Konten dari Pengguna

Fashion Ramah Lingkungan Bisa Jadi Penyembuh Bumi?

Nareswara Jati Kusuma
Mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada
6 Juli 2023 16:29 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nareswara Jati Kusuma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi fashion ramah lingkungan. Foto: HollyHarry/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi fashion ramah lingkungan. Foto: HollyHarry/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Selayang Pandang Fast Fashion
Pada zaman modernisasi ini, masyarakat memberi tuntutan akan kebutuhan fashion yang terus menerus berubah mengikuti tren yang cepat. Kemunculan internet semakin memudahkan masyarakat dalam melihat tren fashion terkini. Tidak hanya sebagai pelindung tubuh, produk fashion digunakan sebagai penanda status sosial dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak ingin ketinggalan zaman dan ingin selalu terlihat fashionable.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu muncul konsep fast fashion, jenis pakaian yang dirancang untuk sekali pakai, di mana produk fashion diproduksi dengan cepat dan harga yang terjangkau. Ketika muncul mode baru, pakaian lama berakhir di tempat sampah. Jumlah pakaian global yang terbuang bisa sampai 100 juta ton per tahun dan yang didaur ulang di bawah 1% dari 100 juta ton tersebut. Produk garmen ini diproduksi dalam jumlah yang melimpah dengan waktu relatif cepat. Untuk menekan biaya produksi juga digunakan bahan berkualitas rendah yang justru berpotensi mencemari lingkungan.
Dapat dilihat bahwa gerai fast fashion yang semakin menjamur menguasai pasar mode di dunia saat ini, seperti: H&M, Zara, Uniqlo, dan sebagainya, selalu mengeluarkan produk baru setiap minggunya. Perubahan trend tidak lagi berdasarkan musim seperti sebelumnya (spring-summer ataupun fall-winter) tetapi dapat berubah bahkan hanya dalam waktu 6 minggu atau bahkan kurang dari itu. Hal tersebut dikarenakan kemampuan mereka dalam menawarkan produk baru pada konsumen dalam hitungan minggu.
ADVERTISEMENT
Masalah yang timbul dari industri fast fashion adalah polusi beracun yang dihasilkan dan limbah yang sulit terurai. Industri fast fashion memberikan kontribusi yang besar dalam pemanasan global. Limbah yang dihasilkan selama produksi akan dibuang ke sungai atau laut, sehingga limbah tersebut akan mengotori lautan serta makhluk hidup di dalamnya. Kandungan bahan kimia juga dapat menyebabkan polusi di udara sehingga mendukung pemanasan global.
Hal ini menimbulkan dampak buruk pada lingkungan. Fast fashion dapat menimbulkan pencemaran air, kerusakan lingkungan karena penggunaan bahan kimia beracun. Demi mendapatkan bahan yang lebih murah dan dapat diproduksi dengan cepat, industri fashion sering mengabaikan bahayanya bahan kimia yang terdapat dalam produk mereka.

Industri Tekstil Ancaman Bagi Lingkungan Global

Dampak Lingkungan dari Fast Fashion. Foto: Dokumentasi Pribadi
Berbicara mengenai pakaian tidak bisa lepas dari tekstil. Industri tekstil sangat strategis di Indonesia, berkontribusi terhadap pendapatan nasional di mana tahun 2022 peringkat ke-5 penyumbang Produk Domestik Bruto mencapai sebesar 6,4% (Kementerian Perindustrian, 2022).
ADVERTISEMENT
Namun, industri tersebut menjadi ancaman bagi lingkungan karena menjadi penyumbang polusi terbesar kedua di dunia. Ellen MacArthur Foundation pada tahun 2017 menyebutkan bahwa industri tekstil menghasilkan emisi gas rumah kaca sampai 1,2 miliar ton per tahun. Selain itu, data dari UN Alliance for Sustainable Fashion menyebut industri fashion membutuhkan sekitar 215 triliun liter air per tahun.
Di sisi lain, industri ini juga telah berdampak besar pada 20 % pencemaran limbah air secara global. Masalah lainnya juga ada pada penggunaan energi yang besar dalam memproduksi tekstil yang dapat menyebabkan perubahan iklim.

