Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pengalamanku ke Tanah Gayo: Menapaki 'Surga' di Takengon, Aceh Tengah
16 Agustus 2021 13:07 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Namira Afifah Diyana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 2017, tiga tahun sebelum pandemi melanda, aku dan keluargaku pergi ke Takengon. Ibu kota Kabupaten Aceh Tengah itu merupakan tanah kelahiran ayahku.
ADVERTISEMENT
Untuk ke sana, kami naik pesawat dari Bandara Internasional Kualanamu, Medan, Sumatera Utara. Dari atas awan, terlihat bentang hutan di permukaan bukit dan gunung yang membuatku terkesima: Benar-benar seperti warna zamrud! Jarak tempuh selama 1,5 jam sama sekali tidak terasa. Tahu-tahu pesawat sudah tiba di Bandar Udara Rembele.
"Indonesia punya tempat seperti ini?"
Kira-kira begitulah kesan pertamaku ketika mendarat di Tanah Gayo Takengon ini. Langit birunya sangat indah, udaranya sejuk segar, ditambah cuacanya yang sedang bersahabat membuat mood-ku ikut cerah. Tidak ada kabut abu polusi, apalagi pantulan sinar memusingkan dari gedung-gedung kaca menjulang di Jakarta. Biarlah diriku ini menjadi norak sekali-sekali.
Sambil menunggu mobil jemputan, kami beristirahat di warung kopi di sekitar bandara sambil menyeruput nikmatnya Kopi Gayo.
Setelah 30 menit, mobil jemputan pun tiba. Kami menuju rumah sepupu untuk silaturahmi sekaligus beristirahat. Perjalanan tidak begitu melelahkan karena mataku dimanjakan dengan hijau pepohonan hutan pinus dan kebun-kebun kopi yang sebelumnya aku lihat dari pesawat. Tentu saja, langit birunya tetap menjadi pemandangan kesukaanku.
Selama perjalanan, ayah sempat bercerita tentang silsilah keluarga. Ia juga memberitahuku bahwa sebelumnya aku pernah ke sini ketika berumur 4 bulan. Mana bisa aku ingat.
ADVERTISEMENT
Hari itu, kami putuskan menghabiskan waktu untuk sekadar bersilaturahmi dengan sanak saudara, juga mencicipi makanan dan buah durian khas daerah setempat (aku lupa makan apa, tapi yang kuingat rasanya itu enak sekali).
Esoknya, kami diajak pergi berwisata alam ke Bur Telege. Tanah Gayo ini tak habis-habisnya membuatku norak. Danau Laut Tawar yang dikelilingi perbukitan membentuk kawah dan di sampingnya hamparan Kota Takengon bisa terlihat jelas.
Dengan suguhan pemandangan seperti ini, kukira tarif wisata yang dikenakan akan mahal. Ternyata, tidak! Biaya masuknya cukup Rp 5 ribu per orang.
Wisata dengan ketinggian 1.350 meter di atas permukaan laut ini menyediakan banyak fasilitas spot swafoto yang instagramable. Untuk adikku yang masih kecil, ada taman bermain yang menyediakan banyak mainan sehingga tak perlu khawatir merasa bosan. Untungnya, saat itu pengunjung di Bur Telege tidak terlalu ramai, sehingga udara sejuk dan pemandangan alamnya benar-benar cocok untuk healing.
Setelah puas berfoto-foto, kami lanjutkan ke destinasi selanjutnya yaitu Pantan Terong. Destinasi wisata ini berada di puncak bukit tidak jauh dari Bur Telege sehingga perjalanannya tidak memakan banyak waktu. Di sini, view Kota Takengon, Danau Laut Tawar, dan perbukitan yang mengelilinginya disuguhkan dari angle yang berbeda dengan Bur Telege. Jauh lebih jelas dan leluasa karena di puncak bukit ini tidak dikelilingi pepohonan.
Sayangnya, kabut mulai turun dan langit sudah dipenuhi awan ketika kami sampai di Pantan Terong. Kami tidak bisa berlama-lama karena gerimis mulai datang. Pada akhirnya, wisata hari ini ditutup dengan makan di sebuah kedai Mi Aceh. Memakan Mi Aceh seafood ditemani hangatnya kopi Gayo sambil menikmati sejuknya gerimis dan wangi hujan.
ADVERTISEMENT
Ada banyak tempat lain di Takengon, seperti Dermaga Dedalu dan sebagainya, yang belum sempat kami kunjungi karena cuaca tak mendukung dan waktu terbatas. Semoga pandemi cepat usai agar aku bisa mengobati rasa rinduku pada birunya langit di Tanah Gayo.