Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kritik atas Paradigma Pembangunan Paslon Presiden
12 Februari 2024 14:29 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Debat penutup antar-paslon Pilpres 2024 baru selesai terlaksana. Publik akhirnya mengetahui secara utuh pikiran-pikiran setiap paslon presiden, termasuk pertentangan-pertentangan di dalamnya. Salah satu pertentangan yang paling mengemuka adalah komitmen keberpihakan terhadap lingkungan hidup, tetapi mempertahankan paradigma pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita ketahui, sampai debat terakhir, setiap paslon secara implisit atau eksplisit selalu menekankan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana juga tertulis pada visi-misi mereka yang menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5.5 persen hingga 7 persen per tahunnya. Mereka percaya bahwa target tersebut bisa dicapai bersamaan pemenuhan kepentingan lingkungan, yang termanifestasi dari gagasan penyelarasan pertumbuhan ekonomi dengan lingkungan, pembangunan yang berwawasan lingkungan, ekonomi-hijau, atau sejenisnya.
Namun, banyak ahli skeptis dan menganggap pertumbuhan ekonomi dengan kepentingan lingkungan saling berkontradiksi, serta menyarankan perubahan radikal terhadap paradigma pembangunan sekarang untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang semakin mengkhawatirkan. Lantas, bagaimana kontradiksi antarkeduanya? Apa paradigma alternatif yang bisa kita tawarkan, terutama untuk menghentikan laju kerusakan lingkungan dan memenuhi target iklim Perjanjian Paris?
Pertumbuhan Hijau
ADVERTISEMENT
Gagasan-gagasan yang diusung oleh setiap paslon presiden sebenarnya bukan gagasan baru. Gagasan tersebut biasa dikenal pertumbuhan hijau (green growth) yang dianut oleh mayoritas negara dan organisasi dunia, seperti Bank Dunia, The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), Uni Eropa, dan ASEAN. Pertumbuhan hijau merupakan konsep yang percaya bahwa pembangunan yang mengacu pada pertumbuhan ekonomi dapat berjalan beriringan dengan lingkungan—tidak bersifat trade off.
Pertumbuhan ekonomi diklaim dapat terus berlanjut, sedangkan dampak negatif lingkungan berkurang atau hilang. Dengan kata lain, terjadi pemisahan (decoupling) antara pertumbuhan ekonomi dan dampak lingkungan dari aktivitas ekonomi. Pemisahan tersebut, dibedakan menjadi dua: pemisahan relatif dan absolut. Permisahan relatif berlangsung ketika tekanan lingkungan masih meningkat, tetapi tidak melebihi produk domestik bruto (PDB). Sedangkan pemisahan absolut, berlangsung pengurangan absolut pada penggunaan sumber daya atau emisi, sementara ekonomi terus tumbuh.
ADVERTISEMENT
Gagasan pertumbuhan hijau pada dasarnya berakar pada gagasan pembangunan arus utama yang berpegang pada paradigma pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produktivitas dan konsumsi. Gagasan ini mengasumsikan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat berlangsung secara terus-menerus dan tanpa batas. Di sinilah kritik utamanya, bahwa pertumbuhan ekonomi terus-menerus dan tanpa batas dengan perlindungan lingkungan saling berkontradiksi.
Terlepas dari upaya untuk membuat pertumbuhan menjadi “hijau”, produktivitas dan konsumsi yang didorong hingga tahap maksimal dan terus menerus guna memacu pertumbuhan ekonomi pasti akan berdampak buruk terhadap lingkungan. Misalnya, hilirisasi nikel yang berulang-ulang disebut Gibran, meskipun digunakan untuk program pengurangan emisi (transisi kendaraan listrik), peningkatan ekstraksi nikel akan berbanding lurus terhadap peningkatan emisi dan kerusakan lingkungan.
Menurut ahli ekologis, Herman Daly (2011), asumsi pertumbuhan ekonomi tanpa batas juga hanya akan terjebak pada “teorema ketidakmungkinan”: pertumbuhan ekonomi tidak mungkin bisa tumbuh secara tak terbatas dalam lingkungan yang terbatas. Sumber daya yang terbatas, bahkan langka, mustahil bisa terus dieksploitasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Pertumbuhan ekonomi, pada dirinya, juga menyimpan banyak masalah: (1) menciptakan kesenjangan pendapatan antarkelompok-kelompok masyarakat; (2) memicu ketidaksetaraan sosial; (3) ketergantungan pada sumber daya alam; (4) overkonsumsi dan pemborosan sumber daya; dan (5) memicu kerusakan lingkungan akibat budaya konsumtif dan eksploitasi sumber daya yang berlebihan.
Pertumbuhan ekonomi yang sering diukur melalui PDB juga sama bermasalahnya, terutama karena tidak menghitung kerusakan lingkungan dari aktivitas ekonomi, serta ketidakmampuan mengukur tingkat kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat. Paradoksnya, pemerintah sering mengglorifikasi tingkat pertumbuhan ekonomi atau PDB sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat.
