Tsunami Aceh 2004, 13 Tahun Kemudian

Namira Afifah Diyana
Korean studies graduates. Currently working in collaboration team of kumparan.
Konten dari Pengguna
15 September 2021 13:36 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Namira Afifah Diyana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
25 Desember 2017. Kami mengawali hari dengan menunaikan salat subuh berjemaah di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Berada di "Negeri Serambi Mekkah" setelah seharian perjalanan dari Takengon (300 kilometer jauhnya) sungguh membuatku berkesan.
Suasana subuh di Masjid Raya Baiturrahman. (Dok. Pribadi)
Hari itu kami akan "berwisata tsunami", yakni menapaktilasi tempat-tempat di Aceh sembari mengenang tragedi tsunami yang memporak-porandakan kota itu pada 2004.
ADVERTISEMENT
Masjid Raya Baiturrahman termasuk yang istimewa karena menjadi satu-satunya bangunan yang masih berdiri usai dihantam tsunami—puluhan ribu bangunan lain hancur. Di peristiwa tersebut, 170 ribu jiwa meninggal dunia.
Kami kemudian mendatangi Museum Tsunami Aceh. Museum yang dirancang oleh Ridwan Kamil alias Kang Emil itu nampak cantik sekali, sangat apik.
Museum Tsunami Aceh. (Dok. Pribadi)
Megah di luar museum masih terlihat di dalam. Lantunan doa mengiringi kami saat melihat dinding bertuliskan daftar nama korban. Merinding.
Detail tsunami 2004 yakni kronologi hingga sebab-akibat ditayangkan dalam bentuk foto maupun video. Mobil-motor dan benda-benda yang rusak diterjang bencana alam itu pun dipajang.
Dari museum, kami bertolak ke sebuah kompleks perumahan yang ajaibnya ada kapal laut yang ukurannya sangat besar.
Kapal PLTD Apung di Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Kapal yang tadinya berada di pelabuhan itu terseret tsunami hingga ke tengah kota. Pemerintah setempat lantas menjadikannya salah satu monumen tsunami Aceh. Namanya: Monumen Pltd Apung 1.
Monumen Tsunami pada Pltd Kapal Apung 1. (Dok. Pribadi)
Selepas dari kapal, kami beranjak ke puncak Gunung Geurutee. Di perjalanan, ketika kami melintasi pantai, ayahku berkata, "Dulu pas ayah ke sini, mayat di mana-mana, bergeletakan begitu saja. Ada juga yang tersangkut di pohon," katanya.
ADVERTISEMENT
Ayahku adalah salah seorang relawan tsunami Aceh. Ketika tsunami menerjang Aceh pada 2004, ayah langsung mengajukan diri menjadi relawan, terbang ke Aceh, padahal kerjanya adalah sebagai pegawai di sebuah kementerian.
Ayah tetap terbang ke Aceh meskipun ketika itu banyak informasi bahwa akan terjadi gempa dan tsunami susulan.
"...ke mana-mana bau anyir, rata semua tuh sama tanah tapi cuma Masjid (Baiturrahman) aja yang masih berdiri," jelasnya.
Kami pun tiba di puncak Gunung Geurutee, melepas lelah di sebuah kedai yang menyajikan kopi gayo arabika.
"Itu di sana sudah Samudra Hindia," kata ayahku. Aku cuma bergumam kagum, menatap horizon laut di kejauhan, berharap untuk mengabadikan momen ini di pikiran. Alam ciptaan Tuhan memang seindah itu, ya.
"Itu di sana sudah Samudra Hindia" yang dimaksud ayah. (Dok. Pribadi)
Ujung wisata kami sebelum pulang ke Jakarta adalah sore di puncak Gunung Geurutee. Walau berpisah, namun aroma kopi gayo dan birunya Samudra Hindia tetap tinggal di benakku secerah mentari pagi walau warna laut saat itu mencerminkan rona langit yang kelabu.
See you when i see you again, Aceh. (Dok. Pribadi)
[sebagai thumbnail] Monumen Tsunami pada Pltd Kapal Apung 1. (Dok. Pribadi)