Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Harmoni Tohpati
#Narasastra | Kirimkan karyamu ke [email protected] | narasastra.wixsite.com/narasastra
7 Mei 2018 10:23 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
Tulisan dari NARASASTRA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gitar X Kendang terasa seperti reuni antarkawan lama. Permainan jari Tohpati yang lincah namun disiplin, bersenda gurau dengan pukulan Endang Ramdan, yang kuat tapi tidak sembrono. Keduanya berpadu, sesekali berpacu, dan saling memicu harmonisasi yang menghibur.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang gitaris, komposer, produser, bahkan entertainer, Tohpati telah menelurkan banyak karya. Di tingkat akhir sebagai murid SMP, Tohpati tergabung dalam band Splash. Perjalanannya berlanjut bersama Halmahera pada 1988. Lalu, pada 1993, Tohpati bergabung dalam grup Simak Dialog yang kemudian merilis tiga album. Pada 2004, bersama Dewa Budjana dan Balawan, Tohpati tergabung dalam band Trisum. Tidak berhenti di situ saja, Tohpati pun membungkus komposisi-komposisinya melalui dua belas album solo. Album terbarunya, Bias, baru saja dirilis pada Februari 2018 ini.
Licks yang dimainkan Tohpati bisa terdengar empuk seperti lagu anak-anak. Misalnya, tembang “Kahyangan” dalam album Bias. Rasa-rasanya enak didengar sambil menyeruput kopi hitam panas di pagi hari. Tapi tak jarang juga, melodinya berapi-api, berbaur dengan pola pentatonik Nusantara. Tohpati memang gemar memasukkan unsur-unsur tradisional ke dalam musiknya. Tengoklah album Tribal Dance, beberapa kali tiupan suling dan alunan gamelan bakal menyisir bulu rona anda. Maka dari itu, bukan sesuatu yang mengherankan jika Tohpati berkolaborasi dengan Endang Ramdan, seorang pemukul kendang yang juga tergabung dalam Tohpati Etnomission.
ADVERTISEMENT
Tak ayal lagi, mengawinkan unsur tradisional dengan musik modern bukanlah pekerjaan yang mudah. Bagi Tohpati, tantangannya berpijak pada harmonisasi bahasa. Keduanya harus menciptakan keselarasan makna melalui kamus yang berbeda. Dalam hal ini, Tohpati memilih kendang dan Endang Ramdan sebagai duel sekaligus duetnya karena “belum dapat tandeman yang lain”. “Sebenernya, aku kurang gaul mungkin, ya,” celetuknya.
Perlu disadari, dunia musik sedang berada dalam masa peralihan, dari fisik menuju digital. Tentu saja, banyak musisi yang lebih memilih menjual karyanya di kanal-kanal daring demi memangkas biaya produksi. Lebih jauh lagi, mereka dapat memanfaatkan media sosial sebagai lapak dagang yang segar. Akan tetapi, menurut Tohpati, hal seperti ini dapat mengurangi nilai sakral sebuah karya. Beberapa layanan streaming tidak memperkenankan para pendengar untuk mengetahui nama-nama yang terlibat dalam pengerjaan sebuah lagu atau album. Ternyata selain memotong ongkos, rilisan digital seolah ikut menghemat keintiman pencipta dengan penikmatnya.
ADVERTISEMENT
Bisa dibilang, rilisan fisik tengah menjemput nasib yang juga dialami musik tradisional: dianggap kaku, kuno, atau ketinggalan zaman. Musik tradisional dilekatkan dengan sifat-sifat pendidikan yang didaktis, sekolah dengan seragamnya, rutinitas yang membelenggu jiwa anak-anak muda. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Tohpati untuk menghilangkan kesan-kesan negatif tersebut ialah dengan mengemas lagu-lagu daerah melalui bahasa dan gaya yang berbeda. “Itu, sih, PR-nya generasi muda, musisi Indonesia, dan pemerintah juga harus mendukung,” tambahnya.
-Apa harapan atau tujuan Tohpati yang belum tercapai?
-Tur keliling dunia.
Penulis dan Pengambil Foto: Yudhistira (Narasastra)