Wukuf di Tengah Perang Antar Bangsa

Naldo Helmys
CPNS Diplomat Pusat Strategi Kebijakan Multilateral Kementerian Luar Negeri. Dosen Tutor Ilmu Pemerintahan Universitas Terbuka. Penulis Isu-isu Hubungan Internasional. Semua tulisan di platform ini adalah pandangan pribadi.
Konten dari Pengguna
8 Juli 2022 17:52 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Naldo Helmys tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi wukuf di Arafah (sumber: republika.co,id)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wukuf di Arafah (sumber: republika.co,id)
ADVERTISEMENT
Wukuf, salah satu proses haji yang ditandai dengan berkumpulnya para jemaah di Padang Arafah, mengandung makna perdamaian yang sangat kuat. Kiranya, ibadah yang spesial tersebut dapat menjadi doa penyembuh bagi dunia yang dilanda perang dan konflik bersenjata tiada henti.
ADVERTISEMENT
Pada tahun ini, wukuf, yang selalu diselenggarakan setiap tanggal 9 Dzulhijjah dalam tarikh hijriah, bertepatan dengan tanggal 8 Juli 2022 waktu Arab Saudi. Sedangkan di belahan bumi lain, di Nusa Dua, Bali, persisnya, para Menteri Luar Negeri dari kelompok G20 tengah berkumpul membicarakan satu hal: perdamaian di Ukraina.
Kedua peristiwa tidak ada hubungannya. Yang satu adalah ritual suci, sedang yang lain adalah urusan politik dan ekonomi antar bangsa. Tidak ada pula indikasi bahwa pertemuan G20 itu sengaja dipilih bertepatan dengan wukuf di Padang Arafah. Namun, keduanya boleh jadi mengarah pada satu harapan utama umat manusia untuk perdamaian, dengan cara yang berbeda tentunya.
Wukuf dimaknai sebagai hari ketika manusia bersatu, dalam barisan takdir yang seirama, kendati datang dari berbagai suku bangsa berbeda. Wukuf adalah suatu seremoni khidmat untuk mengenang kembali kisah pertemuan Nabi Adam dan Hawa. Lebih jauh lagi untuk mencari kembali makna peranan manusia di muka bumi.
ADVERTISEMENT
Dalam tradisi Islam, Nabi Adam dan Hawa diutus ke dunia setelah sebelumnya keduanya sempat merasakan untuk sementara kenikmatan surga. Namun, tradisi mencatat, keduanya terpisah di belahan dunia yang berbeda. Ada banyak sekali terkaan soal di mana persisnya Nabi Adam dan Hawa diturunkan pertama kali di bumi, dan bukan tempatnya di sini untuk disebutkan. Yang jelas, seperti cerita yang berakhir bahagia, keduanya akhirnya kembali bertemu di Padang Arafah.
Maknanya untuk perdamaian sederhana. Dua orang manusia yang terpisah, berbeda belahan dunia, bertemu bukan untuk saling menyalahkan keadaan, melainkan untuk saling memahami. Keduanya bisa saja bertengkar pada kesempatan itu untuk menuding siapa yang harus disalahkan atas kesalahan yang diperbuat ketika masih berada di surga, yang mengakibatkan keduanya keluar dari taman firdaus tersebut. Akan tetapi, yang dilakukan keduanya bukan saling mencari kesalahan atau saling mencari pembenaran yang angkuh, melainkan saling memahami.
ADVERTISEMENT
Kata ‘arafah’ berarti ‘pengetahuan’. Tersirat makna bahwa di tempat itulah untuk pertama kalinya di dunia, manusia mampu menggapai ‘pengetahuan’ tentang tujuannya; peran besar yang dilakoni di dunia untuk meneroka peradaban. Dapat dikatakan pula, itulah momen awal ketika manusia, secara sosial, saling mengetahui dan memahami satu sama lain. Adam dan Hawa sampai pada titik untuk saling memahami sehingga dari mereka berdua terlahir peradaban umat manusia. Terlahir seluruh bangsa.
