Konten dari Pengguna

Fenomena Kekerasan Seksual Bagai Gunung Es, Urgensi Perlindungan Hukum Diabaikan

Rasha Nareswari
Saya adalah Mahasiswa Hukum di Universitas Indonesia. Saya memiliki ketertarikan terkait isu kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan serta perlindungan hak asasi manusia.
26 Desember 2021 15:53 WIB
·
waktu baca 5 menit
clock
Diperbarui 18 Januari 2022 14:20 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rasha Nareswari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

RUU TPKS kembali batal masuk ke dalam sidang Paripurna DPR. Hal ini diakibatkan oleh adanya pertentangan dari partai konservatif, sehingga tidak tercapainya kesepakatan antara para pimpinan DPR mengenai RUU TPKS ini. Sementara, korban kekerasan seksual terus bertambah setiap harinya.

Ilustrasi oleh : Rasha Nareswari
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi oleh : Rasha Nareswari
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2021, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (“RUU PKS”) telah resmi masuk kembali kedalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Hal ini merupakan kabar yang sangat baik pasca yang kita tahu bahwa sebelumnya RUU PKS sempat dikeluarkan dari prolegnas pada tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, pada tanggal 30 Agustus 2021, Baleg DPR merubah RUU PKS secara keseluruhan dan memulai prosesnya dari awal dengan draf baru yang disusun oleh tim tenaga ahli. Judul dan susbtansi materi dari RUU PKS ini pun dirubah total, RUU PKS yang semula adalah Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual diubah menjadi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“RUU TPKS”).
Ironisnya, RUU TPKS kembali batal dibahas di dalam sidang paripurna DPR pada tanggal 16 Desember 2021 silam. Menurut Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, batalnya RUU TPKS masuk paripurna diakibatkan oleh kesalahan teknis. RUU TPKS baru selesai dibahas saat rapat pimpinan dan rapat bamus DPR sudah berjalan.
Lebih lanjut, beliau mengutarakan bahwa RUU TPKS akan kembali dijadwalkan setelah reses DPR tanggal 12 atau 14 Januari 2022. RUU TPKS akan dibahas di masa sidang lanjutan tersebut. Penundaan ini disebabkan oleh tidak tercapainya kesepakatan antara pimpinan DPR dan Bamus, sehingga RUU TPKS belum mendapatkan pengesahan sebagai RUU inisiatif DPR.
ADVERTISEMENT
Dengan penundaan ini, diharapkan RUU TPKS dapat ditinjau kembali oleh DPR. Mengingat bahwa RUU TPKS hanya mengakui empat jenis kekerasan seksual yaitu pelecehan seksual, pemaksaan memakai alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, dan eksploitasi seksual. Sedangkan, RUU PKS mencakup sembilan jenis kekerasan seksual meliputi pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
RUU TPKS ini hanya menitikberatkan pada penindakan terhadap tindak pidananya saja dan bukan menghapuskan kekerasan seksual itu sendiri. Dengan demikian, RUU TPKS tidak memiliki perspektif korban dan cenderung lebih memperhatikan tindak pidana yang dilakukan pelaku, padahal pemulihan dan penanganan korban jauh lebih penting.
Hal ini tentu saja menjadi sebuah polemik bagi masyarakat, terutama bagi para aktivis perempuan yang sudah sedari dulu menunggu kabar baik akan RUU PKS. Dalam melihat kasus kekerasan seksual, kita harus memiliki perspektif korban, yang artinya kita harus memposisikan diri sebagai korban dan melihat dari sudut pandangnya.
ADVERTISEMENT
Naskah RUU TPKS versi Baleg DPR RI ini juga tidak mengakomodir kepentingan dan kebutuhan korban, terutama bagi korban penyandang disabilitas yang memerlukan pendampingan khusus. Tidak adanya pengaturan yang mengharuskan pemerintah dalam memenuhi hak korban adalah bukti nyata bahwa negara lari dari tanggung jawab untuk melindungi warganya.
Menurut anggota tim ahli Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, lima jenis kekerasan seksual yang dihapus dalam perubahan RUU PKS menjadi RUU TPKS sudah diatur diantaranya dalam UU KUHP, UU Pornografi, UU ITE, UU Perlindungan Anak, dan UU Perdagangan Orang. Padahal, terdapat kekosongan hukum terkait salah satu bentuk kekerasan seksual non-fisik, sebut saja Kekerasan Berbasis Gender Online (“KBGO”).
Menurut Catatan Tahunan Komisi Nasional Perempuan Tahun 2021, kasus KBGO meningkat tajam pada masa pandemi. Laporan Komnas Perempuan menunjukkan adanya kenaikan, dari semula 241 kasus pada 2019 menjadi 940 kasus pada 2020. Laporan lembaga layanan menunjukkan terjadi peningkatan KBGO dari 126 kasus pada 2019 menjadi 510 kasus pada tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Kekosongan hukum terkait KBGO di dalam RUU TPKS ini sangat berbahaya. Sebab, apabila ada korban yang melapor kepada pihak yang berwenang, kemungkinan besar tidak dapat diproses karena tidak ada pasal yang dapat menjerat. Selain itu, sangat mungkin terjadi victim blaming, yaitu sikap menyalahkan korban atas kejadian yang menimpanya, baik oleh pihak yang berwenang maupun masyarakat.
Selain itu, berdasarkan data dari Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), terdapat 2.500 kasus yang dilaporkan kepada pihaknya terkait kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2021. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding tahun 2020 yang tercatat terdapat 2.300 kasus. Pada kasus pelaporan ini, dominannya adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (“KDRT”).
Meningkatnya kasus kekerasan seksual terutama di masa pandemi ini sudah seharusnya menjadi bukti nyata bahwa RUU TPKS harus segera disahkan. Akan tetapi, masih ada pihak-pihak yang menentang hadirnya RUU TPKS. Hal ini disebabkan oleh pemahaman konservatif dan ideologi patriarkis yang dianut oleh mereka. Dengan demikian, mereka memiliki pemahaman yang kurang baik sehingga menimbulkan miskonsepsi terhadap RUU ini, mereka juga kurang memahami bentuk-bentuk kekerasan seksual yang ada. Oleh karena itu, sebagian orang menganggap negatif rancangan undang-undang RUU TPKS.
ADVERTISEMENT
Padahal, dengan meningkatnya kasus kekerasan seksual dari tahun ke tahun, sudah seharusnya menjadi bukti nyata bagi pemerintah dan DPR bahwa Indonesia sudah darurat kekerasan seksual. Namun, para pemangku jabatan di atas hanyalah memikirkan kepentingan mereka semata, tanpa melihat fakta dan data.
Semoga penundaan ini bukan hanya penundaan tidak berujung, namun dapat berbuah manis seperti yang diharapkan oleh kita semua sejak bertahun-tahun lalu. Dengan adanya penundaan pembahasan RUU TPKS di sidang paripurna DPR, diharapkan mereka bisa melakukan peninjauan kembali terhadap substansi materi dari RUU tersebut. Seperti lima bentuk kekerasan seksual yang sebelumnya terdapat di RUU PKS tidak perlu dihilangkan agar tidak menimbulkan kekosongan hukum. RUU ini juga seharusnya dipastikan memiliki perspektif korban dan tidak memberatkan korban, jangan menitikberatkan pada tindak pidananya saja. Dengan demikian, RUU ini dapat secara total melindungi korban dan mencegah terjadinya kekerasan seksual baik secara fisik maupun non-fisik.
ADVERTISEMENT