Artificial Intelligence dan Tantangan Mahkamah Konstitusi Hari Ini

Yayang Nanda Budiman SH
Legal Content Writer, Freelance Researcher, Kontributor Lepas dan Alumni S1 Hukum Universitas Galuh
Konten dari Pengguna
25 Januari 2024 16:15 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yayang Nanda Budiman SH tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hakim MK Anwar Usman usai dicopot dari jabatan Ketua MK, Rabu (8/11/2023). Foto: Aditia Noviansyah kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Hakim MK Anwar Usman usai dicopot dari jabatan Ketua MK, Rabu (8/11/2023). Foto: Aditia Noviansyah kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Cita-cita yang terbingkai pada pertengahan tahun 2003 silam telah membentuk lembaga Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga kekuasaan kehakiman yang merdeka dan imparsial dengan peran etis yang melekat dalam tubuhnya sebagai "The Guardian of Constitution" sampai saat ini.
ADVERTISEMENT
Dilatarbelakangi oleh momentum amandemen konstitusi ketiga dengan semangat dan ide pembentukan Constitutional Court, disusul dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, beragam peran dan tanggung jawab yang luhur telah tertancap utuh di dalam jati diri sang penjaga marwah konstitusi. Namun, di tengah usianya yang menginjak 2 dekade tahun ini, Mahkamah Konstitusi dihadapkan dengan beragam tantangan yang semakin kompleks dan pariatif.
Akselerasi perkembangan dan kemajuan teknologi di abad 21 telah membawa gelombang disrupsi yang berdampak pada setiap celah sektor kehidupan berbangsa dan bernegara tak terkecuali pada ekosistem penyelenggaraan peradilan di lingkungan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Sehingga fenomena disrupsi ini tidak hanya menyangkut perubahan transisional, tetapi juga proses transformasi yang dapat mengubah secara kualitas struktur fundamental.
ADVERTISEMENT

Tantangan Mahkamah Konstitusi Hari Ini

Proses transmigrasi interaksi konvesional ke dalam bentuk digital tak ubahnya pisau bermata dua (read: dilematis). Selain dampak positif yang didapatkan, ada juga sisi negatif yang mesti diantisipasi. Perkembangan digital menyebabkan pergolakan teknologi yang mempengaruhi kehidupan sosial. Untuk menghadapi turbulensi ini, Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga peradilan tertinggi harus memposisikan dirinya sebagai bagian daripada sasaran perubahan yang tak mungkin terhindarkan.
Adapun konsekuensi dari dampak globalisasi yang terjadi di antaranya menimbulkan gejala hyper information atau surflus saluran informasi yang bermuatan menyesatkan (hoax), fitnah, propaganda kebencian antar kelompok sehingga yang terjadi adalah kegaduhan, pembelahan dan konfrontasi horizontal di masyarakat. Problem ini pada akhirnya hanya akan menjadi benang kusut yang sulit dilerai terlebih menjelang momentum Pemilu 2024 yang acap membawa tensi tinggi ke dalam interaksi sosial media yang semakin memperkeruh suasana.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, Mahkamah Konstitusi sebagai "The Final Interpreteur of Constitution" harus senantiasa berupaya me-re-sosialisasi keakraban warga negara yang mulai memudar karena gejala hyper fanatism sectarian dengan cara mendistribusikan literasi dengan merata dalam memaknai nilai-nilai konstitusi secara utuh melalui pendekatan yang berbasis pada keterbukaan informasi, akuntabilitas dan nilai-nilai demokrasi.
Di lain hal tantangan yang menyangkut hal-hal yang bersifat teknis, formal dan struktural tak dapat kita kesampingkan. Selain sub-kendala dalam pemenuhan infrastruktur penunjang yang memadai, belakangan keberadaan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah menjadi sub-tantangan baru di era Next Level Technology bagi Mahkamah Konstitusi.
Pasalnya, ketidaktersediaan pengaturan landasan hukum yang jelas dalam mengatur keberadaan AI mengakibatkan laju pemanfaatan teknologi tersebut tidak dieksplorasi dan dikuasai secara optimal khususnya dalam mengembangkan Legal Technology.
ADVERTISEMENT
Senada dengan pemanfaatan Artificial Intelligence, dalam praktik penggunaannya masih terdapat kontroversi dan kekhawatiran menimbulkan implikasi hukum terhadap pelanggaran hak asasi manusia seperti dalam sektor hak kebebasan berekspresi, hak keamanan privasi, perlindungan data dan interaksi lain yang terkoneksi secara digital.
Sedang dalam praktik peradilan, implementasi AI memang perlu dikaji ulang dan dipandang secara bijak dalam memproduksi suatu keputusan yudisial melalui bantuan AI agar tidak menimbulkan teralienasinya rasa keadilan karena hal-hal yang bersifat pragmatis.
ADVERTISEMENT

