(REVIEW) "Sorotan Terhadap Split"

NARASASTRA
#Narasastra | Kirimkan karyamu ke [email protected] | narasastra.wixsite.com/narasastra
Konten dari Pengguna
15 Maret 2017 0:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari NARASASTRA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
 (REVIEW) "Sorotan Terhadap Split"
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
oleh : Yudhistira
Apabila seorang manusia hidup sendiri di dalam sekitaran yang hampa, maka apa yang akan dilakukannya? Kemungkinan manusia tersebut untuk beradaptasi dengan kebaruan terbilang nol. Potensi ia untuk membangun karakter dalam dirinya hampir tidak ada kecuali kekosongan dan kesepian.
ADVERTISEMENT
Dari dulu, saya selalu yakin kalau setiap orang memiliki lebih dari satu karakter dalam dirinya, seperti tokoh utama dalam Split. Bukankah manusia adalah tokoh bundar dalam cerita yang berjudul kehidupan? Manusia, tokoh sentral yang dapat menunjukkan empati terhadap penderitaan sesamanya, bisa memuntahkan air mata akan peristiwa yang mengibakan, dan juga dapat menunjukkan ketajaman taringnya atas dasar dendam nan pekat.
Film Split, yang dibintangi oleh James McAvoy mengajak kita untuk memahami 24 karakter dalam satu tubuh lewat pendekatan teater. Permainan mimik muka serta gestur menjadi detil yang penting untuk disaksikan dalam memahami gradasi penokohan. Selain itu, intonasi dan jenis suara juga merupakan unsur keteateran yang diandalkan.
Manusia adalah Tokoh Bundar
Ada sisi feminin dan maskulin dalam diri kita. Kadang ingin berbagi, kadang pula egois. Apa yang menyebabkan manusia menjadi tokoh bundar? Jawabannya mungkin adalah masa lalu dan ruang lingkup. Manusia beradaptasi dengan masa lalu yang mengendapkan pelbagai ihwal. Mulai dari senang, sedih, dendam, dan takut, segalanya menjamur di sana. Pada dimensi lampau, kita menyimpan orang-orang yang kita gandrungi dan benci. Masalah-masalah sentimentil seperti demikian nyatanya memicu kelahiran karakter yang lain dalam diri manusia. Kemudian, manusia pun berbenturan dengan ruang lingkup hidupnya. Kita terbentuk dan bahkan terkontrol oleh kultur sosial yang menyematkan norma, hukum, mode, dll. Negosiasi dengan ruang lingkuplah yang akhirnya mengasah karakter-karakter dalam diri manusia agar sesuai dengan zaman. Maka, bahwa setiap zaman memroduksi pemikiran yang berbeda karena kondisi manusianya pun berbeda adalah keniscayaan.
ADVERTISEMENT
Trauma: Asal Muasal Dendam
Masa lalu yang kelam dengan siksaan dan pem-bully-an tentu dapat mengakibatkan traumatis di kemudian hari. Dalam film ini, Kevin mengemban kenangan pahit karena siksaan orang tuanya.  Beberapa kali, entah The Beast atau Kevin, mengatakan hal-hal yang tidak teratur, seolah siksaan terhadap dirinya di masa lalu membuat kacau kinerja otak dan pengolahan batinnya. The broken are the more evolved atau The damaged are the more evolved adalah contohnya. Dialog-dialog yang diucapkan –entah oleh The Beast atau Kevin—mengisyaratkan bahwa orang-orang yang menderita akan mendapat kejayaan di kemudian waktu. Dengan berpegang teguh pada dendam, bahkan membunuh pun merupakan cara yang sah.
Marilah kita angkat film ini sebagai kritik terhadap penyiksaan atas masa kanak-kanak yang indah. Masa-masa yang seharusnya dihiasi oleh lagu-lagu di taman, petak umpet, dan permen-permen manis janganlah dinodai dengan hinaan apalagi pemukulan.  
ADVERTISEMENT
***
Silakan tonton film Split dan temukan sendiri kekurangan-kekurangan lainnya. Split dapat lebih masuk di akal jika pemaparan tentang DID (Dissacosiative Identity Disorder) diperbanyak dan difokuskan. Bagaimana sel-sel dan otot-otot dalam diri manusia bisa berubah/berevolusi karena DID? Bagaimana bisa identitas tersebut menyerap sifat-sifat dari hewan? Saya kira banyak penonton yang akan lebih terkesima dengan pemaduan cerita fiktif dan perjalanan ilmu pengetahuan