Konten dari Pengguna

Kenaikan PPN 12% : Antara Kebutuhan Dan Kesiapan

Nanda Rakha
Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN
30 Desember 2024 10:24 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nanda Rakha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pajak (sumber : istockphoto.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pajak (sumber : istockphoto.com)
ADVERTISEMENT
Suatu siang, dimana saat itu saya tengah dimanjakan dengan waktu luang setelah dua minggu menghadapi ujian tengah semester, saya habiskan waktu saya dengan menjalajahi media sosial–rutinitas khas warga gen Z.
ADVERTISEMENT
Media sosial tengah diguncangkan dengan kebijakan kontraktif yang akan diambil oleh pemerintah, yaitu menaikkan tarif Pajak pertambahan Nilai atau biasa disebut PPN dari sebelumnya 11% menjadi 12% yang mulai berlaku di awal tahun 2025. Sontak kebijakan ini menuai kritikan tajam dan penolakan dari berbagai pihak, mulai dari akademisi hingga para mahasiswa.
Sebagai mahasiswa yang mempelajari tentang ilmu perpajakan, saya memang telah lama mendengar rencana pemerintah tersebut. Tetapi kemudian, semakin sering saya mendengar kalimat “PPN akan naik 12%” atau semacamnya, semakin pula rasa penasaran dalam diri saya muncul. Rasa penasaran itu kemudian bertransformasi menjadi sebuah pertanyaan besar :
Setelah cukup informasi untuk menyingkap tabir antara jawaban dan pertanyaan besar itu, saya putuskan untuk menulis artikel ini sebagai sarana edukasi untuk masyarakat. Semoga sedikit effort saya bisa bermanfaat untuk para pembaca sekalian.
ADVERTISEMENT
Amanat Undang-Undang
Sebenarnya, jika dilihat dalam kacamata hukum, kenaikan PPN menjadi 12% telah diamanatkan di dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Di dalam Bab IV mengenai Pajak Pertambahan Nilai, Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa tarif PPN akan naik menjadi 11% per 1 April 2022 dan kemudian di ayat (2) disebutkan bahwa tarif PPN akan meningkat kembali menjadi 12% paling lambat per 1 januari 2025. Perlu diingat bahwa saat UU HPP pertama kali berlaku, tarif PPN masih di angka 10%. Artinya ada upaya penaikan tarif secara bertahap oleh pemerintah dan DPR.
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui bersama bahwa Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan pada hakikatnya dirumuskan untuk merespon dampak dari pandemi COVID-19, terutama untuk menjaga kondisi fiskal kita. Tidak bisa dipungkiri bahwa pandemi COVID-19 telah meninggalkan luka yang cukup dalam bagi perekonomian global, termasuk negara kita sendiri.
Pasar sepi pembeli, banyak pengusaha gulung tikar, masyarakat tidak keluar rumah, mal dan pusat perbelanjaan pun sepi pengunjung. Perekonomian saat itu sangat tertekan. Maka di saat itulah peran pemerintah sangat dibutuhkan. Pemerintah melakukan upaya ‘penyelamatan’ dengan cara mengoptimalkan pengeluaran anggaran untuk menjaga kondisi masyarakat yang tengah terpuruk.
Spending yang dilakukan secara besar-besaran tentu memberikan dampak yang besar pula pada ruang fiskal kita. Defisit fiskal menjadi sangat besar hingga melebihi 6% terhadap PDB yang berarti jauh di atas batas aturan fiskal kita. Oleh sebab itu atas optimalisasi pengeluaran tersebut terdapat konsekuensi logis yang harus dihadapi masyarakat di tahun-tahun berikutnya pasca pandemi.
ADVERTISEMENT
Karena kebijakan ekspansif yang dilakukan oleh pemerintah saat masa pandemi maka saat itu mau tidak mau negara harus berutang. Utang kita pun otomatis meningkat sangat signifikan. Tercatat terdapat peningkatan rasio utang sebesar 9,14% selama periode 2020.
Nah, utang-utang inilah yang kemudian harus dibayarkan di tahun-tahun berikutnya, baik bunga utang ataupun pokok utang saat jatuh tempo. Untuk mengatasi hal tersebut, tentu pemerintah perlu meningkatkan penerimaan di tahun-tahun pasca pandemi. Salah satu upaya yang akhirnya dilakukan adalah dengan mengoptimalkan penerimaan perpajakan melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan tersebut.
Sederhana, karena PPN adalah penerimaan perpajakan yang paling mudah dalam meningkatkan penerimaan perpajakan. Mengingat basis daripada PPN adalah transaksi. Artinya, semua masyarakat bisa menjadi objek PPN karena semua masyarakat pasti melakukan yang namanya transaksi jual-beli.
ADVERTISEMENT
Asumsi dalam perumusan UU HPP
Untuk menggambarkan kondisi di tahun-tahun pasca pandemi dalam rangka penyusunan UU HPP Tahun 2020 tersebut, para teknokrat bersama-sama DPR mau tidak mau harus menggunakan asumsi atau ekspektasi, termasuk kebijakan mengenai peningkatan tarif PPN secara bertahap. Dengan analisis yang mendalam, para perumus kebijakan berasumsi bahwa di tahun-tahun pasca pandemi perekonomian akan mengalami lompatan yang sangat signifikan–atau dalam ilmu ekonomi biasa disebut dengan istilah booming.
Tidak sulit untuk mengasumsikan booming-nya perekonomian ini. Mengapa? karena ada suatu konsep yang disebut dengan revenge spending.
