Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Malamku yang Tidak Lagi Sama
28 Maret 2018 16:09 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Nanda Saputri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Bintangku yang jauh di sana, kini makin tak tampak
ADVERTISEMENT
Kalah saing dengan jutaan volt cahaya yang berpendar di permukaan bumi
Malamku kini terang,
Tanpa harus kau pegang erat obor di tangan untuk penuntun arah pulang
Malamku kini tetap hidup,
Tanpa ada kata gelap dan terang yang memisahkan.
Ada yang tidak biasa pada malam itu. Kawasan sibuk yang tidak pernah tidur itu gelap gulita. Tidak ada sorotan cahaya dari ikon penyambut Jakarta. Semua padam dan gelap, ikut serta bersama Austalia dan negara lainnya memperingati Earth Hour.
Ribuan bahkan jutaan kendaraan yang melintas adalah satu-satunya sumber cahaya di kawasan tersebut. Membuat pemandangan menjadi cukup indah untuk dibidik oleh lensa kamera. Warna-warni lampu kendaraan membentuk sebaris cahaya yang dapat diambil sang lensa dengan teknik foto light trail*.
ADVERTISEMENT
Hanya satu jam memang fenomena tidak biasa itu terjadi. Namun cukup terlihat bukan bedanya?
Biasanya tidak ada kata gelap di kawasan tersebut. Pancaran cahaya dari gedung-gedung, patung selamat datang, dan cahaya dari kendaraan yang berlalu lalang bercampur. Bias menjadi satu. Menghilangkan kesan malam yang tidur. Menandakan daerah itu telah hilang makna malam dan siang, yang dahulu, dianggap menjadi pembatas kehidupan.
Namun, apakah di kawasan tersebut saja kita dapat menyaksikan fenomena malam yang tidak pernah tidur?
Sayangnya tidak. Hampir seluruh kawasan di permukaan bumi mengalami hal yang serupa. Terutama untuk kawasan komersil yang dipenuhi oleh gagahnya gedung-gedung pencakar langit.
Lho bukannya bagus ketika kehidupan seakan tidak pernah mati?
Sayangnya tidak semua orang setuju. Tiap tahunnya langit kita semakin terang oleh pancaran cahaya buatan. Cahaya bintang dan bulan semakin padam. Tidak akan lagi ada permainan menghitung bintang di langit sebelum tidur. Semakin susah pula mencari rasi bintang dengan mata telanjang.
ADVERTISEMENT
Sangat miris bukan? Malam yang seharusnya gelap dan sunyi kini menjadi terang benderang dengan bubuhan suara hiruk pikuk kehidupan.
Malam seharusnya menjadi saat yang dinanti oleh tiap orang. Waktu yang tepat untuk melepas lelah. Waktu mengeluh dari silaunya matahari dan rutinitas di kala siang. Saat yang tepat bahkan untuk sekadar diam berteman dengan sunyi sambil sesekali ditemani bunyi jangkrik dan hewan malam.
Malam seharusnya bukan hanya sekadar waktu yang dapat dinikmati oleh manusia. Malam punya semua makhluk hidup yang ada.
Pernahkah kamu jumpai kunang-kunang di sekitar rumahmu saat ini? Tidak pernah? Ah, bahkan kunang-kunang pun takut kalah bercahaya dengan lampu-lampu yang ada.
Bagaimana dengan burung-burung yang bermigrasi? Tahukah kalian jika terdapat hampir satu miliar burung pertahun yang mati akibat gegar otak karena menghantam jendela dan gelas-gelas penyelubung cahaya?
ADVERTISEMENT
Hantaman burung tersebut bukan hanya sekadar kebetulan. Itu terjadi karena cahaya buatan “menipu” mereka. Menjadikan malam seakan siang karena cahayanya yang terang benderang.
Lalu apa yang dapat kita simpulkan? Nasib malam yang memang sudah seharusnya begitu, atau perbuatan kita yang membuat malam menjadi begitu?
Sejak lampu pertama kali diciptakan, jutaan manusia seakan bergantung padanya. Bukan hanya sekadar penerangan di pinggir jalan saja, namun tiap teras rumah bahkan tiap gedung sombong yang menantang langit itu juga ikut terang benderang.
Bayangkan, 2,2 persen pertahun tingkat kenaikan konsumsi terhadap cahaya buatan di luar ruangan tumbuh. Itu menunjukkan betapa bergantungnya kita pada cahaya buatan.
