Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sirine Civitas Akademika: Peringatan Keras Degradasi Demokrasi
22 Februari 2024 11:06 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Yayang Nanda Budiman SH tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gelombang sirine peringatan darurat demokrasi masih disuarakan sejumlah universitas di berbagai wilayah di Indonesia. Bermula dari sikap ‘cawe-cawe’ yang dilakukan Presiden Joko Widodo beserta beberapa menterinya untuk andil berkampanye, didukung dengan polemik putusan Mahkamah Konstitusi yang meloloskan anak Presiden sebagai Cawapres salah satu Paslon.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut menjadi fenomena puncak gunung es yang terlihat ke permukaan dari sekian banyak tindakan ugal-ugalan lain yang telah dilakukan pemerintah saat ini. Lebih dari itu, mencuatnya dugaan upaya membangun dinasti politik oleh penguasa dengan berbagai cara turut mempertegas citra otoriter dan menormalisasi perbuatan nepotisme.
Di tengah masifnya gerakan intelektual yang melakukan perlawanan terhadap kebebalan penguasa, respons balik yang publik dapat dari sejumlah pihak di lingkungan kekuasaan bukanlah menghormati kritikan dengan introspeksi, dan melakukan pembenahan, melainkan justru dengan intimidasi hingga tudingan sesat yang merendahkan.
Misalnya, menuduh para guru besar diorkestrasi untuk kepentingan politik elektoral benar-benar melecehkan nalar publik. Tak selesai dengan tuduhan semacam itu, sejumlah civitas akademika juga mendapatkan ancaman, peretasan, pembubaran, bahkan beberapa rektor diminta untuk memberikan testimoni tandingan dengan dalil “cooling system” oleh sejumlah oknum aparat penegak hukum semakin melegitimasi atas buruknya kualitas demokrasi hari ini.
ADVERTISEMENT
Mestinya mereka paham bahwa politik tak sesempit pertarungan antar partai politik peserta pemilu semata. Politik lebih dari itu, ia menggerakkan hati nurani, empati, nalar dan kecintaannya terhadap negara melampaui kenyamanan kursi kekuasaan dan akumulasi materi sesaat.
Keadaan demikian semakin mengindikasikan bahwa kebebasan berpendapat hanya diterjemahkan dalam konteks pujian saja. Sedangkan pendapat dengan substansi kritikan tak jarang di-interpretasikan sebagai delik penghasutan, pencemaran nama baik maupun penyebaran berita bohong.
Akhirnya definisi dan penafsiran kebebasan berpendapat dimonopoli sesuai selera corong penguasa saja. Karena, kekuasaan lebih senang dibuai oleh pujian dan hasil survey tingkat kepuasan yang tinggi, ketimbang suara sumbang kritik yang hari ini dilayangkan sejumlah akademisi.
Selain menyempitnya ruang kebebasan sipil, ada beberapa faktor yang turut terlibat mempengaruhi anjloknya kualitas demokrasi di Indonesia, seperti minimnya keterlibatan publik dalam perencanaan kebijakan, hilangnya supremasi hukum, konstelasi politik yang hanya pada tingkat elite partai dan kuatnya hegemoni oligarki, lemahnya kekuatan oposisi serta masifnya korupsi, kolusi dan nepotisme.
ADVERTISEMENT
Degradasi Demokrasi
Memaknai demokrasi hari ini tak cukup hanya dilihat sebatas politik elektoral yang berakhir di kotak suara semata. Hal ini juga perihal bagaimana negara merawat iklim kebebasan, supremasi hukum, kesetaraan dan keadilan untuk senantiasa diwujudkan tanpa diskriminasi atas nama apa pun. Dalam ekosistem negara yang demokratis andil masyarakat dalam proses pengawasan dan pengambilan keputusan merupakan suatu keharusan.
Dugaan keterlibatan Presiden dan sejumlah menterinya yang bergerak dalam upaya pemenangan salah satu paslon dalam pemilu 2024 menimbulkan kekhawatiran akan netralitas dan integritasnya sebagai pemimpin negara.
Adanya dugaan tindakan penyalahgunaan fasilitas negara untuk kepentingan politik pribadi atau kelompok juga menjadi sorotan media di permukaan. Sejatinya pemanfaatan sumber daya publik seperti anggaran negara atau aparatur negara untuk kepentingan politik tertentu benar-benar merusak prinsip keadilan dan kesetaraan dalam demokrasi, serta menimbulkan keraguan akan integritas institusi negara.
