulan Mei ini padat soal Indo-Pasifik. Usai menghelat KTT ASEAN-AS di Washington, D.C. tanggal 12-13, Biden berkunjung ke Korea Selatan tanggal 20-22, dan tengah mengikuti KTT Quad di Jepang tanggal 22-23. Jika benang merahnya ditarik maka pertemuan AS dengan sejumlah pemimpin Asia itu bermuara pada satu tujuan: menghadirkan kembali peran sentral AS di kawasan Indo-Pasifik.
ADVERTISEMENT
Lobi-lobi AS sangat kuat mendorong negara-negara Asia, khususnya Asia Tenggara dan Asia Timur, agar ikut dalam kerja sama yang disebut Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik (IPEF). Biden sengaja ke Jepang untuk merilis IPEF pada Senin, 23 Mei 2022. Sebelumnya, dalam kunjungan Biden ke Korea Selatan, Presiden Yoon Suk-yeol yang baru dilantik juga menyatakan dukungan terhadap kerja sama ekonomi itu. Hal itu dilakukan di tengah narasi Yoon untuk mendorong denuklirisasi Korea Utara.
Pengamat menilai, IPEF lebih dari sekadar kerja sama ekonomi, melainkan bentuk upaya AS untuk menghadang pengaruh China di kawasan. IPEF yang diwacanakan Biden sejak Oktober tahun lalu telah menjadi bagian dari Strategi Indo-Pasifik Gedung Putih yang dirilis Februari silam.
Kerja sama tersebut sempat dianggap sebagai blok perdagangan bebas baru, tetapi kemudian diklarifikasi bahwa kerangka ini lebih ke arah kemitraan strategis komprehensif yang berdiri di atas empat pilar: 1) Perdagangan yang adil; 2) Rantai pasok yang tangguh; 3) Infrastruktur, energi bersih, dan dekarbonisasi; 4) Pajak dan anti-korupsi. Bagaimana rincian dari keempat pilar belum tampak jelas, tetapi salah satunya akan bicara mengenai ekonomi digital.
ADVERTISEMENT
Sekilas, IPEF tampak menjanjikan terlebih itu digadang Biden sebagai kemitraan multilateral untuk abad ke-21, meski nada pesimistis bisa bermunculan bahwa kerangka ekonomi ini mungkin tidak mampu menjawab tantangan-tantangan di abad kita. Alih-alih menjadi solusi, keberadaan IPEF justru dapat menjadi demikian dilematis. Sikap Indonesia untuk tidak terburu-buru bergabung dengan IPEF patut diapresiasi.
Paling tidak ada beberapa persoalan yang masih menjadi tanda tanya dari IPEF. Pertama ialah soal keanggotaan. Presiden Joko Widodo menyampaikan beberapa waktu lalu bahwa Indonesia tertarik ikut serta jika IPEF dapat menjadi ruang kerja sama yang inklusif.
Masalahnya, IPEF saat ini terlalu berkiblat kepada AS sehingga dikhawatirkan hanya akan menjadi alat pemenuhan kebutuhan kaum menengah Paman Sam, salah satu persoalan Amerika yang disorot Biden saat kampanye tahun lalu. Saat ini IPEF beranggotakan sekutu ekonomi dan keamanan AS: Australia, Selandia Baru, Jepang, Korea Selatan, Singapura, Filipina, dan Malaysia. Mungkin hal itu biasa saja andai kecenderungan pada AS ada di ruang vakum. Persoalannya, IPEF hadir di tengah konteks persaingan pengaruh AS dan China di kawasan.
ADVERTISEMENT
Menarik untuk menanti bagaimana Biden akan mendorong negara-negara Asia lain agar bisa bergabung sehingga IPEF menjadi lebih inklusif. Membayangkan China turut serta adalah hal yang nyaris mustahil. IPEF sendiri dibentuk sebagai respons terbentuknya blok perdagangan terbesar saat ini yakni Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) yang diikuti China tanpa partisipasi AS. India diharapkan bergabung, tetapi kehadiran mereka mungkin akan ditolak beberapa anggota RCEP mengingat India telah menarik diri dari perundingan RCEP.
Sedangkan AS tampak tidak tertarik untuk mengikutsertakan seluruh ASEAN. Myanmar yang saat ini dipimpin junta militer dianggap tidak sesuai dengan demokrasi dan liberalisme. Publik Amerika mungkin akan menolaknya. Sedangkan postur ekonomi dan perdagangan Laos dan Kamboja akan sulit bersaing. Sisanya, seperti Indonesia atau Vietnam masih mengamati perkembangan. Sedangkan Thailand masih tanda tanya.
ADVERTISEMENT
Masalah kedua dari IPEF adalah komitmen AS sendiri. Bukan rahasia bila AS sering menginisiasi suatu perjanjian tetapi kemudian menarik diri. Contoh buku teks dari masalah ini adalah pembentukan Liga Bangsa Bangsa (LBB) usai Perang Dunia I. Tapi itu terlalu jauh. Dalam konteks Indo-Pasifik beberapa tahun lalu pun AS masih demikian.
Sebagai catatan pada tahun 2016 Presiden Barack Obama turut menandatangani Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) bersama 11 negara lainnya. Namun, segera setelah dilantik pada Januari 2017 Presiden Donald Trump menarik diri dari TPP yang menimbulkan pertanyaan atas komitmen AS di Indo-Pasifik. Penarikan itu membuat TPP gagal diberlakukan, tetapi 11 negara lain kemudian segera membentuk kerja sama baru, Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP).
ADVERTISEMENT
Sedangkan saat ini Biden kembali menghadirkan AS di Indo-Pasifik bukan bergabung dengan CPTPP, tetapi membentuk IPEF yang didorong untuk menciptakan kawasan yang lebih adil, sejahtera, dan tangguh. Namun, apa yang dapat menjamin komitmen AS tersebut? Kawasan tentu tidak berharap sewaktu-waktu perundingan IPEF mandek dan AS cabut.
Agar dua problematika tersebut dapat diatasi, sepertinya AS perlu pendekatan khusus terhadap ASEAN. Sebab organisasi ini menjadi kunci keberhasilan cita-cita Indo-Pasifik. Pada prinsipnya ASEAN terbuka bermitra dengan pihak mana saja. Namun, ada tiga prasyarat: 1) Hormati perdamaian dan kestabilan ASEAN; 2) Harus sesuai dengan ASEAN Outlook on the Indo-Pacific; 3) Jangan paksa ASEAN untuk memilih antara China atau AS.
Ketiga prasyarat tersebut berkelindan. ASEAN tentu menyadari posisinya sebagai organisasi kawasan yang saat ini cukup menarik sehingga negara kuat seperti China dan AS meliriknya sebagai pemain kunci di Indo-Pasifik. Namun, jika negara-negara ASEAN tidak solid, dan harus memilih antara China atau AS, maka kestabilan kawasan akan terganggu. Tidak lain karena China menjadi pihak yang berkonflik soal Laut China Selatan dengan beberapa negara ASEAN. Kemudian, apabila kawasan sudah tidak lagi stabil, maka cita-cita untuk menghadirkan Indo-Pasifik yang lebih sejahtera akan sulit tercapai.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, agar IPEF dapat dianggap inklusif dan bukan alat politik AS semata untuk menghadang pengaruh China, maka pendekatan yang sesuai dengan prinsip yang dianut ASEAN amat penting dilakukan.