Konten dari Pengguna

Dinamika De Javasche Bank Terhadap Perkembangan Ekonomi Politik di Indonesia

Nanda Komara Taurus Sandi
Saya merupakan mahasiswa ilmu sejarah dari Universitas Jember.
30 Oktober 2024 18:35 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nanda Komara Taurus Sandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Dokumen Pribadi/Diambil langsung oleh penulis di De Javasche Bank (DJB) Surabaya
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Dokumen Pribadi/Diambil langsung oleh penulis di De Javasche Bank (DJB) Surabaya
ADVERTISEMENT
De Javasche Bank bukan menjadi bank satu-satunya yang pertama kali didirikan oleh pihak pemerintah Hindia-Belanda. Sebelum De Javasche Bank (DJB) berdiri, sudah ada bank lain yang sempat beroperasi untuk mengelola keuangan, yaitu Bank Courant. Bank ini merupakan bank pertama yang didirikan di wilayah Nusantara atau Hindia-Belanda pada tahun 1746. Kemudian pada 1752, bank ini disempurnakan menjadi De Bank van Courant en Bank van Leening atau yang disebut sebagai Bank Arus dan Pinjaman. Bank ini dibentuk sebagai lembaga untuk mendukung aktivitas monopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bank Courant bertugas memberi pinjaman kepada para tenaga kerja VOC agar mereka dapat memutarkan dan menempatkan uang mereka pada lembaga ini. Hal ini dilakukan dengan adanya iming-iming berupa imbalan bunga. Namun, pada tahun 1818 terjadi krisis finansial di Inggris yang dampaknya hampir melanda seluruh dunia. Krisis ini memaksa para bank mencari pinjaman dan membatasi pinjaman baru bagi nasabah. Krisis tersebut turut mempengaruhi operasional Bank van Courant en Bank van Leening. Pada akhirnya, bank ini pun ditutup pada tahun tersebut. Kemudian, 10 tahun setelah krisis, pemerintah Hindia-Belanda mendirikan bank baru bernama De Javasche Bank.
De Javasche Bank menjadi lembaga penting di Hindia-Belanda yang mengelola keuangan saat itu sekitar akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Bank ini didirikan oleh Raja Willem I pada tanggal 24 Januari 1828. De Javasche Bank (DJB) menjadi bank sirkulasi pertama di Asia yang memiliki hak octrooi. Hak tersebut merupakan hak istimewa yang dimiliki oleh DJB untuk menerbitkan mata uang atau mencetak uang sendiri di wilayah Hindia-Belanda. Pendirian bank ini menjadi momen penting pada masa itu sebagai upaya mengatasi krisis finansial pasca bangkrutnya VOC pada tahun 1799. Selain itu, bank ini juga yang kelak akan menjadi cikal bakal bank sentral pertama yang ada di Indonesia.
ADVERTISEMENT
De Javasche Bank dianggap memainkan peran utama dalam perkembangan ekonomi politik di Indonesia, terutama selama periode kolonial Hindia-Belanda. Sejak memasuki tahun 1830, pemerintah kolonial Belanda turut memanfaatkan De Javasche Bank sebagai salah satu instrumen pendukung kebijakan tanam paksa atau Cultuurstelsel. Seperti yang diketahui, kebijakan tanam paksa dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Johanes van Den Bosch sebagai imbas dari kerugian yang ditanggung Pemerintah Hindia Belanda akibat Perang Jawa atau Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Perang tersebut setidaknya telah menguras keuangan dan kerugian kolonial hingga mencapai 20 juta gulden. Selain mengatasi permasalah tersebut, De Javasche Bank juga melalakukan upaya peningkatan baik internal maupun eksternal.
