Menanti Sikap (Calon) Oposisi

Yayang Nanda Budiman SH
Legal Content Writer, Freelance Researcher, Kontributor Lepas dan Alumni S1 Hukum Universitas Galuh
Konten dari Pengguna
5 Maret 2024 17:52 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yayang Nanda Budiman SH tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pemilu. Foto: Dok Kemenkeu
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemilu. Foto: Dok Kemenkeu
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kontestasi Pemilu 2024 belum usai, Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih bekerja mengumpulkan perolehan suara, dan hasil resmi belum menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin selanjutnya. Meski pada kenyataannya sampai hari ini mayoritas lembaga survei telah mendahului dan menunjukkan hasil sementara yang mengarah pada Paslon 02 (Prabowo-Gibran) sebagai pemenang Pilpres 2024 dengan perolehan suara kurang lebih 58.49% dan hal ini semakin memperkuat prediksi Pemilu satu putaran berpotensi terjadi.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hasil survei tersebut tak sedikit dari publik yang masih skeptis dan mempertanyakan terkait akurasi penghitungan suara via aplikasi Sirekap yang masih menuai pro-kontra di lapangan. Dugaan itu kemudian diperkuat oleh tanggapan Bawaslu soal banyaknya temuan kesalahan input hasil rekapitulasi suara Pilpres 2024 pada aplikasi Sirekap milik Komisi Pemilihan Umum (KPU) tersebut.
Di luar konteks polemik dan perdebatan soal kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu yang semakin memudar pasca DKPP memvonis Ketua KPU melanggar kode etik, apabila misalkan kita berspekulasi lebih cepat bahwa ternyata pemenang Pilpres 2024 adalah Paslon 02 sebagaimana versi hasil survei, akankah kedua Paslon yang kalah siap untuk menyatakan sikap sebagai oposisi? Terlepas dengan adanya wacana soal hak angket di DPR.
ADVERTISEMENT
Dengan segala bentuk pragmatismenya, apakah partai politik yang kalah siap untuk jatuh-bangun bersama rakyat dalam menegakkan demokrasi di luar pemerintahan? Tak hanya sebatas lips services belaka, pertanyaan tersebut penting hari ini publik tujukan kepada kedua Paslon yang kalah untuk mengetahui prinsip dan arah keputusan yang akan mereka ambil ke depan.
Kita telah mengalami bagaimana lemahnya poros partai oposisi selama periode kedua Presiden Joko Widodo berkuasa, yang berdampak pada lemahnya pengawasan terhadap cara kerja kekuasaan. Bahkan, DPR yang semestinya menjadi ‘watchdog’ untuk merongrongi sikap kekuasaan justru berjalan searah dan berdampingan.
Hal tersebut dapat publik amati dari sikap dan beragam produk legislasi yang telah dihasilkan oleh DPR Jo. Pemerintah pada kurun waktu 5 tahun terakhir ini. Alhasil, fungsi pengawasan yang melekat dalam tubuh DPR tidak dimanfaatkan secara maksimal. Akibatnya, terjadi konfrontasi vertikal di mana publik harus berbenturan langsung dengan kekuasaan ekses dari tidak terakomodasinya aspirasi akar rumput terhadap cara-cara kerja kekuasaan yang mengabaikan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.
ADVERTISEMENT

Rekonsialasi: Koalisi Atau Oposisi?