Berlomba-lomba menutupi ketakutan untuk menghadapi malam seorang diri. Butuh bantuan dari ribuan pendar cahaya buatan untuk bisa membuat hari lebih panjang. Bukan hanya sebatas 12 jam seperti kodrat awalnya.
ADVERTISEMENT
Tidak dapat dipungkiri memang, penerangan-penerangan tersebut membantu umat manusia menjadi lebih produktif. Tapi, apakah tidak ada sebab akibat yang harus ditanggung atas penggunaan melebihi batas dari titik wajarnya ini?
Bukankah menghilangkan makna malam dengan terus meneranginya punya harga mahal yang harus dibayarkan?
Di pedesaan, kampung halaman tempat Aliyah tinggal di Kabupaten Bogor, Kecamatan Dramaga misalnya, jam sembilan malam sudah sangat larut untuk dapat beraktivitas. Sekalipun ada aktivitas, hanya sekadar duduk-duduk santai di depan rumah menyaksikan bintang.
Sangat berbeda dengan suasana di Jakarta. Pukul sepuluh malam saja masih terang benderang, masih ramai suara orang-orang bercengkrama. Ah, apakah sebegitu “hidup” orang-orang di sekitar sini?
“Bedanya kalo di tempatku mah (Bogor) jam sembilan aja udah sepi. Tidak ada yang seliweran kayak di Jakarta” Tutur Aliyah.
ADVERTISEMENT
“Beda banget sama jalanan di Jakarta menurutku. Waktu Sabtu lalu aku ke rumahmu, kan baru sampai jam setengah sebelas malam. Aku berangkat dari rumah mas Leman jam sembilanan. Nah itu di jalanan satu setengah jam naik motor tidak ada takut-takutnya aku. Jalanan masih terang benderang, masih rame banget banyak orang. Coba di sini, wah jarang tuh ada yang berani keluar kalau sudah malam. Rame-rame (keluarnya) aja mikir-mikir apalagi sendiri” Sambung Aliyah sambil membubuhi emoticon orang ketakutan di pesan singkat yang ia kirimkan.
Beda daerah mungkin beda tingkat keterangan malamnya. Namun, perbedaan keterangan malam juga dirasakan di tempat yang sama dalam kurun waktu yang berbeda.
“Jakarta di tahun 1978 mah seingat mama masih pakai lampu petromaks. Udah gitu penerangan dari rumah-rumah. Mulai terang ramai lampu pas mas Ali lahir, tahun 83-an.” Cerita Khodijah, ibu rumah tangga beranak tujuh.
ADVERTISEMENT
“Dulu cahaya bulan sama bintang tuh terasa banget. Kalau lagi ada bulan penuh nih biasanya banyak yang keluar, disinarin sama sinar bulan saking terasa cahayanya. Kalau sekarang mah boro-boro terasa cahayanya, kelihatan ada bintang saja sudah senang mama” Nostalgia Khodijah.
Lantas apa artinya semua terang itu jika kita harus membayar mahal semuanya di masa depan?
Dengan apa kita harus membayar jika telah kehilangan hewan-hewan bertulang belakang yang saat ini terancam 30% keberadaannya. Belum lagi nasib hewan-hewan tidak bertulang belakang yang aktif di malam hari, 60% kritis keberadaannya.
Selain itu, peneliti juga menduga polusi cahaya punya dampak terhadap tubuh manusia. Salah satunya kanker payudara yang tumbuh akibat para wanita yang bekerja di luar ruangan pada malam hari di bawah cahaya artifisial*.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya hewan dan manusia yang terancam, tumbuhan dan mikroorganisme pun sama. Salah satu contoh kecilnya, cahaya buatan dapat mengurangi aktivitas penyerbukan oleh serangga nokturnal.
Semua itu adalah harga yang harus kita bayar dari adanya polusi cahaya buatan ini. Lalu, dengan apa kita harus membayarnya nanti? Atau adakah jalan lain yang bisa kita tempuh selain membayar semua perubahan-perubahan itu di kemudian hari?
*Teknik foto light trails: foto dengan obyek utama lampu kendaraan yang terlihat mengekor panjang mengikuti bentuk jalan.
*Cahaya artifisial: cahaya buatan yang terdapat pada benda-benda pembantu yang menciptakatan cahaya tambahan, contohnya lampu halogen.