Menurut OCBC Finance, antara tahun 1830 sampai 1870, De Javasche Bank melakukan perluasan jaringan bisnis dengan membuka beberapa kantor cabang di beberapa kota, seperti Semarang dan Surabaya (1829) ; Padang dan Makassar (1864) ; Cirebon (1866) ; Solo dan Pasuruan (1867). Kemudian, sekitar tahun 1870 sampai 1940 , De Javasche Bank menambah 15 kantor cabang baru lagi seperti di Yogyakarta (1879) ; Pontianak (1906) ; Bengkalis, Medan, dan Banjarmasin (1907) ; Tanjungbala dan Tanjungpura (1908) ; Bandung dan Palembang (1909) ; Manado (1910) ; Malang (1916) ; Kutaraja (1918) ; Kediri dan Pematang Siantar (1923) ; serta Madiun (1928). Dalam hal ini, De Javasche Bank telah membangun jangkauan ekspansi untuk membentuk standar monetarisasi ekonomi yang meluas di Indonesia. De Javasche Bank menjadi alat utama pemerintah kolonial untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar, suku bunga, serta nilai tukar mata uang. Bank ini bertindak sebagai agen pengumpul pajak bagi pemerintah kolonial yang memberikan DJB fungsi akses yang luas terhadap aliran keuangan di Hindia-Belanda serta memperkuat kontrolnya atas ekonomi. Selain itu, bank ini juga membantu dalam pengenalan uang kertas dan sistem perbankan modern untuk memudahkan transaksi serta meningkatkan likuiditas di lingkungan pasar.
ADVERTISEMENT
De Javasche Bank berperan juga dalam memberikan investasi kepada orang-orang Belanda. Peran tersebut digunakan untuk menyediakan fasilitas kredit pinjaman dan layanan perbankan lainnya demi mendorong pembangunan infrastruktur, perkebunan, dan industri yang mendukung pertumbuhan ekonomi perdagangan serta sesuatu yang menguntungkan bagi pihak Belanda. Sebagai bank sentral, De Javasche Bank berperan dalam menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi yang begitu krusial bagi perekonomian yang sedang berkembang. DJB memberikan kontribusi dan pengaruh besar untuk mengatur perekonomian yang digunakan sebagai alat bagi pemerintah Hindia-Belanda, termasuk pengaturan harga dan distribusi sumber daya. Secara tidak langsung, pembangunan DJB memberikan konklusi bagi pembangunan identitas nasional, termasuk adanya perkembangan sistem keuangan modern sehingga memunculkan kesadaran ekonomi di kalangan elite lokal.
ADVERTISEMENT
Namun, disisi lain De Javasche Bank juga terlibat dalam pengambilan keputusan ekonomi yang berdampak pada kebijakan publik, seperti kebijakan agraria dan perdagangan. Beberapa kebijakan tersebut seringkali digunakan untuk mendukung ekonomi Belanda. Kebijakan moneter dan kredit yang diterapkan De Javasche Bank cenderung memperkuat ketergantungan ekonomi Hindia-Belanda pada negara induk di Belanda. Ketergantungan ini membuat ekonomi kolonial rentan terhadap fluktuasi ekonomi di Belanda. Selain itu, kebijakan bank ini juga berkontribusi pada semakin lebarnya kesenjangan antara kelompok pribumi dan Eropa. Kelompok pribumi, terutama petani dan pekerja banyak yang menjadi korban dari kebijakan moneter dengan timbulnya inflasi dan suku bunga tinggi. Kebijakan-kebijakan yang merugikan pribumi itu nantinya memicu tumbuhnya sentimen anti-kolonial dan mendorong munculnya gerakan nasionalisme ekonomi.
Sumber : Dokumen Pribadi/Diambil langsung oleh penulis di wilayah sekitar Kota Tua Surabaya
Permasalahan lain yang juga timbul dan cukup berdampak signifikan pada persoalan inflasi seperti harga barang kebutuhan pokok yang naik secara signifikan. Hal ini membuat masyarakat saat itu, terutama golongan pribumi yang memiliki pendapatan rendah, kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara harga barang terus merangkak naik, upah atau gaji yang diterima masyarakat, khususnya pekerja perkebunan dan buruh tani, cenderung stagnan. Hal ini semakin memperparah kondisi ekonomi masyarakat dengan memperlebar kesenjangan antara kelompok Eropa dan golongan pribumi serta golongan menengah.