Urgensi Rekonfigurasi

Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir Mahkamah Konstitusi telah mengalami transformasi dan transisi paradigma, struktural dan budaya kerja. Dapat terlihat dari beberapa upaya pembenahan yang dilakukan secara konsisten dengan memobilisasi interaksi digital, pemangkasan alur dan tata kerja yang menghambat agar lebih efisien tanpa mengeliminasi hak-hak konstitusional semua warga negara.
Transformasi Mahkamah Konstitusi telah nampak mengalami progres yang signifikan terutama dalam pemberlakuan peradilan modern dengan sistem kerja berbasis ICT (Information, Communication, and Technology). Ragam inovasi tersebut bertujuan untuk memangkas biaya dan waktu, meminimalisasi terjadinya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme sebagai upaya lain guna mewujudkan tata kelola lingkungan kerja yang efisien, efektif, transparan dan akuntabel.
Namun tak berhenti pada pengaplikasian ICT, Mahkamah Konstitusi perlahan mulai mengelaborasikan beberapa sistem yang ada terintergasi seperti Sistem Manajemen Perkara (SIMPP), Sistem Verifikasi Keuangan (SIVIKA), e-Kinerja, e-SKP, Sistem Informasi Kearsipan Dinamis (SIKD), SIMPEL, e-Perisalah, e-Minutasi, e-BRPK, case tracking, video conference, dll.
ADVERTISEMENT
Sebagai catatan, sepanjang tahun 2022, Mahkamah Konstitusi mengalami percepatan dalam beradaptasi dan berinovasi melalui dukungan teknologi peradilan modern untuk memberikan dukungan bagi kelancaran aktivitas, baik persidangan maupun proses administrasi. Seperti pelaksanaan e-litigasi, pengembangan aplikasi SIMANTAP, ruang tanya jawab (room chat), pencegahan dan keamanan siber melalui CSIRT, dan text to speech dengan tujuan agar laman Mahkamah Konstitusi lebih ramah disabilitas.

Membingkai Harapan dalam Kuasa Digital

Merespons kondisi demikian publik mengharapkan Mahkamah Konstitusi memposisikan dirinya secara strategis untuk berinovasi secara visioner dan adaptif dalam menghadapi fenomena disrupsi dengan tetap berorientasi pada prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Hal itu juga meliputi transformasi konstruksi landasan hukum, struktur hukum yang meliputi aparatur hukum, infrastruktur sarana dan prasarana yang memadai, serta terwujudnya kualitas sumber daya masyarakat yang tercerahkan pada nilai-nilai konstitusionalitas. Apabila ketiga indikator (struktur, substansi, budaya) tersebut terpenuhi, maka seperti halnya yang dikemukakan oleh Prof. Soerjono Soekanto efektivitas sistem hukum telah terpenuhi.
ADVERTISEMENT
Sedang dalam konteks keberadaan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) yang belakangan mulai hampir mengisi beragam sektor strategis (pendidikan, ekonomi, sosial, budaya dan hukum), Mahkamah Konstitusi perlu mempertimbangkan pemanfaatannya secara bijak.
Bukan dalam rangka mengganti peran utama manusia yang memiliki optik otentik soal keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan yang tak dimiliki oleh indera robotik. Melainkan menempatkan AI sebagai alternatif media pendukung penyelenggaraan persidangan sebagai bentuk implementesi terhadap prinsip persidangan cepat, sederhana dan biaya ringan.
Oleh karenanya, proses transformasi interaksi yang dilakukan Mahkamah Konstitusi tidak semestinya dilakukan dengan cara-cara yang justru akan mengorbankan, mengalienasi bahkan mensegregasi nilai-nilai yang jauh lebih esensial yang hak konstitusional.
Lebih jauh, menanggapi kompleksitas tantangan yang akan dihadapi Mahkamah Konstitusi di masa depan publik berharap lebih akan ada beragam upaya yang semestinya harus segera dilaksanakan secara konsisten, sinkron dengan kecepatan teknologi digital agar tidak terjadi kekosongan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga hak-hak masyarakat dalam memperoleh keadilan tidak termarjinalkan karena pertimbangan pragmatis yang berorietasi pada sektor efisiensi.
ADVERTISEMENT
Hemat kata, memaknai fenomena disrupsi teknologi hari ini, di tahun ke-20 usianya, publik berharap Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia akan terus berjalan pada prinsip utamanya sebagai "The Guardian of Constitution" dengan harap bahwa iklim penyelenggaraan ketatanegaraan berjalan stabil dari potensi despotisme era digital, mewujudkan supremasi konstitusi, mendistribusikan keadilan, demokratisasi serta perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang selalu dijamin oleh konstitusi.