Kritik lainnya tentang pertumbuhan hijau adalah ketergantungannya terhadap teknologi. Penggunaan teknologi hijau, seperti energi terbarukan seringkali menjadi fokus utama pertumbuhan hijau. Anomalinya, aspek penting lain, seperti pengurangan konsumsi dan pengelolaan sumber daya dengan bijak dilupakan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, gagasan pertumbuhan hijau tampak hanya sekadar slogan atau praktik greenwashing. Rezim-rezim pemerintah hanya sibuk membangun citra “hijau”, tanpa benar-benar melakukan perubahan substansial dalam upaya melestarikan dan mengatasi masalah-masalah lingkungan.
Pasca-Pertumbuhan
Pada tahun 2023, Lewis King, dkk melakukan survei terhadap 789 pakar iklim dunia terkait kemampuan pertumbuhan hijau dalam mengatasi permasalahan lingkungan, terutama perubahan iklim. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa 7 dari 10 pakar iklim dunia ragu terhadap pertumbuhan hijau dalam mengatasi permasalahan lingkungan, terutama krisis iklim. Menariknya, 73% mereka memandang lebih sejalan dengan posisi paradigma pasca-pertumbuhan (post-growth) yang menentang dominasi paradigma pertumbuhan ekonomi terus-menerus.
Bagi kelompok pasca-pertumbuhan, tujuan pertumbuhan ekonomi secara terus menerus dan tanpa batas harus dihentikan, karena bukan hanya berbahaya bagi lingkungan dan masyarakat, tetapi juga mustahil karena dunia kita punya keterbatasan. Pasca-pertumbuhan umumnya terbagi menjadi dua, yaitu agrowth dan degrowth.
ADVERTISEMENT
Agrowth mengadopsi pandangan yang moderat, yang menekankan pada pencapaian keberlanjutan melalui kebijakan yang tepat dan tanpa bertumpu pada fluktuasi PDB. Sedangkan degrowth mengambil posisi lebih kritis, bahwa pengurangan aktivitas produksi dan konsumsi harus segera dilakukan dalam skala global untuk “mengerem” laju kerusakan bumi dan memenuhi target iklim Perjanjian Paris.
Jika dianalisis, posisi agrowth sebenarnya lebih kabur karena hanya fokus pada kebijakan dan bukan target, sehingga menyebabkan kerancuan antara upaya dan hasil. Oleh karena itu, degrowth lebih relevan karena punya tujuan yang lebih jelas, terutama karena sejalan dengan Perjanjian Paris untuk menjaga kenaikan suhu global maksimum 2°C, dengan sebisa mungkin berupaya menjaga tidak lebih 1,5°C.
Sulit, jika bukan mustahil untuk mencapai target penurunan emisi jika tetap mempertahankan tujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga tahap maksimal. Karena, secara historis, di bawah rezim pertumbuhan ekonomi, tren peningkatan emisi terus berlangsung; dibandingkan tahun 1990, emisi tahunan telah meningkat dua kali lipat lebih per tahun 2019.
ADVERTISEMENT
Laporan terbaru Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), sebuah organisasi ilmiah antarpemerintah yang didirikan oleh PBB, menyebut bahwa temperatur bumi saat ini telah mencapai 1,1°C di atas pra-industri. Kenaikan diprediksi bisa mencapai 1,5°C pada awal dekade 2030. Jalan satu-satunya untuk menjaga suhu bumi tidak melebihi 2°C pada 2050, yaitu emisi gas rumah kaca harus ditekan sebesar 21% pada 2030 dan 35% pada 2035. Jika menargetkan tidak lebih 1,5°C, maka usaha untuk menekan emisi bumi harus lebih besar lagi.
Oleh karena itu, dunia harus beralih dari tujuan pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi terus menerus dan tanpa batas yang menyebabkan peningkatan emisi karbon, kerusakan lingkungan, kesenjangan ekonomi, kesenjangan sosial, dan kualitas hidup yang memburuk. Solusi alternatif yang kita punya adalah degrowth, yang tujuan pembangunannya tidak berfokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi pada: (1) kesejahteraan dan kualitas hidup; (2) keseimbangan lingkungan; (3) redistribusi kekayaan dan kekuasaan dalam masyarakat; (4) menciptakan sistem ekonomi yang adil dan merata.
ADVERTISEMENT
Strategi untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan menerapkan usaha terencana dan demokratis untuk memangkas angka produksi dan konsumsi untuk meringankan beban lingkungan, terutama pada kelompok atau negara berpendapatan tinggi. Sebagaimana menurut studi terbaru Jefim dan Jason (2023), yang menunjukkan bahwa tingkat produksi emisi kelompok atau negara berpendapatan tinggi masih jauh dari yang dibutuhkan untuk mempertahankan suhu global di bawah 2°C.
Selain itu, kata “demokratis” juga menjadi bagian fundamental. Karena degrowth bertujuan meningkatkan kesejahteraan semua orang dan mengurangi kesenjangan sosial ekonomi yang disebabkan oleh rezim pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, meminjam ungkapan Kohei Saito, degrowth adalah “rem darurat untuk mengakhiri eksploitasi kemanusiaan dan perampokan alam habis-habisan”.