Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Krisis Iklim, Kebijakan Berbasis Etika Lingkungan Global dan Inovasi Sosial
10 Februari 2021 15:49 WIB
Tulisan dari Ghazali Hasan Nasakti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Epos Antroposen Masa Lahirnya Krisis Iklim
Bumi telah memasuki epos geologis baru yang disebut sebagai Epos Antroposen, salah satu sinyal yang menunjukkan era baru ini, ditandai di lini masa besar sejarah dengan intervensi manusia skala besar–yang di mana aktivitas kolektif umat manusia (Homo sapiens) mulai memengaruhi permukaan, atmosfer, lautan, dan sistem siklus hara di bumi secara substansial. Riset baru-baru ini yang dipublikasikan di Nature tahun lalu oleh sekelompok ilmuan dari Weizmann Institute di Israel, menunjukkan fakta yang mengejutkan, bahwa–objek-objek material buatan manusia sekarang beratnya sama dengan semua biomassa hidup di bumi (Zalasiewicz & Williams, 2020). Semua itu adalah hal yang manusia ciptakan, khususnya pasca-era revolusi industri–rumah, mobil, jalan, pesawat terbang, dan banyak hal lainnya, dan semua itu tidak sekadar ada, tetapi juga mengeluarkan emisi yang terus-menerus mengotori dan merusak bumi. Sebagai catatan, biosfer bumi sekarang memiliki berat kurang dari 1,2 triliun ton (massa kering, tidak termasuk air), pepohonan di darat menjadi penyusun sebagian besar darinya. Menurut peneliti, rasanya, dulu kala berat biosfer di bumi adalah dua kali lipat sebelum manusia mulai menebangi hutan–dan jumlahnya terus berkurang.
ADVERTISEMENT
Meminjam kalimat Prof. Oekan S. Abdoellah di bukunya berjudul "Dari Ekologi Manusia ke Ekologi Politik", eksploitasi sumber daya alam yang tidak efisien dan sembrono secara teknologi dan budaya, tanpa memperhitungkan masa depan dan mengabaikan batas-batas daya pembaruan diri bumi (Epos Antroposen)–telah menyebabkan pemanasan global yang berarti peningkatan suhu permukaan bumi hingga naik sekitar 5 derajat celsius per tahun, yang mengakibatkan perubahan iklim, atau mestinya disebut krisis iklim, sebagaimana yang para aktivis lingkungan suarakan, karena akibat dari dampaknya yang sangat buruk di masa depan, di seluruh dunia.
Sebagaimana dicatat NASA pada 2013, lautan yang memanas akan mencairkan kantong es Arktik abadi di Kutub Utara dan Kutub Selatan yang mengandung 1,8 triliun ton karbon, lebih dari dua kali lipat dari yang sekarang ada di atmosfer bumi, dan sebagian darinya akan dilepaskan sebagai gas metana. Penelitian yang terbit di Tyndall Center for Climate Change Research pada 2018 menunjukkan bahwa pemanasan sebesar 3,7 derajat celsius saja akan mengakibatkan kerugian USD 551 triliun, sementara menurut laporan "Credit Suisse's Global Wealth Report 2017" bahwa total kekayaan dunia pada tahun 2017 hanya berkisar USD 280 triliun.
ADVERTISEMENT
Aktivitas emisi manusia saat ini akan membawa kita ke kenaikan lebih dari 4 derajat celsius pada tahun 2100. Laporan "Climate Change 2014: Synthesis Report, Summary for Policymakers", menunjukkan bahwa dengan kenaikan median di atas empat derajat, akan memiliki dampak yang belum pernah terjadinya sebelumnya dan karenanya tidak terpikirkan–kota-kota yang saat ini sebagai rumah bagi jutaan orang di India dan Timur Tengah akan sangat panas yang akan berisiko kematian jika keluar rumah di musim panas. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) PBB memperkirakan secara suram akan ada 200 juta pengungsi akibat krisis iklim pada tahun 2050.
