Konten dari Pengguna

Menyusuri Upaya Hukum Kepailitan Terhadap Developer Pasca SEMA No 3 Tahun 2023

Yayang Nanda Budiman SH
Advokat Intern, Legal Content Writer & Freelance Researcher
17 Oktober 2024 10:38 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yayang Nanda Budiman SH tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada akhir tahun 2023 lalu, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2023 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2023 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan yang telah ditetapkan pada tanggal 29 Desember 2023.
Ilustrasi Perumahan (David McBee/Pexels.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perumahan (David McBee/Pexels.com)
Namun, terbitnya surat edaran tersebut memantik respon perdebatan dari berbagai kalangan mulai dari akademisi hingga praktisi hukum khususnya terkait dengan ketertiban produk hukum, prinsip kepastian, keadilan, batasan hingga implikasinya dalam menjawab permasalahan aktual yang terjadi di lapangan.
ADVERTISEMENT
Timbulnya diskursus tersebut tentu menjadi satu hal yang lumrah, terutama menyangkut kebijakan maupun pemberlakuan aturan. Namun, perdebatan dan ketidaksepahaman yang mencuat seyogyanya diakomodasi agar memberikan output yang baik guna menyempurnakan pembentukan suatu aturan agar harmonis dan berkesinambungan dengan aturan-aturan lainnya yang saling berkaitan.
Dalam konteks SEMA RI Nomor 3 Tahun 2023 tersebut beberapa pihak menyoroti salah satu satu substansinya yang menyangkutkan terkait dengan larangan PKPU ataupun Pailit terhadap Developer/Pengembang.
Adapun secara lengkapnya dalam SEMA a quo huruf B butir 2 Ayat (2) yang berbunyi “Permohonan pernyataan pailit ataupun PKPU terhadap pengembang (developer) apartemen dan/atau rumah susun tidak memenuhi syarat sebagai pembuktian secara sederhana sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)”.
ADVERTISEMENT
Pembuktian Sederhana dalam Perkara Kepailitan dan PKPU
Menanggapi substansi Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut, nampak terlihat adanya kontra pendapat terkait komponen penting dalam Kepailitan dan PKPU khususnya ihwal pembuktian secara sederhana.
Menyangkut pembuktian secara sederhana dalam konteks permohonan pailit terhadap debitur secara eksplisit telah diatur dalam Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang menjelaskan bahwa “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) telah dipenuhi.”
Adapun yang dimaksud sebagai “fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana” yakni adanya fakta dua atau lebih kreditur dan fakta utang yang diketahui telah jatuh tempo dan tidak dibayar.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, jika merujuk pada ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang a quo terdapat sejumlah syarat dalam mengajukan debitur pailit yang hanya meliputi beberapa hal, misalnya, debitur memiliki dua atau lebih kreditur; debitur tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih; serta debitur dapat mengajukan permohonan pailit sendiri atau atas permohonan satu atau lebih kreditur lainnya.
Dari kedua pasal tersebut, dapat kita pahami bahwa pembuktian sederhana berhubungan dengan pengabulan permohonan pernyataan pailit, yang dapat diterima jika terbukti dengan cara sederhana bahwa debitur memiliki dua atau lebih kreditur serta memiliki utang yang telah jatuh tempo dan belum dibayar, tanpa memandang jumlah utang tersebut. Pembuktian sederhana ini merupakan prinsip penting dalam hukum kepailitan.
ADVERTISEMENT
Namun, Undang-Undang Kepailitan dan PKPU tidak memberikan penjelasan yang jelas dan rinci mengenai pembuktian sederhana, yang membuka peluang untuk penafsiran lebih lanjut.
Para hakim memiliki wewenang luas untuk menafsirkan pembuktian sederhana dalam menyelesaikan kasus kepailitan, mengingat kurangnya indikator-indikator yang jelas mengenai pembuktian tersebut.
Kondisi tersebut semakin menciptakan kesumiran dalam menafsirkan batas pembuktian sederhana pasca terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2023 yang tidak mengatur secara jelas.
Menurut SEMA tersebut, pengembang (developer) tidak dapat dimohonkan pailit atau PKPU. Hal ini disebabkan utang yang timbul tidak dapat dibuktikan secara sederhana. Akibatnya, konsumen atau pembeli unit di suatu perumahan akan terdampak karena pengembang tidak dapat dikenakan tindakan pailit.
Dilematika Pembaharuan dan Kepastian
ADVERTISEMENT
Tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, terutama kasus-kasus yang berhubungan dengan pembangunan perumahan atau konflik antara debitur sebagai pembeli rumah dengan pengembang, mencakup berbagai isu kompleks. Isu-isu ini meliputi cidera janji dalam proses pembiayaan, keterlambatan pembangunan, hingga serah terima kunci dan sertifikat kepemilikan.
Semua masalah ini sangat rumit untuk diuraikan, dan tak jarang kedudukan hak debitur yang kerap dirugikan. Implikasinya, kasus serupa selalu memakan korban tidak hanya satu atau dua debitur, bahkan hingga memakan puluhan korban yang mengalami kerugian yang serupa.
Sebagai suatu sengketa, seharusnya masalah tersebut dapat diselesaikan melalui berbagai jalan penyelesaian, salah satunya ialah lembaga kepailitan. Namun, dengan diterapkannya Surat Edaran Nomor Nomor 3 Tahun 2023, penyelesaian sengketa bagi pengembang perumahan melalui pailit maupun PKPU telah menjadi terbatas.
ADVERTISEMENT
Menanggapi kompleksnya masalah yang dihadapi oleh masyarakat tersebut, timbul pertanyaan: apakah dengan diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2023 tanpa disesuaikan dengan pembaharuan terhadap Undang-Undang Kepailitan dan PKPU dapat menjawab dan menyelesaikan benang kusut masalah yang terjadi? Hal ini tentu harus dijawab dan direfleksikan agar setiap aturan yang diberlakukan dapat bermanfaat dan berkeadilan bagi semua pihak.
Namun langkah inisiatif yang diambil oleh Mahkamah Agung bukan berarti tanpa mempertimbangkan pagar-pagar ketertiban hukum lainnya.
Jika menukil pendapatnya Hans Kelsen dalam teori jenjang hukum (stufenbau). Dalam hal ini, norma hukum yang lebih rendah harus didasarkan pada norma hukum yang lebih tinggi. Dengan kata lain, norma hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi kedudukannya.
ADVERTISEMENT
Bahkan tak hanya mempertimbangkan ketertiban dan kepastian, jika merujuk pada teori Gustav Radbruch, kepailitan juga harus mencerminkan rasa keadilan. Oleh karena itu, perlu dipertanyakan apakah pembatasan yang ditetapkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2023 dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi konsumen maupun pengembang/developer.
Terlepas dari polemik dan perdebatan banyak kalangan ihwal substansinya, dengan adanya pemantik Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2023 tersebut, kita berharap ke depan pembahasan terkait Revisi Undang-Undang Kepailitan dan PKPU masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2025 oleh DPR dan Pemerintah.
Bagaimanapun, setelah 2 dekade berlaku, payung hukum tersebut perlu adanya pembaharuan dan penyempurnaan dengan harapan bahwa undang-undang tersebut dapat mengakomodasi hak dan keadilan masyarakat maupun para pelaku usaha dan tetap relevan terhadap perkembangan zaman.
ADVERTISEMENT