Bagimu Malasmu, Bagiku Malasku

Namira Afifah Diyana
Korean studies graduates. Currently working in collaboration team of kumparan.
Konten dari Pengguna
5 Agustus 2021 20:53 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Namira Afifah Diyana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto: Unsplash.com/@ar1991
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: Unsplash.com/@ar1991
ADVERTISEMENT
Maudy Ayunda yang diterima S2 di Stanford dan Harvard itu pernah berkata: "Pada saat kalian malas berarti motivasinya yang belum ada dan itu yang harus dicari."
ADVERTISEMENT
Tapi apa benar begitu?

Malas dan Prokrastinasi

Menurut KBBI, malas berarti: 1. Tidak mau bekerja atau mengerjakan sesuatu; dan 2. Tidak bernafsu, tidak suka, segan, enggan. Banyak yang menganggap ketika rasa malas itu datang, kita jadi cenderung menunda-nunda pekerjaan, atau istilah lainnya procrastinate.
Rasa malas dan procrastinate (kita sebut saja prokrastinasi) ini perbedaannya sangat samar. Tapi sesungguhnya keduanya berkaitan: Bahwa rasa malas merupakan bagian dari prokrastinasi. Seseorang tidak serta-merta enggan melakukan sesuatu hanya karena mereka merasa malas. Pernahkah kalian mau membaca novel yang baru dibeli, misalnya, tapi malah ujung-ujungnya melakukan suatu hal lain sehingga buku yang tadinya mau kalian baca tergeletak begitu saja.
ADVERTISEMENT
Joseph Ferrari dan Timothy Pychyl, profesor psikologi yang melakukan penelitian pada prokrastinasi, sependapat bahwa menunda-nunda pekerjaan justru bukan masalah dalam regulasi waktu (time management), tapi regulasi emosi. Prokrastinasi merupakan cara kita untuk mengalihkan perasaan stres (tekanan)—bosan, takut, khawatir, frustasi, ketidaknyamanan, kebencian, ragu-ragu, ketidakpercayaan diri, dsb—yang menyertai suatu tugas atau hal yang harus kita lakukan dan selesaikan.
Jadi saat timbul rasa malas berujung prokrastinasi, sebenarnya itu seperti jalan tikus untuk menghindari stres tersebut dan tetap berada dalam zona nyaman kita.
Namun, kita punya yang namanya kesadaran diri atau self awareness. Secara sadar kita tahu bahwa menunda pekerjaan tidak membuat pekerjaan itu selesai dengan sendirinya dan justru akan menambah beban hidup di kemudian hari, tapi tetap saja ujung-ujungnya kita lakukan juga.
ADVERTISEMENT
Kemudian ketika kita dihadapkan pada konsekuensi menunda pekerjaan di akhir, seperti tugas yang tidak selesai atau kurang memuaskan akan timbul rasa sesal kemudian jadi menyalahkan diri sendiri dan tingkat percaya diri kita jadi lebih turun. Tidak heran Piers Steel, seorang profesor psikologi motivasi di University of Calgary, mengatakan kalau prokrastinasi itu seperti tindakan menyakiti diri sendiri.

Mengatasinya?

Cara mengatasinya bagi tiap orang mungkin akan berbeda. Tapi pertama-tama, akui dan ketahui perasaan malas tersebut. Secara alami, manusia menghindari hal-hal yang membuat mereka tidak nyaman. Stres yang berkelanjutan bisa menimbulkan burnout. Tapi menghindari stres tersebut dengan kesenangan sesaat tidak akan menyelesaikan sebuah masalah. Emosi tersebut harus dihadapi, head on, barulah kita bisa memulai untuk mengaturnya.
ADVERTISEMENT
Apabila sudah telanjur merasa malas dan menunda-nunda pekerjaan, maafkan dirimu. Rasa malas dan prokrastinasi lazim dialami tiap orang, selama tetap pada batasnya dan tidak dijadikan justifikasi untuk terus-terusan tidak melakukan pekerjaan itu. Karena memaafkan diri sendiri bisa meringankan rasa sesal dan bersalah yang disebabkan prokrastinasi itu sendiri.
Selanjutnya, ketika ada pekerjaan baru, just get started. Mulai saja. Apa pun emosi yang kita rasakan. Lakukan hal sekecil apa pun yang bisa membuatmu satu milimeter lebih dekat dengan finish line, karena dengan ini, sedikit-sedikit kita dapat mengumpulkan rasa puas yang bisa kita jadikan bahan bakar agar termotivasi untuk menjadi produktif dengan optimal.
Jadi bisa dibilang, rasa malas tidak bisa disepelekan. Bukan serta-merta harus cari motivasi baru atau hal baru. Banyak faktor yang mempengaruhinya dan bisa ditilik dari berbagai sisi. Seperti ketika aku menulis tulisan ini contohnya. Aku diminta untuk membuat satu tulisan per minggu. Tapi tulisan ini sebenarnya sudah lewat waktu deadline dan seharusnya aku sudah menulis tulisan baru.
ADVERTISEMENT
Menurutku menulis itu hal sulit. Aku sadar kemampuan menulisku bukan (atau belum menjadi) sesuatu yang bisa aku banggakan. Aku tidak punya hal menarik yang bisa aku sampaikan, sementara tiap tulisan setidaknya harus bisa dipertanggungjawabkan. Tentunya ini jadi lebih menakutkan karena tulisan ini nantinya harus dipublikasikan.
Sehingga aku lebih sering melakukan hal lain yang sebenarnya buang-buang waktu. Tapi pada akhirnya hal ini harus aku kerjakan. Makanya, entah di kamar mandi, sedang masak Indomie, atau ketika rebahan, selalu aku sempatkan untuk memikirkan tulisan ini (walaupun belum menulis sama sekali). Karena setidaknya, aku sudah tahu apa yang harus kulakukan ketika menulis nanti. Bagaimana dengan rasa malasmu?