Mahakarya ke-100 Teater Pagupon Berakhir Memuaskan

NARASASTRA
#Narasastra | Kirimkan karyamu ke [email protected] | narasastra.wixsite.com/narasastra
Konten dari Pengguna
18 Maret 2018 23:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari NARASASTRA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Usai sudah pementasan spesial ke-100 Teater Pagupon. Perjuangan Dedes akhirnya berakhir. Mahakarya pamungkas yang pastinya dipersiapkan dengan penuh keringat dan air mata ini akhirnya ditutup dengan banyaknya standing applause para penonton. Graha Bhakti Budaya telah menjadi saksi bisu bagaimana kisah perjalanan Ken Dedes yang dihadiri kurang lebih 1000 penonton selama dua hari, Kamis dan Jumat kemarin (8-9/2).
Sebuah proses pasti tidak akan berbohong. Jika hasilnya belum atau tidak sama sekali memuaskan, mungkin kamu yang membohongi prosesnya. Hal ini seperti analogi pada dunia teater, khususnya Dedes. Semua komponen pendukung pementasan rasanya telah berkolaborasi dengan sangat baik, walaupun harus diakui, masih belum sempurna.
Menawarkan sebuah lakon berlatar belakang budaya Jawa abad ke-12, Dedes rupanya memberikan sentuhan khasnya yang sederhana. Latar tempat bendungan dan kerajaan Tumapel yang tidak berlebihan menjadi contoh kesederhanaan. Selain itu, tempo alur cerita juga sengaja dibuat lambat. Interaksi antarpemain di desa Panawijen dengan suasana tenang dapat mudah dirasakan penonton. Namun, hal tersebut justru menjadi penyebab alurnya sedikit membosankan. Meskipun begitu, rasa bosan itu masih dapat teratasi dengan adegan perkelahian yang cukup asik disaksikan.
Hebatnya, dengan jalan cerita tersebut, satu hal ini dapat menjadi penolong sekaligus sorotan. Betul, musik. Terdapat total 12 lagu yang mengiringi dan sebagai perantara dua adegan. Kolaborasi alunan musik dan nyanyian Reda Gaudiamo dan Payung Teduh beserta pasukannya sukses menjadi pelipur tersendiri bagi mereka yang dilanda kejenuhan. Apalagi, ada salah seorang penyanyi yang memberikan kejutan di sela-sela adegan dengan mengajak penonton untuk ikut joget bersama, sebuah terobosan dari tim pemusik dan penyanyi yang cukup brilian.
Pada sisi keaktoran, rasanya hampir tiap pemain mampu menunjukkan kualitasnya. Dengan penjiwaan karakter yang kuat, para pemain berhasil membuat kita semua mengerti apa yang sedang terjadi di atas panggung. Ada satu karakter yang saya suka dari keahliannya memainkan peran dan juga kalimat yang dikeluarkan. Ia adalah Empu Purwa.
"Kau bisa melakukan apa yang kau mau, kau bisa, tapi kamu tidak berani melakukan apa-apa," pungkasnya tegas kepada rakyat Panawijen. Sebuah kalimat monohok dilontarkan Empu untuk menyentil kesadaran setiap rakyat Panawijen, mungkin juga kesadaran setiap kita.
ADVERTISEMENT
Sampai kalimat tersebut keluar dari mulut Empu, maka cerita sudah sampai di kuartal akhir. Pada saat itu juga, kejutan tercipta. Alur lambat yang sebelumnya membosankan seketika berubah menjadi tempo cepat yang memacu adrenalin. Sejujurnya, momen itulah yang paling menyenangkan, ketika bendungan dengan sengaja dihancurkan.
Uti, sebagai pemeran Emban, mengakui proses menjadi pemain sangatlah dinamis. Beberapa kali terjadi pertukaran pemain. Dibutuhkan kesabaran dan ketahanan fisik juga mental untuk menghadapi setiap tekanan.
“Saya termasuk salah satu pemain yang juga mengalami tukar-peran, awalnya menjadi Emban, kemudian Dedes, lalu sempat hampir bertukar menjadi Nyi Buyut namun akhirnya kembali menjadi Emban. Dalam setiap peran yang saya jalani ada tekanan tersendiri. Ada emosi-emosi yang sulit sekali saya keluarkan ketika beradegan,” jelas Uti pascapementasan.
Keunggulan Dedes harus diakui berasal dari komponen musiknya. Namun kenyataannya bukan hanya itu. Perpaduan seni tari yang cantik juga menambah keanggunan cerita cinta di dalamnya. Kisah cinta Ken Dedes yang tersaji sangat membumi sekaligus menyenangkan. Romansa antara Ken Dedes dan Wiraprana mampu menarik bibir untuk tersenyum tanpa kemauan sendiri. Begitu juga kecemburuan Agni yang menghadirkan rasa iba. Sensasi-sensasi tersebut rasanya begitu dekat dengan kita, menjadikannya enak untuk dinikmati.
ADVERTISEMENT
“Seperti biasa, musik pagupon selalu ngasih nyawa ke keseluruhan pementasannya. Jadi bukan sebagai pengiring, tapi bagian dari ceritanya itu sendiri. Overall, Dedes mudah dicerna dan dinikmati. Ngga ada part yang bikin ngantuk. Cara Kecak maduin tarian, musik, akting pas bagian klimaks (ketika bendungannya diancurin) itu ciamik bgt sih. Feelnya jadi nyatu,” kata perempuan yang biasa dipanggil Fina ketika ditanya mengenai Dedes di GBB TIM pada Jumat (9/2).
Selayaknya pementasan teater pada umumnya, akhir dari pementasan berarti akhir dari produksi. Berakhirnya sebuah produksi tentunya menandakan sebuah perpisahan. Kali ini, perpisahan itu membingkai angka seratus di dinding Rumah Burung Dara sambil mencari angka-angka selanjutnya yang layak kita tunggu. Bersama dengan akhir kalimat ini kami suguhkan pula satu kata akhir dari Narasastra untuk Teater Pagupon: selamat!
Penulis dan Fotografer: Akbar Prabowo Triyuwono / Narasastra Project
ADVERTISEMENT