Konten dari Pengguna

PPN Naik Menjadi 12%, Apakah Ada Manfaatnya?

Nanda Rakha
Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN
29 Desember 2024 15:41 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nanda Rakha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Perpajakan (sumber : freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perpajakan (sumber : freepik.com)
ADVERTISEMENT
Suatu hari, tiba-tiba saya melihat kehebohan di dunia maya karena keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif PPN dari awalnya 11% menjadi 12% di tahun 2025. Meskipun kebijakan ini masih belum berlaku, namun tampaknya kebijakan ini menuai kritik dan penolakan dari berbagai kalangan masyarakat, terutama para kawula muda.
ADVERTISEMENT
Saya sangat mengapresiasi apa yang dilakukan masyarakat dalam merespon suatu kebijakan. Karena artinya, public awareness dan kepedulian masyarakat telah jauh meningkat. Hal ini menjadi modal penting untuk membangun check and balances dalam berjalannya sebuah roda pemerintahan dan kehidupan bernegara. Meskipun demikian, ada pertanyaan yang sangat amat mengusik pikiran saya.
apakah public awareness di masyarakat diiringi dengan penilaian yang objektif?
Dalam melihat sebuah fenomena publik, objektifitas menjadi hal yang sangat penting. Artinya, dalam merespon suatu isu publik harus didasari dengan basis keilmuan yang mendalam sesuai dengan apa yang sedang dibahas. Kalau semisal isu publik yang diangkat mengenai perpajakan, maka argumentasi yang diangkat harus
didasari atas keilmuan perpajakan yang benar. Akan tetapi di dalam realita, saya justru melihat sebaliknya. Banyak sekali opini–terutama di sosial media–yang dibangun tanpa dasar keilmuan yang benar hingga mengarah pada rekonstruksi argumentasi yang menyimpang dan keliru.
ADVERTISEMENT
Tentu ini bukan salah masyarakat, karena saya sangat paham tidak semua kalangan mendapatkan edukasi perpajakan yang baik dan mendalam. Oleh karena itu, untuk membangun objektifitas di masyarakat, saya memutuskan untuk menulis artikel ini. Semoga sedikit tulisan saya bisa mengedukasi masyarakat untuk melihat segala isu publik dengan lebih objektif.
Mengenal PPN dan PKP
Apa itu PPN?
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak bersifat proporsional yang dikenakan atas transaksi penjualan-pembelian Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP). Meskipun secara teknis PPN dibebankan kepada konsumen akhir, tetapi secara regulasi, di UU PPN (UU No.8 Tahun 1983 beserta perubahannya) disebutkan bahwa yang berkewajiban untuk menyetor dan melaporkan PPN adalah Pengusaha Kena Pajak atau biasa disebut dengan PKP.
ADVERTISEMENT
Apa itu PKP?
Menurut UU KUP (UU No.6 Tahun 1983 beserta perubahannya), Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang berkewajiban untuk memungut, menyetor dan melaporkan PPN atas transaksi Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang mereka lakukan. Artinya, seorang pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak oleh Dirjen Pajak wajib untuk memungut PPN atas penjualan produk yang telah mereka jual.
Kemudian apakah semua pengusaha adalah Pengusaha Kena Pajak? jawabannya adalah tidak.
Pengusaha yang wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang tergolong pengusaha besar. Sehingga pengusaha kecil tidak diwajibkan untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak. Oleh sebab itu, pengusaha kecil tidak diwajibkan untuk memungut, menyetor dan melaporkan PPN.
ADVERTISEMENT
Pengusaha kecil
Siapakah pengusaha kecil yang dimaksud?
Secara regulasi, telah ada peraturan yang mengatur tentang itu. Batasan pengusaha kecil telah diatur di dalam Permenkeu No.197/PMK.03/2013. Di dalam peraturan menteri keuangan tersebut disebutkan bahwa yang tergolong pengusaha kecil adalah pengusaha dengan omzet tidak melebihi 4,8 Miliar per-tahun dalam 1 tahun pajak.
Artinya, dapat dikatakan bahwa pengusaha kecil dimana omzet yang didapatkan tidak lebih dari 4,8 Miliar dalam 1 tahun pajak tidak diwajibkan untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak. Sehingga tidak diwajibkan pula untuk memungut, menyetor dan melaporkan PPN 12% atas penjualan barang/jasa mereka.
Pengusaha mikro butuh untuk naik kelas
Jumlah usaha mikro di Indonesia tergolong sangat tinggi. Pada tahun 2023 saja, menurut data dari Kemenkop UKM ada sekitar 66 juta unit usaha di Indonesia. Dan usaha mikro memiliki proporsi yang tertinggi dengan persentase sekitar 99% dari jumlah unit usaha yang ada.
