Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Boulevard of Broken Rogue
11 Maret 2025 8:58 WIB
·
waktu baca 11 menitTulisan dari Nasihin Masha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sumitro Djojohadikusumo menyebut Jl Sudirman di Jakarta, yang merupakan kawasan paling elite di Indonesia sebagai Boulevard of Broken Smugglers (jalan raya para penyelundup sialan). Ya, di tempat paling mentereng itu berdiri gedung-gedung jangkung milik para konglomerat Indonesia. Di jalan inilah mereka berkantor.
ADVERTISEMENT
Celakanya, mereka mengumpulkan kekayaannya dengan cara kotor: menyelundup. Julukan itu sebetulnya pelesetan dari judul sebuah lukisan karya Gottfried Helnwein, yakni Boulevard of Broken Dreams (1984). Lukisan tersebut berkarakter Marilyn Monroe, Humphrey Bogart, dan James Dean, serta Elvis Presley. Mereka sedang kongkow di cafe di pinggir sebuah boulevard di malam hari.
Sebetulnya itu pelukisan ulang terhadap lukisan karya Edward Hopper dengan judul Nighthawks (1942), dengan figur anonim. Setelah itu muncul banyak versi lainnya, misalnya lukisan dengan karakter tokoh kartun The Simpsons. Namun Boulevard of Broken Dreams sebetulnya juga merupakan sebuah judul lagu pada 1933. Adapun lukisan Hopper bercerita tentang kengerian kematian dan tragedi para selebritas.
Untuk bisa memahami makna sinisme Sumitro terhadap konglomerat Indonesia tersebut bisa dibaca pada polemik tentang konglomerasi di Indonesia, yang dipicu oleh tulisan Kwik Kian Gie pada Oktober dan November 1989 di Kompas. Kwik membuat tulisan dengan judul Mimpi Menjadi Konglomerat. Kwik memulainya dengan celah yang terdapat pada UU Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), lalu celah di pasar modal dan juga di sistem perbankan.
ADVERTISEMENT
Akibat perilaku pat-pat-gulipat, sim salabim, maupun tailor made financial engineering, saat itu Kwik sudah memperkirakan keruntuhan ekonomi Indonesia, yang kemudian benar-benar terjadi pada 1997. Dengan modal dirty and tricky mind, ternyata untuk menjadi konglomerat tak harus punya uang.
Kwik pun membuat ilustrasi mimpinya: dimulai dengan rencana membuat hotel dengan 1.000 kamar. Sesuai UU PMDN sang pengusaha bisa mengimpor semua kebutuhan dengan fasilitas bebas bea masuk. Tapi kemudian barang-barang untuk 400 kamar tersebut justru dijual dengan harga normal ke pasar, bukan untuk kebutuhan hotel. Setelah itu ia membuat revisi, kamar hotel menjadi 600 saja.
Setelah itu, ia meminta pada pemasok di luar negeri untuk membuat harga yang over pricing. Selisih dana over pricing tersebut disimpan di luar negeri. Sedangkan duit hasil penjualan barang-barang untuk 400 kamar tadi ditukar ke dolar dan disimpan di bank Swiss.
ADVERTISEMENT
“Jadi, sebelum hotel berdiri, saya sudah mempunyai kelebihan uang kontan […]. Saya geli. Tidak punya uang kok bisa memiliki hotel plus deposito di luar negeri,” tulis Kwik.
Dengan pola yang sama, si konglomerat membuat banyak perusahaan. Juga dengan mengutang dari bank, plus dengan ancaman bangkrut sehingga bank diperas untuk terus menambah kredit. Setelah itu dilakukan go public di pasar modal. Melalui berbagai rekayasa, si konglomerat dapat duit lagi dari bursa saham berlipat-lipat. Duitnya langsung di pecah-pecah, dimasukkan ke perusahaan-perusahaan afiliasi. Lalu dimasukkan ke deposito lagi.
Kwik menyimpulkan tahapan menjadi konglomerat dalam empat tangga. Pertama, mengelabui sistem impor dengan bebas bea masuk yang dikombinasikan dengan over pricing. Kedua, menodong bank untuk memberikan kredit lebih besar dengan ancaman akan bangkrut. Ketiga, go public dengan agio yang sangat tinggi. Keempat, menjual saham secara perlahan dengan harga menurun.