ADVERTISEMENT
Dalam suatu rezim yang demokratis, secara normatifnya, semua warga negara memiliki hak untuk menyampaikan pendapat, termasuk dalam hal ini mengkritisi setiap kebijakan pemerintah. Padahal seperti yang kita ketahui bersama, pemerintah yang oleh konstitusi telah diberi amanah dan perintah untuk menghormati, menjamin, melindungi serta menerima segala macam bentuk pendapat, tidak hanya pujian tapi juga kritikan sebagai bagian dari langkah evaluasi atas berbagai kebijakan yang dirasa merugikan berbagai pihak. Namun hingga saat ini, citra pemerintah seolah tercerminkan dari cara mereka menanggapi kritikan.
Demokrasi yang seharusnya menjadi senjata atau instrumen yang dipergunakan rakyat semaksimal mungkin atas kedaulatannya untuk mengawasi (check and balances) dan mengimbangi hegemoni kekuasaan melalui konstitusi yang sedari awal memiliki tujuan untuk membatasi kekuasaan dari absolutisme, namun yang terjadi sekarang adalah hal yang sebaliknya; bukan rakyat melalui lembaga representasinya (DPR) mengawasi kebijakan pemerintah, tapi justru yang terjadi adalah kekuasaan yang mengawasi setiap gerak-gerik, tindak-tanduk, kata dan bahasa yang diucapkan rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Ketiadaan peran dari poros oposisi yang seharusnya mengakomodasi aspirasi dari bawah mengakibatkan rakyat harus berbenturan langsung dengan kekuasaan. Hal itu tentu berimplikasi pula pada lemahnya proses pengawasan dalam kelangsungan penyelenggaraan pemerintahan.
Urgensi Evaluasi
Dalam jejak sejarah bangsa Indonesia, para pengajar, guru besar, mahasiswa dan cendikiawan memiliki peran strategis dalam membangun bangsa yang adil dan beradab sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Maka sudah semestinya benteng universitas tidak boleh alergi dan kedap suara akan ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi di luar kampus. Ketika sirkulasi pemerintah berjalan tidak baik, maka kampus harus mengambil posisi untuk menjadi mercusuar pengingat.
Merespons fenomena yang terjadi, penulis menilai bahwa beberapa akademisi menyadari ada yang hilang dalam etika dan moralitas bernegara saat ini. Kegelisahan yang disuarakan melalui beragam deklarasi dan petisi yang dilayangkan kepada penguasa bukan tanpa sebab. Rasa keprihatinan dan kepedulian para civitas akademika terhadap masa depan bangsa menjadi beragam alasan darurat untuk disuarakan. Mendiamkan kesalahan adalah bagian dari kesalahan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Pengikisan demokrasi karena syahwat membangun politik dinasti adalah masalah serius. Apabila perbuatan buruk yang dilakukan oleh pemerintah saat ini terus-menerus dinormalisasi, dicarikan alasan pembenar tanpa ada upaya evaluasi, maka dapat dipastikan kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara mengalami kemorosotan yang signifikan.
Bahkan dalam soal lain, mendikte sejumlah rektor untuk membuat pernyataan testimoni tandingan bukanlah solusi. Klaim “cooling system” yang diupayakan oknum aparat penegak hukum untuk menciptakan kondusifitas menjelang pelaksanaan Pemilu 2024 justru akan berpotensi membelah masyarakat menjadi dua kubu, dan ini sangat berbahaya.
Sebagai refleksi, publik bertanya: apa yang akan pemimpin ajarkan sekarang pada publik soal etika, ketika Aparatur Sipil Negara (ASN) diharuskan bersikap netral bahkan dilarang untuk berfoto dengan simbol yang menjurus pada Capres tertentu, sedang di sisi lain para menteri sibuk berkampanye.
ADVERTISEMENT
Publik dan civitas akademika mengharapkan pelaksanaan pemilu kali ini berjalan dengan cara yang sehat, jujur dan adil, salah satu caranya ialah presiden harus mengambil sikap sebagai negarawan, bukan sebagai politisi, untuk menjaga netralitasnya selama pemilu berlangsung dengan tidak campur tangan berpihak salah satu pasangan calon tertentu; perbaiki ekosistem demokrasi yang telah rusak selama ini; tegakkan supremasi hukum; ciptakan rasa keadilan kembalikan kepercayaan publik.