Konten dari Pengguna

Ketuk Palu dan Dinamika dalam Persidangan

Nanda Yuniza Eviani
Merupakan seorang mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang tertarik dengan isu-isu terkini baik itu nasional maupun internasional.
23 September 2023 17:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nanda Yuniza Eviani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Tok, Tok, Tok”,
Palu telah diketuk oleh Yang Mulia Hakim, yang berarti sidang telah ditutup dan keputusan telah bersifat final dan mengikat. Sedih, senang, cemas, lega –berbagai ekspresi dan respons berbeda ditunjukkan oleh peserta dan pengunjung sidang. Sorak sorai dan juga teriakan penuh dendam dan amarah turut didengungkan. Satuan pengamanan mulai berdatangan, menenangkan gemuruh sorai dan meredam dendam kelam.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya apa? Bagaimana kalau-kalau nanti terjadi demonstrasi? Bagaimana kalau-kalau nanti banyak ancaman yang dilontarkan kepada pengadilan bahkan kepada kami? – pikir para Satuan Pengaman Pengadilan cemas.
Walau tata tertib persidangan sudah dipasang diberbagai tempat dan sudut ruangan, tetap saja hal seperti ini seolah-olah menjadi kultur jika ada keputusan yang sudah inkrah (baca: berkekuatan hukum tetap) namun tidak bisa diterima dengan lapang dada.
Seharusnya, sudah sepatutnya kita sebagai masyarakat dari negara hukum, menghargai peraturan yang ada, menaati hukum yang telah disusun, dan tentunya menghormati segala prosedur dalam penegakan hukum. Khususnya dalam proses peradilan. Sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Republik Indonesia No. 5 Tahun 2020 tentang Protokol Perisdangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan serta PERMA No. 6 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan, telah dituliskan dengan jelas Tata Tertib Umum dan Tata Tertib Persidangan. Hal ini menjadi satu instrumen bagi badan peradilan di Indonesia dalam mempertahankan wibawa, martabat, kerhormatan, dan marwah badan peradilan.
ADVERTISEMENT
Cerita diatas mendefinisikan salah satu perbuatan yang termasuk dalam Contempt of Court atau Penghinaan terhadap Lembaga Peradilan yaitu misbehaving in court (berperilaku tercela dan tidak pantas di pengadilan). Selain daripada itu, ada beberapa perbuatan lagi yang termasuk dalam pengertian penghinaan terhadap pengadilan. Diantaranya adalah; a. tidak mentaati perintah-perintah pengadilan (disobeying court orders), b. menyerang integritas dan impartialitas pengadilan (scandalizing the court), c. menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan (obstructing justice), d. perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan dilakukan dengan cara pemberitahuan/publikasi (sub-judice rule).
Sumber: Dokumen Pribadi
Istilah Contempt of Court sesuai dengan Penjelasan Umum UU 14/1985 butir 4 adalah perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan. Juga segala perbuatan tingkah laku, sikap dan ucapan yang dapat merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan lembaga peradilan yang dapat mengurangi kemandirian kekuasaan kehakiman. Hukuman bagi pelaku Contempt of Court telah dijabarkan pada beberapa pasal dalam KUHP terbaru. Diantaranya adalah Pasal 279 KUHP, Pasal 280 KUHP, serta Pasal 281 KUHP yang masing-masing menjelaskan perbuatan-perbuatan Contempt of Court dan sanksi daripadanya.
ADVERTISEMENT
Sudah menjadi tugas kita sebagai pemerhati hukum juga sebagai warga negara yang taat hukum untuk terus menjaga wibawa badan peradilan. Karena martabat dan wibawa badan peradilan pada negara hukum menggambarkan kemajuan dan kecerdasan bangsanya. Mencegah dan menjaga lembaga peradilan menjadi tanggung jawab seluruh lapisan dan elemen masyarakat. Contempt of Court atau penghinaan terhadap badan peradilan dapat dihentikan dengan membangun figur-figur masyarakat taat hukum.