ADVERTISEMENT
Semua itu terjadi akibat lemahnya regulasi dan juga karena perilaku lancung. Apa yang dicontohkan Kwik sebetulnya terlalu canggih. Karena ada yang benar-benar besar karena mengambil uang negara secara sangat sederhana: cukup dengan selembar kertas akan menguasai hutan dan tambang mineral lalu mendapat fasilitas kredit murah dari negara. Kayunya ditebang, tambangnya digali.
Hasilnya diekspor dengan transfer pricing (mengekspor ke perusahaan sendiri di luar negeri untuk mengurangi kewajiban pajak) dan juga penyelundupan. Atau, bagi importir akan memainkan harga dengan under invoice dan juga penyelundupan. Pengusaha properti juga sama saja. Mereka memulai dengan tanah negara, setelah itu mengurug laut dengan menghilangkan akses publik. Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Untuk mendapat gambaran yang ilmiah, bisa dibaca pada hasil penelitian Yoshihara Kunio, Yahya A Muhaimin, maupun Richard Robison. Setelah menjadi kaya raya, seperti dikatakan Jeffrey A Winters, mereka kemudian menjadi oligarki – sebuah persekongkolan oleh sedikit orang untuk menggaruk kekayaan negara. Kunio menyebutnya sebagai kapitalisme semu (ersatz capitalism), Muhaimin menyebutnya sebagai kapitalisme patron-klien. Intinya adalah mereka menjadi kaya raya karena hasil pat-pat gulipat. Hal ini, secara sarkastik disebut Sumitro sebagai hasil dari penyelundupan belaka; Boulevard of Broken Smugglers.
ADVERTISEMENT
Apakah para konglomerat sekarang masih seperti itu? Masih tetap sama. Namun kini lebih maju lagi. Mereka melakukan pat-pat gulipat rekayasa keuangan (financial engineering). Benih awalnya sudah dilakukan setelah kebijakan liberalisasi sistem keuangan oleh Soeharto melalui Pakto 1988 (deregulasi perbankan). Mereka diberi kemudahan perizinan mendirikan bank. Lalu bank itu mendapat pinjaman dari bank BUMN, lalu dari sana duitnya dibobol sendiri.
Inilah yang menimbulkan krisis keuangan pada 1997. Tanpa pembenahan sistem yang baik terlebih dahulu, mereka kemudian mendapat rekapitalisasi dan BLBI. Pembobolan terjadi lagi. Nah, kini lebih canggih lagi. Kasus pembobolan Asabri dan Jiwasraya serta amblasnya investasi Telkomsel ke Goto adalah buktinya. Duit BUMN lenyap begitu saja. Kasus Asabri dan Jiwasraya pelaku langsungnya sudah dihukum, tapi duitnya tak pernah bisa dikembalikan. Tentu mengalir ke para konglomerat.
ADVERTISEMENT
Ide Asli Sumitro
Hashim S Djojohadikusumo, adik Presiden Prabowo Subianto, mengakui bahwa pembentukan Danantara adalah bagian dari perwujudan gagasan Sumitro, ayah mereka. Jika dilacak dari tulisan, hal itu akan ditemukan saat ia menjadi Menteri Perdagangan dan Perindustrian di Kabinet Natsir. Saat itu, 1951, ia membuat Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) atau dikenal sebagai Sumitro Plan.
Pada intinya rencana ini adalah mengkonsolidasi industrialisasi dengan mengaitkan industri besar dengan industri kecil dan bercorak nasionalistik untuk mengurangi ketergantungan kepada asing. RUP juga menyatakan bahwa pemerintah menguasai industri-industri vital (saat itu belum dikenal istilah BUMN) dan memberikan dukungan pada industri kecil di perdesaan. Di masa itu, Sumitro belum secara tegas berbicara tentang lembaga yang seperti Danantara.
ADVERTISEMENT
Gagasan tentang perlunya lembaga semacam Danantara muncul setelah lahirnya konglomerasi pada akhir dekade 1980an. Dalam tulisannya di Republika, pada 16 Desember 1996, Sumitro menyampaikan gagasan tentang perlunya membentuk lembaga semacam Danantara. Modalnya diambil dari laba BUMN sekitar 1-5 persen. Lalu dana itu digunakan untuk pengembangan dan penguatan UMKM dan koperasi.
Saat itu ia menyatakan, dengan kebijakan privatisasi BUMN maka ekonomi hanya akan dikuasai oleh segelintir orang saja, yang ia sebut sebagai “sekelompok konglomerat itu-itu saja”. Sehingga, lembaga sovereign wealth fund tersebut diharapkan menjadi instrumen pemerataan ekonomi.
