Implementasi Teknologi dalam Bayang Sustainability

Nana Nurwaesari
Nana Nurwaesari adalah mahasiswi Pascasarjana Ilmu Politik UNAS dan lulusan Ilmu Politik International Islamic University Malaysia. Ia merupakan penggiat kajian Ekonomi Politik dan gerakan masyarakat sipil. Ia dapat ditemui di Instagram @waesarinana
Konten dari Pengguna
19 Juni 2021 16:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nana Nurwaesari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumen pribadi: Nana Nurwaesari, ilustrasi implementasi inovasi teknologi yang belum menciptakan sustainability sepenuhnya
zoom-in-whitePerbesar
Dokumen pribadi: Nana Nurwaesari, ilustrasi implementasi inovasi teknologi yang belum menciptakan sustainability sepenuhnya
ADVERTISEMENT
Inovasi teknologi kerap dipasangkan dengan kehidupan yang berkelanjutan (sustainability). Kedua istilah tersebut terdengar aneh bagi sebagian orang. Namun, terdengar tidak asing bagi para pemangku kepentingan, pengusaha, inovator hingga pemerhati lingkungan. Sayangnya, peran inovasi teknologi dalam pembangunan berkelanjutan belum sepenuhnya inklusif.
ADVERTISEMENT
Peran inovasi teknologi dalam pembangunan berkelanjutan masih belum se-konkret peran pangan dalam kehidupan manusia. Namun, inovasi teknologi pada pembangunan berkelanjutan sudah seharusnya memiliki peranan penting dalam kehidupan saat ini. Menurut Unesco, pembangunan berkelanjutan telah menjadi prinsip dasar dalam sistem produksi dan konsumsi sejak tahun 1987, di mana konsep ini mendorong masyarakat untuk lebih menghemat penggunaan sumber daya alam dan menjaga lingkungan.
Keberlanjutan atau sustainability memiliki peran yang sangat penting, yaitu sebagai hasil dari irisan ekonomi, masyarakat, dan lingkungan. Sustainability tidak membuat kita harus memilih mana yang harus diselamatkan? Apakah unsur ekonomi jauh lebih penting daripada lingkungan? Atau sebaliknya. Oleh karena itu, pembangunan berkelanjutan perlu diciptakan, salah satunya melalui inovasi teknologi.
ADVERTISEMENT
Setiap perubahan yang datang pasti memiliki hambatan. Saya pikir, ada tiga hambatan utama dalam penerapan teknologi baru. Tiga hambatan tersebut adalah kurangnya infrastruktur dan sumber daya manusia yang terampil, biaya pembangunan yang tinggi, serta mental teknologi.
Pertama, pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia yang terampil merupakan satu paket lengkap. Infrastruktur hadir untuk mendukung peningkatan daya saing Indonesia terhadap negara lain, sedangkan sumber daya manusia yang terampil adalah motor penggeraknya.
Logikanya, jika hanya ada infrastruktur tanpa sumber daya manusia yang kompeten, maka pemerintah hanya akan membuat sesuatu yang tidak dimanfaatkan secara maksimal. Singapura bisa kita jadikan contoh negara yang memiliki infrastruktur hebat dan sumber daya manusia yang terampil.
Kedua, masalah biaya. Infrastruktur dan sumber daya manusia yang terampil saja tidak dapat menjamin keberhasilan penerapan teknologi baru. Dilihat dari kondisi geografis Indonesia yang sangat luas, pembangunan infrastruktur di daerah 3T (Terdepan, Terpencil dan Tertinggal) tentunya membutuhkan biaya banyak.
ADVERTISEMENT
Namun tidak hanya itu, kehadiran teknologi juga membutuhkan maintenance yang baik dan tentunya memakan anggaran yang tidak sedikit. Misalnya, server dari situs resmi pemerintah sering down, karena gagal menangani traffic yang padat.
Ketiga, implementasi teknologi akan selalu terhalang oleh mentalitas yang sepenuhnya belum menyadari dan menginternalisasi makna kehadiran teknologi. Karena itu di awal saya sampaikan bahwa inovasi teknologi pada pembangunan berkelanjutan belum menjadi hal yang inklusif.
Buktinya bisa dilihat selama pandemi. Banyak pelayanan publik yang dilakukan secara online demi mencegah kerumunan dan menekan angka penyebaran COVID-19. Namun, tidak semua masyarakat Indonesia memiliki pemahaman yang baik tentang literasi digital.
Sebagai contoh, masih banyak warga Jakarta yang belum memahami cara pendaftaran fakir miskin melalui sistem di Pusat Data dan Informasi Jaminan Sosial (Pusdatin Jamsos) Dinas Sosial Pemprov DKI Jakarta. Menurut keterangan Pak Didi sebagai buruh bangunan, dia tidak mengerti cara mendaftar lewat internet dan baginya hal itu menyulitkan.
ADVERTISEMENT
Masih banyak orang yang lebih menyukai cara konvensional dan merasa sulit untuk menggunakan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Ini bukan hal yang salah, namun tentunya menjadi tugas besar bagi mereka yang berjuang dalam mendorong transformasi digital.
Lantas, bagaimana cara mengatasi hambatan tersebut? Menurut saya, diperlukan tiga jenis pendekatan. Pertama, pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up). Kedua, pendekatan atas ke bawah (top-down). Dan ketiga, pendekatan linear.
Pendekatan pertama adalah upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk memberikan pendapat dan saran mengenai masalah apa yang mereka hadapi, sehingga pemerintah atau pemangku kepentingan mengetahui teknologi apa yang cocok dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Sedangkan pendekatan kedua, pemerintah dan pemangku kepentingan perlu mempelajari sosialisasi apa yang tepat dalam mensosialisasikan penerapan teknologi di masyarakat. Pendekatan kedua ini harus dua arah, sehingga tidak terkesan kaku.
ADVERTISEMENT
Ketiga, pendekatan linear perlu dilakukan oleh satu lembaga ke lembaga lainnya, baik non-pemerintah maupun pemerintah. Prinsip dasarnya adalah “Collaboration is the New Currency!” Dengan kolaborasi, semuanya akan lebih mudah dan ringan. Misalnya, pembangunan Wi-Fi Gratis di Jakarta (JakWIFI) oleh Pemprov DKI Jakarta yang berkolaborasi dengan BaliTower dan Facebook.

Paradoks Teknologi

Teknologi tidak sepenuhnya baik. Kita perlu bijak dalam menggunakan teknologi agar dapat dilakukan secara lebih efektif, efisien, dan ekonomis. Lebih jauh, seperti yang saya jelaskan di atas, implementasi teknologi juga membutuhkan anggaran yang tinggi, sehingga premis bahwa beralih ke teknologi akan menyelamatkan perekonomian kita tidak sepenuhnya benar.
Jadi, jika implementasi teknologi belum sepenuhnya inklusif, apakah ini benar-benar akan membawa kita kepada sustainability? Jawabannya, untuk menuju kehidupan yang berkelanjutan tidak bisa dikerjakan oleh pemerintah secara sendirian. Kembali lagi, semuanya perlu kolaborasi sejak dini!
ADVERTISEMENT