Ketika melaksanakan wukuf, seluruh jemaah dari berbagai ras dan bangsa mengenakan pakaian ihram yang sama. Di sana tidak terlihat lagi atribut-atribut yang sadar atau tidak telah menciptakan sekat antar bangsa. Di sana, kendati manusia datang dengan tutur bahasa yang berbeda, terhimpun, seolah-olah tanpa komando, untuk tindak yang serupa.
ADVERTISEMENT
Tidak ada bos, pimpinan, atau kepala di Padang Arafah. Setiap orang mengikuti bahasa agama secara tersurat. Sedang secara tersirat, setiap orang mengikuti bahasa kemanusiaan, bahasa perdamaian. Sebab, tidak seorang pun yang datang ke Padang Arafah dengan niat untuk menyakiti sesama manusia.
Wukuf tidak lain merupakan pertemuan internasional kuna yang lestari sekaligus dibutuhkan untuk dunia yang terus dicederai oleh konflik bersenjata. Tatkala sebagian anak-anak Adam mencapai harmoni di Padang Arafah, sebagian anak-anaknya yang lain justru terus-menerus berperang, baik itu yang melibatkan antar bangsa seperti perang Rusia-Ukraina, maupun perang sipil seperti terjadi di Yaman. Belum lagi konflik yang seolah abadi, seperti Israel-Palestina.
Perang apapun di tengah konstelasi politik internasional modern membawa penderitaan terhadap warga sipil. Yang terpenting dari perang bukan untuk mencari pihak yang salah, melainkan mencari titik temu kepentingan agar perdamaian dan pembangunan terlaksana. Langkah itulah yang pernah diambil oleh Habil, salah satu putra Nabi Adam, ketika saudaranya, Qabil, bermaksud mengeskalasi konflik.
ADVERTISEMENT
Tentu, kisah Habil dan Qabil sudah dipahami dengan baik oleh penganut agama samawi. Dalam Al-Quran sendiri, diceritakan keduanya diminta untuk berkurban. Habil memberikan kurban terbaiknya, sedangkan Qabil yang kikir hanya mempersembahkan produk-produk sisa dari industri yang dilakoninya. Singkat cerita, kurban Qabil ditolak, sehingga dia menjadi iri terhadap pencapaian saudaranya. Qabil berusaha memprovokasi, tetapi Habil memilih jalan damai, meskipun pada akhirnya dia dibunuh oleh Qabil.
Apakah Qabil memenangkan perang? Tidak. Hidupnya menjadi tidak bermakna, terusir, dan mengembara tanpa arah di bumi. Qabil, yang mengandalkan kekuatan brutal untuk menekan sesama manusia, tidak memenangkan apapun dari perang yang dimulainya sendiri.
Barangkali konflik antar bangsa, bahkan perang saudara, adalah repetisi Habil-Qabil. Dikotomi bangsa yang tertindas berhadapan dengan bangsa penindas semacam itu sering dijadikan analogi, khususnya oleh Ali Shariati, sosiolog Islam asal Iran. Atau jangan-jangan Shariati, ataupun para pemimpin dunia yang membagi dunia untuk dibenturkan tengah keliru? Jangan-jangan, yang berseteru bukanlah Habil-Qabil, melainkan si Qabil dengan dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Boleh jadi, dalam konflik umat manusia, yang terjadi adalah perjuangan panjang manusia melawan sifat-sifat kebinatangan di dalam dirinya sendiri. Boleh jadi pula, suatu bangsa berperang bukan melawan bangsa lain, melainkan bangsanya sendiri, kelompoknya sendiri, dan hawa nafsunya sendiri. Karakteristik destruktif itulah yang lantas disembelih secara simbolis pada saat pelaksanaan pemotongan hewan kurban yang menyusul ibadah Salat Idul Adha. Semoga, upaya untuk mewujudkan dunia yang lebih damai tidak pernah kalah.