Industri Tekstil di Indonesia

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menunjukkan bahwa Indonesia menghasilkan 2,3 juta ton limbah tekstil atau setara dengan 12% dari limbah rumah tangga. Yang mana menurut data dari SIPSN KLHK per tahun 2021, bahwa kontribusi limbah rumah tangga terhadap komposisi sampah secara keseluruhan mencapai 42,12%.
ADVERTISEMENT
Namun, dari keseluruhan limbah tekstil tersebut, hanya 0,3 juta ton limbah tekstil yang didaur ulang. Selain menimbulkan limbah, tingginya produksi pakaian dalam waktu singkat juga berdampak terhadap pencemaran kualitas lingkungan. Pengolahan dan pewarnaan tekstil mencemari 20% air di kawasan industri di Indonesia.
Mari kita lihat Sungai Citarum di Jawa Barat sebagai studi kasus. Sungai ini telah digunakan sebagai tempat pembuangan bahan kimia selama bertahun-tahun oleh pabrik-pabrik tekstil yang ada di sekitarnya. Greenpeace menganalisis airnya dan menemukan air itu tercemar timah hitam, merkuri, arsenik, dan nonylphenol (pewarna pengganggu endokrin yang telah dilarang oleh Uni Eropa karena implikasi lingkungannya).
Kemudian, berdasarkan Pusat Riset Oseanografi Institut Pertanian Bogor tahun 2021, menemukan bahwa sebanyak 70% bagian tengah Sungai Citarum di Jawa Barat tercemar mikro plastik, yaitu berupa serat benang poliester. Kandungan mikroplastik mengancam kehidupan biota di Daerah Aliran Sungai Citarum. Kerusakan yang terjadi berupa kecacatan hingga kematian ikan dan kerang di Sungai Citarum.
ADVERTISEMENT

Paradoks Fast Fashion

Pola konsumtif menyebabkan masyarakat menjadi lebih boros dalam membeli produk fashion untuk kegunaan sehari-hari. Tren fashion datang dengan sangat cepat seiring dengan pola konsumtif konsumen yang tinggi. Para pemilik merek berada di Global North yang merujuk pada kawasan Amerika dan Eropa. Para pemilik merek memiliki pabrik-pabrik garmen yang berada di kawasan Global South alias negara selatan, salah satunya Asia.
Merek Nike dari Amerika Serikat dan Puma dari Jerman yang menguasai jaringan pabrik garmen di Asia, salah satunya di Indonesia yang tersebar di Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Para pemilik merek di Global North dapat memperoleh keuntungan besar dari penjualan pakaian murah dan massal yang diproduksi oleh pekerja garmen di Global South dengan biaya rendah dan standar buruk. Para pekerja garmen di Global South tidak hanya mendapatkan upah yang tidak layak, tetapi juga menghadapi risiko kesehatan dan keselamatan kerja yang tinggi, serta dampak lingkungan yang merusak.
ADVERTISEMENT
Paradoks ini menunjukkan adanya eksploitasi dan ketidakadilan yang dilakukan oleh para pemilik merek terhadap para pekerja garmen, serta adanya ketidakpedulian dan konsumsi berlebihan oleh para konsumen di Global North.
Dilansir dari fastcompany.com, industri pakaian merupakan industri kedua yang paling merusak lingkungan. 10% dari kerusakan bumi disebabkan oleh pewarnaan pakaian serta pengolahaannya. Namun dibalik itu, industri fashion memberikan lapangan kerja setidaknya satu per enam populasi di dunia. Industri tekstil memiliki pengaruh terhadap pendapatan daerah dan lapangan pekerjaan, baik secara positif maupun negatif.
Secara positif, industri tekstil dapat meningkatkan pendapatan daerah melalui kontribusi terhadap nilai tambah bruto, pajak, dan devisa. Industri tekstil juga dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi banyak orang, terutama perempuan, baik di sektor formal maupun informal. Menurut data Badan Pusat Statistik, industri tekstil dan pakaian jadi menyerap sekitar 2,8 juta pekerja pada tahun 2020, atau sekitar 10% dari total pekerja di industri manufaktur.
ADVERTISEMENT
Secara negatif, industri tekstil juga dapat menimbulkan dampak lingkungan dan sosial yang merugikan bagi daerah dan pekerja. Industri tekstil merupakan salah satu industri yang paling banyak menghasilkan limbah cair dan padat, serta emisi gas rumah kaca. Industri tekstil juga seringkali terlibat dalam praktik-praktik yang melanggar hak asasi manusia dan hak-hak pekerja, seperti upah rendah, jam kerja panjang, pekerja anak, diskriminasi gender.

