news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Coki-Muslim dan Sensor Atas Rasa Humor

Konten dari Pengguna
31 Oktober 2018 19:13 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nanang Suryana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Komika Tretan Muslim dan Coki Pardede unggah video masak babi campur kurma. (Foto: Youtube/@TretanPardede fans)
zoom-in-whitePerbesar
Komika Tretan Muslim dan Coki Pardede unggah video masak babi campur kurma. (Foto: Youtube/@TretanPardede fans)
ADVERTISEMENT
"Tertawalah, sebelum tertawa itu dilarang"
Barangkali, bukan hanya saya, yang tumbuh dengan kecintaan pada televisi. Sebelum ada YouTube yang membuat orang seperti kami punya alternatif pilihan tayangan.
ADVERTISEMENT
Ya, YouTube memang tidak sepenuhnya bisa menggantikan televisi. Namun, YouTube setidaknya memberi orang seperti saya ragam perspektif yang lebih beragam.
Channel di YouTube dikreasi secara terbuka oleh warga. Konten banyak diciptakan, yang mungkin memang dibuat demi mengejar iklan, tapi sekurang-kurangnya, di YouTube, kita tak hanya menelan yang itu-itu saja.
Begitu pula dengan komedi. Jika televisi punya standar yang terlalu ketat untuk sebuah tayangan, di YouTube, kita bisa menikmati apa yang tidak tertampung di sana, yang sering kali jauh lebih kita butuhkan dari apa yang televisi bisa produksi.
Komedi tak lain adalah cara. Dia menawarkan perspektif dalam melihat realitas. Dengan komedi kita tertawa, dengannya pula kita sepenuhnya larut dalam perenungan.
Namun, apa yang baru-baru ini menimpa komedian seperti Coki dan Muslim, saya kira penting untuk mendapat catatan.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, setelah sebelumnya Joshua Suherman juga mendapat perlakuan serupa, Coki dan Muslim kini sama dianggap telah mencela agama(?)
Hari ini kita seolah hidup di dunia penghakiman. Situasi di mana setiap individu dan/atau kelompok merasa berhak untuk memvonis individu dan/atau kelompok lainnya, dengan tuduhan yang macam-macam, seringkali karena alasan agama.
Ya, di Majelis Lucu Indonesia (MLI), Coki dan Muslim juga berperan sebagai hakim. Hakim komedi yang bisa memvonis tingkat kelucuan komedian lain dengan standar dan argumen seenak mereka. Tapi, tak mengapa, kita menerimanya! Sebagai komedi, MLI melalui Debat Kusir misalnya, memberikan altenatif pilihan. Ketidaksetujuan mereka bersenjatakan komedi, bukan dengan presekusi!
Hanya karena persoalan memproduksi konten memasak daging babi, sebagian kelompok merasa itu melecehkan agama. Mungkin benar, ada YouTube yang kini jadi alternatif pilihan, tapi, adanya YouTube nyatanya tidak cukup, jika proses sensor yang keliru itu ada jauh di alam pikiran.
ADVERTISEMENT
Mungkin, bagi mereka yang menganggap komedi harus punya standar keadaban selaiknya standar mereka, tak pernah ada ruang untuk bisa menertawakan.
Segalanya dibatasi oleh monopoli rasa benar yang mereka paksakan menyeruak di ruang-ruang publik. Celakanya lagi, rasa benar itu mereka dasarkan pada interpretasi keagamaan yang sangat galak, dan monolitik.
Apa yang menimpa Coki dan Muslim hanya pertanda, dari ancaman bahanya potensi intoleransi yang mewujud dalam fenomena defisitnya selera humor sebagian dari kita.
Kini, ruang publik kita pengap oleh segala ancaman keseriusan dari vonis-vonis berkacamata kuda. Mungkin mereka lupa, bukankah hidup ini hanya senda gurau belaka.