Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Memahami Bagaimana Pikiran Berpikir
13 Juli 2021 10:04 WIB
·
waktu baca 2 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 14:04 WIB
Tulisan dari Namira Afifah Diyana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya aku adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya yang belajar budaya Korea termasuk bahasanya. Tapi aku ingin menceritakan bagaimana aku "terpaksa" belajar ilmu metakognisi (yang enggak nyambung dengan pelajaran budaya Korea) tapi kemudian malah jadi cinta.
ADVERTISEMENT
Perkenalanku dengan ilmu metakognisi berawal ketika aku gagal dapat kuota mata kuliah Psikologi Budaya. Dalam kasusku, Metakognisi cuma jadi sebuah mata kuliah pengganti Psikologi Budaya. Mengambil "mata kuliah di luar bidang" memang jadi kewajiban mahasiswa Universitas Indonesia.
Apa itu metakognisi?
Metakognisi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah pemahaman seseorang tentang sistem pemrosesan informasi pada dirinya sendiri.
Meta berarti di atas.
Kognisi berhubungan dengan pikiran.
Metakognisi bermakna di atas pikiran.
Contoh: Seseorang sedang membaca buku dan tiba-tiba dia merasa tidak memahami sebuah paragraf yang baru saja dibacanya.
Dia kemudian kembali lagi, mengulang membaca paragraf tersebut (kali ini dengan lebih pelan dan lebih menghayati) hingga ia betul-betul menjadi mengerti paragraf itu.
ADVERTISEMENT
Nah, tanpa sadar, metakoginisi-lah yang yang membuat ia berhenti dan membaca ulang dengan lebih menghayati paragraf tersebut.
Apa gunanya metakognisi untuk hidupku?
Karena sekarang aku sudah memahami bagaimana pikiranku berpikir, maka metakognisi ini menjadi berguna untuk membantu aku memahami pelajaran.
Dalam urusan belajar, aku sudah terbiasa mencatat materi pelajaran. Tindakan mencatatkan ke kertas menggunakan tangan itu tanpa sadar menjadi sebuah "metakognisi"-ku. Jadi, aku ini untuk memahami pelajaran tidak bisa "hanya mendengarkan guru" atau "hanya membaca buku". Aku harus mencatat.
Tapi catatan itu tidak bisa sembarangan, tergantung serumit apa pelajaran yang aku hadapi. Sebagai contoh, ketika aku belajar mata kuliah Budaya Perusahaan Korea yang rumit, aku tanpa sadar mencatatkan materi-materinya dalam sebuah mind-map yang ternyata cukup memecah kerumitan itu.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks metakognisi, karena aku sudah mengenali kemampuanku, maka aku menempuh "metode belajar" yang paling cocok untukku yaitu mencatatkan hal-hal rumit itu ke kertas.
Sebagai tambahan, metakognisi itu pula yang meyakinkan aku untuk mencari tempat-tempat sunyi untuk belajar. Bahkan jangan sampai ada musik.
Intinya, metakognisi membuat aku lebih mengenali diriku untuk mencari apa yang terbaik untuk aku belajar.