Industri Pakaian Lokal Terobosan Terhadap Krisis Iklim

Ilustrasi limbah fashion. Foto: VectorMine/Shutterstock
Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, seperti kenaikan suhu udara, perubahan pola musim, dan bencana alam. Indonesia juga merupakan salah satu negara produsen pakaian yang terlibat dalam industri fast fashion global yang berkontribusi terhadap polusi dan limbah tekstil.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, industri pakaian lokal dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi jejak karbon dan meningkatkan ketahanan lingkungan di Indonesia. Industri lokal yang sudah diakui dunia sebagai industri pakaian yang ramah lingkungan adalah Sukkha Citta.
Sukkha Citta telah mendapatkan sertifikasi B Corp dan Ethically Handcrafted dari organisasi nirlaba B Lab sebagai standar pelopor sustainable fashion, yaitu industri yang bisa mendorong perubahan positif bagi sosial, lingkungan dan ekonomi.
Sertifikasi B Corp hanya diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang memiliki standar tertinggi dan kekuatan untuk mendorong perubahan positif dalam bidang sosial dan lingkungan dengan menerapkan transparansi publik, akuntabilitas hukum, serta memiliki tanggung jawab dalam menyeimbangkan tujuan sosial dan laba. Sukkha Citta sudah mampu membina dan mempekerjakan pengrajin di 4 desa dengan total 1500 orang.
ADVERTISEMENT
Industri pakaian lokal ramah lingkungan yang berdiri sejak tahun 2016 bekerja sama dengan beberapa desa binaan di Provinsi Jawa Tengah (Desa Jlamprang, Desa Batang), Provinsi Jawa Timur (Desa Gaji, Desa Tuban).
Produksi pakaian menggunakan metode “tumpang sari” atau teknik pertanian regeneratif di mana menanam kapas secara organik untuk meminimalisasi emisi karbon. Dari bahan material hingga menjadi pakaian prosesnya alami, yaitu menggunakan pewarna alami dari tanaman dan limbah pertanian.
Hasil penjualan pakaian 56% dikembalikan kepada pengrajin dan petani lokal. Selain itu, Sukkha Citta juga sudah membangun jaringan pemasokan lebih dari 30 negara di dunia (Pameran Kapas di Astha District Jakarta, 2022).
Penggunaan kapas organik dinilai lebih ramah lingkungan, karena kapas organik membutuhkan lebih sedikit air (ditanam di daerah tadah hujan). Selain itu, tanah lebih sehat dan tahan terhadap perubahan iklim serta meningkatkan kadar karbon dalam tanah hingga 50% (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2019).
ADVERTISEMENT
Kapas organik juga mudah teurai dan bisa didaur ulang karena tidak menggunakan bahan kimia. Di sisi lain, sistem tumpang sari menahan air hujan 25% lebih banyak dan menyerap lebih banyak karbondioksida dari atmosfer (KLHK, 2019).
Dengan demikian produk lokal ini dapat meminimalisasi polusi udara dan polusi lingkungan. Namun, terdapat peluang dan tantangan jika ingin pakaian ramah lingkungan dan berkelanjutan tetap eksis.

Peluang

ADVERTISEMENT

Tantangan

Refleksi

Munculnya fenomena fast fashion dikarenakan tren yang cepat sekali berganti dan tuntutan masyarakat akan fashion dengan harga terjangkau dan model terkini. Tren fashion terus bermunculan dari waktu ke waktu sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan. Selama melakukan produksi, industri fashion terus menghasilkan limbah yang mengandung bahan kimia yang berbahaya dan membuangnya ke laut atau sungai. Bahan kimia dari hasil produksi fashion akan merusak lingkungan.
Kenyataan bahwa bisnis fast fashion dinilai melakukan praktik yang menyimpang, menerobos serangkaian kode etik, mulai dari perburuhan hingga persoalan lingkungan. Namun di sisi lain, perkembangan fast fashion juga memberi pengaruh yang sangat signifikan pada lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan daerah. Terlepas dari paradoks tersebut, perlu peranan bersama dari berbagai stakeholder mengenai fashion yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT