Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tsunami Aceh 2004, 13 Tahun Kemudian
15 September 2021 13:36 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Namira Afifah Diyana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
25 Desember 2017. Kami mengawali hari dengan menunaikan salat subuh berjemaah di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Berada di "Negeri Serambi Mekkah" setelah seharian perjalanan dari Takengon (300 kilometer jauhnya) sungguh membuatku berkesan.
Hari itu kami akan "berwisata tsunami", yakni menapaktilasi tempat-tempat di Aceh sembari mengenang tragedi tsunami yang memporak-porandakan kota itu pada 2004.
ADVERTISEMENT
Masjid Raya Baiturrahman termasuk yang istimewa karena menjadi satu-satunya bangunan yang masih berdiri usai dihantam tsunami—puluhan ribu bangunan lain hancur. Di peristiwa tersebut, 170 ribu jiwa meninggal dunia.
Kami kemudian mendatangi Museum Tsunami Aceh. Museum yang dirancang oleh Ridwan Kamil alias Kang Emil itu nampak cantik sekali, sangat apik.
Megah di luar museum masih terlihat di dalam. Lantunan doa mengiringi kami saat melihat dinding bertuliskan daftar nama korban. Merinding.
Detail tsunami 2004 yakni kronologi hingga sebab-akibat ditayangkan dalam bentuk foto maupun video. Mobil-motor dan benda-benda yang rusak diterjang bencana alam itu pun dipajang.
Dari museum, kami bertolak ke sebuah kompleks perumahan yang ajaibnya ada kapal laut yang ukurannya sangat besar.
ADVERTISEMENT
Kapal yang tadinya berada di pelabuhan itu terseret tsunami hingga ke tengah kota. Pemerintah setempat lantas menjadikannya salah satu monumen tsunami Aceh. Namanya: Monumen Pltd Apung 1.
Selepas dari kapal, kami beranjak ke puncak Gunung Geurutee. Di perjalanan, ketika kami melintasi pantai, ayahku berkata, "Dulu pas ayah ke sini, mayat di mana-mana, bergeletakan begitu saja. Ada juga yang tersangkut di pohon," katanya.
Ayahku adalah salah seorang relawan tsunami Aceh. Ketika tsunami menerjang Aceh pada 2004, ayah langsung mengajukan diri menjadi relawan, terbang ke Aceh, padahal kerjanya adalah sebagai pegawai di sebuah kementerian.
Ayah tetap terbang ke Aceh meskipun ketika itu banyak informasi bahwa akan terjadi gempa dan tsunami susulan.
"...ke mana-mana bau anyir, rata semua tuh sama tanah tapi cuma Masjid (Baiturrahman) aja yang masih berdiri," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Kami pun tiba di puncak Gunung Geurutee, melepas lelah di sebuah kedai yang menyajikan kopi gayo arabika.
"Itu di sana sudah Samudra Hindia," kata ayahku. Aku cuma bergumam kagum, menatap horizon laut di kejauhan, berharap untuk mengabadikan momen ini di pikiran. Alam ciptaan Tuhan memang seindah itu, ya.
Ujung wisata kami sebelum pulang ke Jakarta adalah sore di puncak Gunung Geurutee. Walau berpisah, namun aroma kopi gayo dan birunya Samudra Hindia tetap tinggal di benakku secerah mentari pagi walau warna laut saat itu mencerminkan rona langit yang kelabu.