Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Kebebasan Pers Terancam di Tengah Pembahasan RUU Penyiaran
3 Mei 2025 18:20 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Narita Damayanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kebebasan pers merupakan salah satu pilar utama dalam negara demokrasi modern. Di Indonesia, kebebasan pers dijamin oleh Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam konteks ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki peran penting dalam memastikan bahwa legislasi yang dibentuk tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, termasuk hak atas kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi. Namun, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang saat ini sedang berlangsung di DPR menuai kritik luas karena dianggap berpotensi mengancam kebebasan pers.
ADVERTISEMENT
Salah satu pasal dalam draf RUU Penyiaran yang menjadi sorotan adalah larangan terhadap penayangan eksklusif jurnalistik investigasi di lembaga penyiaran. Ketentuan ini dinilai membatasi ruang gerak media dalam menjalankan fungsi kontrol sosial. Selain itu, beberapa pasal dalam RUU tersebut memperluas wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam melakukan sensor terhadap isi siaran, termasuk terhadap produk jurnalistik, yang sebelumnya merupakan ranah Dewan Pers.
Banyak kalangan menilai bahwa pasal-pasal ini bertentangan dengan prinsip kemerdekaan pers sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Apabila disahkan dalam bentuk yang sekarang, RUU Penyiaran dapat mengakibatkan kemunduran dalam perlindungan hak atas kebebasan berekspresi di Indonesia.
Sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap produk legislasi selaras dengan nilai-nilai konstitusional dan aspirasi masyarakat. Dalam hal ini, DPR diharapkan tidak hanya berperan sebagai pembentuk undang-undang, tetapi juga sebagai pelindung kebebasan sipil.
ADVERTISEMENT
Proses legislasi RUU Penyiaran menimbulkan kekhawatiran karena dinilai kurang melibatkan partisipasi publik yang memadai, khususnya dari kalangan pers dan organisasi masyarakat sipil. Ketertutupan ini bertentangan dengan prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dalam konteks ini, DPR seharusnya menjalankan fungsi representatif dengan memperhatikan masukan dari berbagai elemen masyarakat. Terlebih lagi, dalam negara hukum yang demokratis, DPR harus memastikan bahwa legislasi yang dihasilkan memperkuat, bukan justru melemahkan, kebebasan fundamental yang telah dijamin konstitusi.
Jika DPR tetap melanjutkan pembahasan RUU Penyiaran tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat, hal ini berpotensi merusak legitimasi institusional DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Pembatasan terhadap jurnalistik investigasi, misalnya, dapat mempersempit ruang kontrol publik terhadap pemerintah dan elite politik, yang pada akhirnya melemahkan mekanisme checks and balances dalam sistem demokrasi.
ADVERTISEMENT
Pengesahan RUU Penyiaran dalam bentuk yang represif dapat memperburuk indeks kebebasan pers Indonesia di tingkat global, serta mengundang kritik dari komunitas internasional mengenai komitmen Indonesia terhadap hak asasi manusia.
Pembahasan RUU Penyiaran menjadi ujian bagi DPR dalam menjalankan fungsi konstitusionalnya sebagai representasi rakyat. DPR harus memastikan bahwa setiap ketentuan yang diatur dalam RUU tersebut tidak mengancam kebebasan pers dan hak masyarakat untuk memperoleh informasi. Keterbukaan, partisipasi publik, serta penghormatan terhadap prinsip-prinsip demokrasi harus menjadi landasan utama dalam proses legislasi. Dengan demikian, DPR dapat menjaga kepercayaan publik sekaligus memperkuat kualitas demokrasi di Indonesia.