ADVERTISEMENT
Kelompok kaya yang memiliki aset seperti tanah dan properti cenderung lebih mampu melindungi kekayaannya dari dampak inflasi, sedangkan kelompok miskin semakin terpuruk. Ketimpangan sosial yang semakin lebar ini memicu ketidakpuasan sosial dan menjadi salah satu faktor pendorong munculnya gerakan nasionalisme yang meluas dan bisa mengancam stabilitas politik serta keamanan negara. Inflasi yang tinggi juga cenderung membuat investor enggan menanamkan modalnya karena ketidakpastian kondisi ekonomi. Inflasi yang berkepanjangan membuat daya saing produk dalam negeri turun sehingga mengurangi permintaan terhadap produk domestik dan terhambatnya pertumbuhan produksi.
Terlepas dari itu semua permasalahan perlahan dapat teratasi dengan melakukan perbaikan pada alur kebijakan keuangan. Misalnya, pada tahun 1922, Pemerintah Hindia-Belanda menerbitkan undang-undang De Javasche Bank Wet yang menjadi aturan baku untuk operasional De Javasche Bank. Begitu juga setelah kemerdekaan Indonesia, De Javasche Bank melalui Undang-undang No. 24 Tahun 1951 mengalami transformasi menjadi Bank Indonesia. Warisan De Javasche Bank yang diturunkan juga masih terasa hingga saat ini seperti sistem perbankan Indonesia yang menjadi modern, kebijakan dalam upaya menjaga stabilitas moneter di tengah tekanan global, serta peran aktif bank dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional.
ADVERTISEMENT
De Javasche Bank sebagai bank sentral pertama di Indonesia telah memainkan peran krusial dalam membentuk kembali lanskap ekonomi dan politik di Indonesia. Sebagai institusi keuangan kolonial, bank ini tidak hanya berfungsi sebagai regulator moneter, tetapi juga sebagai alat untuk memperkuat kendali kolonial Belanda atas sumber daya dan ekonomi Hindia Belanda. Pergolakan sistem penerapan De Javasche Bank hingga menjadi Bank Indonesia tidak hanya berpengaruh pada ekonomi kolonial, tetapi juga membentuk fondasi sistem keuangan Indonesia setelah kemerdekaan. Seiring dengan perubahan zaman, pengaruh bank ini berlanjut melalui kebijakan moneter yang diadopsi oleh bank sentral Indonesia saat ini yaitu Bank Indonesia. Dalam konteks ini, De Javasche Bank menjadi simbol pergeseran dari ekonomi kolonial ke sistem ekonomi yang lebih modern di Indonesia, meskipun tetap terikat pada struktur kekuasaan yang ada pada masa itu.
ADVERTISEMENT
DAFTAR PUSTAKA
OCBC (2024). Mengenal De Javasche Bank, Cikal Bakal Bank Indonesia. Diakses pada 17 Oktober 2024, diambil dari https://www.ocbc.id/id/article/2024/05/02/de-javasche-bank-adalah
Rakhman, Hidayat Arief. (2022). Menutup Lembaran Ekonomi Kolonial Menuju Ekonomi Nasional: Sejarah Bank Indonesia 1945-1950. Bihari: Jurnal Pendidikan Sejarah dan Ilmu Sejarah Vol. 5 No. 2 Tahun 2022
Kompas. (2024). Sejarah Bank van Courant, Bank Pertama di Indonesia. Diakses pada 17 Oktober 2024, diambil dari https://www.kompas.com/stori/read/2024/07/15/150000179/sejarah-bank-van-courant-bank-pertama-di-indonesia