Ilustrasi Pengusaha Mikro (sumber : unsplash.com/Afdan Rojabi)
Apa usaha mikro itu?
ADVERTISEMENT
Menurut UU No. 20 Tahun 2008, yang termasuk dalam kriteria usaha mikro adalah usaha dengan omzet paling banyak 300 juta per-tahun.
Banyaknya usaha mikro di Indonesia mengindikasikan bahwa mereka juga butuh untuk naik kelas. Supaya para usaha mikro ini bisa naik kelas, maka pendapatan usaha mereka perlu untuk ditingkatkan. Karena dengan pendapatan yang meningkat, mereka akan lebih mudah untuk mengembangkan usaha mereka.
Potensi peningkatan pendapatan
Bagaimana jika ternyata kenaikan PPN 12% justru berpotensi untuk meningkatkan pendapatan usaha mikro? Apakah bisa? jawabannya adalah sangat bisa.
Insentif yang didapat oleh pengusaha mikro
Jika kita mengacu pada beberapa regulasi yang sudah saya uraikan di atas, maka bisa disimpulkan bahwa pengusaha mikro termasuk ke dalam pengusaha kecil karena omzet yang didapatkan berada di bawah 4,8 miliar per-tahun, yaitu 300 juta per-tahun. Dengan kata lain, pengusaha yang masuk kriteria mikro tidak wajib untuk memungut, menyetor serta melaporkan PPN atas penjualan produk mereka.
ADVERTISEMENT
Apakah hanya sampai disitu? ternyata tidak.
Melalui Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2022, Pasal 60 ayat 2 juga diatur tentang pembebasan pajak penghasilan atas wajib pajak yang memiliki usaha dengan pendapatan bruto tidak melebihi 500 juta per-tahun. Artinya, semua usaha yang memiliki omzet sampai 500 juta per-tahun, akan dibebaskan atas pajak penghasilan. Dimana untuk usaha yang memiliki omzet antara 500 juta hingga 4,8 miliar per-tahun tetap harus membayar pajak penghasilan (PPh final) 0,5% dari peredaran pendapatan bruto usaha tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2018.
Dampak kenaikan PPN 12% terhadap para pengusaha mikro
Dengan insentif-insentif yang sudah diberikan oleh negara kepada para pengusaha mikro, maka kenaikan tarif 12% atas PPN tidak akan mempengaruhi harga barang atau jasa yang mereka jual karena secara regulasi para pengusaha mikro tersebut belum wajib untuk memungut PPN dari pelanggan mereka. Selain itu, mereka juga mampu menawarkan produk mereka dengan harga yang lebih murah daripada kelas pengusaha yang lain karena pembebasan atas Pajak Penghasilan yang sudah diberikan oleh negara.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu potensi pendapatan para pengusaha mikro akan meningkat. Karena para pengusaha mikro akan dapat menjual produk dengan harga yang lebih murah di pasaran. Sejalan dengan konsep hukum permintaan dalam ekonomi, dimana semakin rendah harga yang ditawarkan akan semakin tinggi permintaan atas barang/jasa tersebut.
Ujung Bahasan
Seburuk-buruknya sesuatu, akan selalu ada hal baik yang bisa dilihat. Sebaik-baiknya sesuatu, akan selalu ada hal buruk yang bisa diangkat. Semua tergantung dari sudut mana kita memandang segala sesuatu.
Saya tidak memihak siapapun dalam penulisan ini, itulah kenapa di awal saya mengapresiasi semua yang merespon kebijakan kontroversial ini. Saya juga tidak membenarkan ataupun menyalahkan pemerintah atas kebijakan ini, karena bagi saya tidak ada salah atau benar dalam perumusan sebuah kebijakan. Yang ada ialah tepat atau tidak kebijakan itu diterapkan ditengah kondisi yang ada. Saya yakin semua kebijakan didasari atas tujuan yang baik, akan tetapi mengukur ketepatan atas kebijakan tersebut memerlukan analisis cost-output yang akurat dan mendalam.
ADVERTISEMENT
Tujuan saya menulis artikel ini lebih kepada agar pembaca mau untuk melihat sebuah fenomena sosial dengan tidak terburu-buru dan dengan seobjektif mungkin. Check and balances dalam sektor publik merupakan hal yang sangat penting. Tetapi argumentasi yang dibangun dengan keliru akan membawa bangsa pada kehancuran yang tidak pernah dibayangkan.