Isu wacana rekonsiliasi menguat ke permukaan media massa. Rekonsiliasi yang diharapkan dapat menetralisir ketegangan di antara pendukung Paslon pasca Pemilu 2024 mulai digaungkan sejumlah kalangan. Tanpa mengesampingkan upaya rekonsiliasi, publik mengharapkan adanya pernyataan sikap baik dari partai pendukung Paslon 01 maupun Paslon 03 untuk ikut rekonsiliasi, tapi dengan syarat menolak jika ditawari berkoalisi.
Politik adalah ruang dinamis: tidak ada yang tidak mungkin dalam politik. Ungkapan tersebut rasanya dapat me-representasikan apabila Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai PDI-Perjuangan berkomitmen untuk menolak tawaran berkoalisi dengan partai pendukung Paslon Prabowo-Gibran.
Secara, selama Presiden Joko Widodo memimpin, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) konsisten berada di luar pemerintahan, namun kini publik juga mengharapkan Partai PDI-Perjuangan untuk andil beroposisi seperti yang telah ia lakukan selama rezim orde baru maupun pada saat Presiden Susilo Bambang Yudoyono memimpin.
ADVERTISEMENT
Tak dipungkiri, sepak terjang pengalaman Partai PDI-Perjuangan dalam mengambil peran sebagai oposisi tidak perlu diragukan. Melihat perjalanannya sebagai partai oposisi, Partai PDI-Perjuangan mampu menjalankan perannya secara aktif dalam mengontrol berbagai kebijakan yang dianggap bertentangan dengan visi politik atau ideologi kerakyakan yang dijadikan justifikasi beroposisinya Partai PDI-Perjuangan.
Dengan cara demikian, berbagai kebijakan pemerintah tidak begitu saja dapat di-implementasikan tanpa terlebih dahulu memperoleh kritik dari partai oposisi. Partai oposisi dapat mempengaruhi partai-partai politik di DPR baik yang tergabung dalam koalisi pemerintah maupun yang netral, untuk mendukung penggunaan hak-hak yang melekat pada lembaga tersebut, seperti hak angket maupun hak interpelasi (Haris, 2009). Inilah yang publik harapkan: kekuatan kontrol yang seimbang dari potensi penyalahgunaan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Jika melihat hasil quick count Pemilu legislatif 2024 terakhir yang dimuat oleh Litbang Kompas (16/02/2024) dengan total suara masuk 98.25%, di mana perolehan suara partai pungusung Paslon 01 dan Paslon 03 yang dapat dipastikan lolos ambang batas parlemen hanya Partai PDI-Perjuangan 16.26%, Partai PKB 10.75%, Partai Nasdem 9.95%, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 8.40%. Apabila benar sampai terjadi peluang konsolidasi (calon) partai oposisi di antara partai politik pendukung Paslon 01 dan Paslon 03 sampai terjadi, tentu sangat baik bagi masa depan demokrasi.

Menimbang Kekuatan Penyeimbang

Memutuskan mengambil sikap untuk beroposisi artinya siap mendapat citra negatif semacam anti-pembangunan, anti-kemajuan maupun stigma negatif lain dari kelompok yang berpihak pada status quo. Itulah faktanya yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari beragam perdebatan ikhwal terminologi oposisi dalam sistem presidensil seperti yang dianut Indonesia, yang kerap menuai kontra dengan dalih tak sesuai dengan prinsip-prinsip pancasila yang mengedepankan musyawarah mufakat, namun tak dipungkiri bahwa keberadaan oposisi merupakan lembaga yang inheren dalam ekosistem negara demokrasi sebagai penyeimbang.
Bagi kekuasaan dengan watak otoriter, keberadaan oposisi dianggap mengganggu pengambilan keputusan satu arah yang dilakukan oleh pusat. Tak sedikit cara yang dilakukan untuk menjinakkan (calon) partai oposisi yang salah satunya dengan berbagi “jatah” kekuasaan.
Menilai bahwa keberadaan partai oposisi sebagai bentuk disharmoninasi adalah kekeliruan. Harmonisasi justru timbul akibat perbedaan pikiran, bukan penyeragaman.
Bagaimanapun keputusan menjadi oposisi didasari oleh adanya perbedaan pandangan dalam menjalankan sebuah pemerintahan. Anti-thesa inilah yang akan menghasilkan ragam alternatif dalam menjalankan roda pemerintahan, sehingga setiap keputusan yang diambil tidak boleh lagi dilaksanakan tanpa lebih dulu dilakukan pemeriksaan.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari peran strategis oposisi dalam mengawasi kebijakan program pemerintah, akan tetapi pada faktanya sampai detik ini partai oposisi di parlemen selalu berada pada kekuatan minoritas dalam setiap pengambilan keputusan. Hal itu diperparah apabila dalam pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak, maka selama itu pula kekuatan minoritas oposisi tidak akan mampu mengimbangi dan mempengaruhi kebijakan pemerintah. Maka dari itu sangat penting keberadaan oposisi yang dapat mengukur, memeriksa dan mengevaluasi kendala, kelemahan serta keberhasilan untuk mewujudkan tujuan bernegara.