Persetujuan Paris dan Pemenuhannya dengan Etika Lingkungan Global dan Inovasi Sosial
Krisis iklim bukanlah sesuatu yang terjadi di sana atau di sini tetapi terjadi di mana-mana dan secara bersamaan. Krisis iklim merupakan masalah global dan memerlukan kerja sama antara semua negara di dunia. Melalui Conference of the Parties (CoP) 21 di Paris atau Persetujuan Paris (Paris Agreement) pada tahun 2015 lalu, menjadi momentum kesadaran global untuk menanggulangi krisis iklim.
ADVERTISEMENT
Persetujuan Paris–yang bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu global hingga di bawah 2 celsius dan 1,50 celsius dibandingkan dengan periode pra-industri yang berkontribusi terhadap pemanasan global–adalah perbaikan atas Protokol Kyoto, sebuah perjanjian internasional sebelumnya yang dirancang untuk mengekang pelepasan gas rumah kaca. Persetujuan Paris mulai berlaku pada 4 November 2016, dan telah ditandatangani oleh 195 negara, dan diratifikasi oleh 190 negara pada Januari 2021.
Persetujuan Paris berfokus pada empat aspek penting: 1) Mitigasi: mengurangi emisi karbon untuk mencapai target temperatur global; 2) adaptasi: persiapan untuk mengatasi dampak iklim; 3) kerugian dan kerusakan: pemulihan dari dampak iklim; 4) dukungan: termasuk sokongan keuangan antarnegara untuk membantu membalikkan kondisi dari perubahan iklim (UKEssays, 2018).
ADVERTISEMENT
Meminjam gagasan filsuf kontemporer dan teoretikus ekologi, Timothy Morton, dalam bukunya "Hyperobjects: Philosophy and Ecology After the End of the World", perubahan iklim adalah suatu hyperobject–yaitu kelindan fakta konseptual yang begitu besar nan kompleks–sehingga sulit untuk memahami keberadaan perubahan iklim dengan baik, selayaknya internet. Dan, karena angka-angka yang menjadi acuannya kecil (seperti, apakah kenaikan suhu sebesar 1,5 Celsius benar-benar krusial untuk bumi?) manusia cenderung meremehkannya. Akumulasi pengalaman kognitif manusia tidak memberikan abstraksi yang baik untuk memikirkan batas-batas kecil itu, mengingat krisis iklim baru terjadi di Epos Antroposen. Menurut saya, kalau mau dipahami saja sulit, apalagi memaksa negara-negara di dunia untuk bersama-sama mencegahnya, maka, keberadaan Persetujuan Paris dapat menjadi pedoman penting dan konkret untuk memenangkan perang atas krisis iklim. Dengan begitu, Persetujuan Paris dan kelestarian bumi akan lebih mungkin berhasil.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Persetujuan Paris telah memetakan arah baru dalam perang melawan perubahan iklim global, khususnya dalam menggaet kekuatan politik di seluruh dunia. Mengingat beberapa negara besar seperti Amerika Serikat dan Cina, yang bersama-sama mewakili hampir 40% emisi global, telah bergabung dalam kesepakatan tersebut (Davenport: nytimes.com, 4/1/2016). Pemanfaatan sumber daya alam pada hakikatnya adalah persoalan daya-daya kekuasaan (De Jouvenel, 1957), dan itu berarti politis, oleh karena itu perhatian terhadap masalah ekologi tanpa kesadaran akan watak politis dari masalah tersebut tidak akan berhasil, dan oleh karena itu kekuatan politik semua negara di dunia harus berbasis atas dasar etika lingkungan global yang menitikberatkan pada tanggung jawab moral universal dan prinsip keadilan lingkungan, agar menghasilkan kebijakan-kebijakan yang mendukung pemenuhan Persetujuan Paris.
ADVERTISEMENT
Selain itu, perlu adanya inovasi sosial di masyarakat, alasannya adalah pengurangan emisi karbon juga bergantung pada perubahan norma dan perilaku sosial, tidak hanya bergantung pada teknologi, misalnya pemilihan makanan yang dalam produksinya rendah emisi, atau pengurangan perilaku konsumerisme fast fashion, atau, seperti keberadaan koperasi energi di Seoul, Korea Selatan yang mendanai panel surya melalui pinjaman murah (Mulgan, 2019).