Revenge spending adalah suatu konsep dalam consumer behavior dimana para konsumen akan melakukan konsumsi besar-besaran dengan membelanjakan sebagian besar uang yang mereka miliki untuk memenuhi hasrat mereka setelah mengalami pembatasan dalam jangka waktu yang lama. Ketika pembatasan mulai dilonggarkan setelah kurang lebih 3 tahun mengalami pengetatan, aktivitas ekonomi pun perlahan mulai berjalan kembali. Dan di saat itulah revenge spending terstimulasi.
ADVERTISEMENT
Asumsi atau ekspektasi pemerintah tersebut terbukti dengan PDB Indonesia yang mengalami peningkatan signifikan pada periode 2021 hingga 2022. Dimana di tahun 2022, PDB kita mencapai angka 5% setelah di tahun 2020 mengalami kontraksi di angka -2,07%.
Karena situasi ekonomi yang sangat baik dan sangat mendukung dalam memaksimalkan penerimaan perpajakan. Sesuai dengan UU HPP pasal 7 ayat (1), maka tarif PPN kemudian dinaikkan menjadi 11% per-April 2022. Dan seperti yang diharapkan, strategi ini bisa dibilang membuahkan hasil yang manis dimana penerimaan perpajakan mengalami peningkatan sebesar 50 triliun rupiah.
Sayangnya tidak.
Para ekonom memprediksi di tahun 2025–atau setidaknya awal tahun 2025–pertumbuhan ekonomi akan mengalami perlambatan. Perlambatan ini terjadi karena beberapa faktor, seperti kondisi geopolitik global yang tak stabil sehingga mengganggu supply chain, sektor manufaktur kita yang masih ‘lesu’, hingga masyarakat kelas menengah yang menghadapi tekanan finasial yang luar biasa. Tentu kondisi ini sangat melenceng dari ekspektasi awal para perumus kebijakan di tahun 2020 dimana UU HPP digodok.
ADVERTISEMENT
Kemudian munculah pertanyaan yang masih belum menemui kepastian.
Dengan kondisi yang ada, apakah pemerintah tetap ingin meningkatkan tarif PPN 12%?
Masyarakat belum siap
Kondisi ekonomi yang tidak stabil
Saat ini masyarakat dihadapkan dengan tekanan ekonomi yang luar biasa hebat. Tingkat pemutusan hubungan kerja/PHK yang meningkat akibat pelemahan di sektor manufaktur, banyaknya masyarakat kelas menengah yang ‘turun kasta’, hingga sektor informal yang semakin mendominasi dalam angkatan kerja kita. Belum lagi kita bicara kemampuan menabung masyarakat yang semakin menurun karena tergerus oleh peningkatan proporsi konsumsi dalam pendapatan mereka. Ini tentu menjadi sinyal kuat bahwa masyarakat sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.
Edukasi yang belum memadai
Saya selalu percaya bahwa salah satu kunci suatu kebijakan–apalagi kebijakan yang bersifat kontraktif–dapat berjalan dengan baik adalah dengan edukasi masyarakat yang memadai.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, keputusan untuk menjalankan sebuah kebijakan oleh pemerintah seringkali tidak diimbangi dengan upaya edukasi yang masif di masyarakat. Pemerintah terkesan terburu-buru dalam memutuskan suatu kebijakan tanpa melihat kesiapan masyarakatnya. Padahal, ujung-ujungnya segala kebijakan yang direalisasikan oleh pemerintah akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kondisi masyarakat itu sendiri.
Secara regulasi, peningkatan tarif PPN 12% ini sudah ditetapkan kurang lebih tiga tahun yang lalu. Seharusnya, dengan waktu yang lumayan lama tersebut, pemerintah dapat menyiapkan upaya strategis untuk menunjang kesiapan masyarakat. Minimal masyarakat tau untuk apa kebijakan peningkatan tarif ini harus dilakukan.
Penolakan di media sosial terkait kenaikan PPN 12% (sumber : instagram/@infowebinar.event)
Akan tetapi, apa yang terjadi saat ini sangatlah berbeda. Di tengah kondisi masyarakat yang carut-marut secara ekonomi, masyarakat dikagetkan dengan kebijakan yang berpotensi semakin menekan finansial mereka tanpa tau mengapa kebijakan semacam itu dilakukan. Maka, akan menjadi sangat masuk akal jika kebijakan ini justru mendapatkan penolakan keras di kalangan masyarakat.
ADVERTISEMENT
'Terbaik' dari yang terburuk
Dalam teori kebijakan, ada yang disebut dengan First-Best Policy, dimana sebuah kebijakan memberikan manfaat yang lebih besar daripada beban yang harus ditanggung. Tentu sudah menjadi hal yang logis jika pemerintah akan memilih kebijakan semacam itu. Tetapi pada faktanya, pemerintah tidak selalu dihadapkan dengan pilihan kebijakan yang termasuk ke dalam First-Best Policy. Ada kalanya, pemerintah harus memilih opsi kebijakan yang ada meskipun semuanya menghasilkan beban atau cost yang lebih besar daripada manfaat yang akan didapatkan.
Bisa dimungkinkan, saat ini pemerintah juga dihadapkan dengan kondisi yang tidak menguntungkan tersebut. Pemerintah memiliki urgensi untuk memaksimalkan pendapatan negara demi menutup defisit atas spending yang jor-joran dalam upaya ‘penyelamatan’ pandemi. Namun di sisi lain, masyarakat juga dihadapkan pada potensi perburukan ekonomi jika kebijakan ini dilakukan. Sungguh keputusan yang sulit dan dilematis.
ADVERTISEMENT
Ujung Bahasan
Di saat-saat seperti ini justru menjadi penting untuk menganalisis ulang apakah kebijakan kontroversial ini tepat dilakukan. Jika pemerintah tidak bisa meredam dan mengatasi dampak merugikan dari naiknya tarif PPN menjadi 12%, mungkin menundanya menjadi jalan yang paling tepat.