Tentang konglomerasi ini, suara Sumitro sama dengan Kwik Kian Gie. Ia mengaku ngenes. Menurutnya, tak ada upaya serius dari pemerintah untuk mengatasi kesenjangan. Sumitro menilai arah perkembangan perekonomian Indonesia telah menjadi sedemikian kapitalistik, yang ditandai oleh penguasaan ekonomi oleh para konglomerat. Ia menilai kapitalisme yang berkembang adalah kapitalisme ortodoks dengan prinsip-prinsip pertarungan bebas (free fight liberalism), nyaris tanpa batas.
ADVERTISEMENT
Terjadi pola pemusatan penguasaan ekonomi di berbagai bidang. Hal ini akan mendesak pengusaha kecil dan menengah dalam keadaan sulit dan akhirnya akan mematikan. Rasa ngenes itu karena konglomerat Indonesia lahir melalui fasilitas, proteksi, dan kebijakan yang monopolistis dan kolutif. Terjadi pertukaran sumberdaya antara pejabat dan pengusaha. Terjadi hubungan patrimonial. Akhirnya rakyat yang menjadi korban. Dalam contoh kontemporer bisa disebut pada bisnis minyak goreng.
Mereka mendapat konsesi hutan. Pohonnya ditebang, lalu dapat fasilitas kredit untuk menanam kelapa sawit. Kemudian mendapat kredit ekspor. Namun mereka terkena kewajiban iuran untuk penghijauan sebagai kompensasi. Dalam perjalanan mereka menghadapi tekanan internasional, harga crude palm oil (CPO) jatuh. Mereka meminta subsidi. Dana penghijauan diminta lagi.
ADVERTISEMENT
Eh, terjadi perang Ukraina-Rusia. Harga CPO melonjak. Di sini kerakusan terjadi. Mereka minta harga minyak goreng di dalam negeri disetarakan dengan harga minyak goreng di luar negeri. Untuk memberi tekanan, minyak goreng dibuat langka. Pemerintah menyerah. Harga minyak goreng naik. Rakyat membeli minyak goreng dengan harga yang mahal.
Apa yang dikhawatirkan Sumitro menjadi kenyataan. Semua ini akibat hubungan tertutup dan kolutif dalam sistem korporatis dan neopatrimonial. Sumber-sumber ekonomi dikuasai segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan.
Ciri hubungan dalam format politik yang tertutup dan ekonomi kolutif dalam sistem korporatis itu oleh Sumitro dicirikan oleh empat hal:
ADVERTISEMENT
Situasi itu, kata Sumitro, berdampak pada situasi rendahnya input dan output, dominannya faktor sumberdaya alam, dan tata niaga yang distortif. Karena itu, ia menyebutkan bahwa konglomerasi merupakan suatu bencana bagi bangsa. Kunio menyebutnya sebagai ersatz capitalism (kapitalisme semu) atau disebut juga sebagai crony capitalism. Karena itu, Sumitro menghendaki perombakan struktur ekonomi.
Nah, lembaga semacam Danantara yang digagas Sumitro adalah untuk mendobrak kondisi ekonomi yang semu tersebut. Ia menyebut lembaga itu sebagai investment trust ataupun trust fund atau cooperation investment fund. Modalnya diambil dari laba BUMN dan lembaga tersebut bersifat independen. Dananya disalurkan untuk koperasi, UMKM, dan industri kecil. Jadi tujuan gagasan Sumitro adalah untuk pemerataan ekonomi dan merombak struktur ekonomi yang distrotif dan ekstraktif agar menjadi inklusif.
ADVERTISEMENT
Mengapa Danantara?
Pernyataan Hashim tersebut adalah upaya menggaet sisi ideal tentang pembentukan Danantara. Namun sebetulnya pembentukan Danantara memiliki sisi pragmatis. Pertama, lembaga sovereign wealth fund sudah terbukti ampuh untuk menguatkan ekonomi nasional seperti di Singapura, Malaysia, dan Tiongkok. Kedua, konsolidasi BUMN ke dalam superholding Danantara merupakan upaya terakhir Indonesia untuk menyelamatkan diri dari bencana krisis.
Ekonomi konglomerasi merupakan salah satu faktor Indonesia terjatuh ke dalam krisis yang dalam pada krisis 1997. Ekonomi yang distortif dan ekstraktif – Arief Budiman menyebutnya yang terjadi bukan trickle down effect tapi muncrat ke atas alias tersedot ke atas – telah menciptakan kesenjangan dan bencana nasional. Namun situasi itu tak menjadi pelajaran. Justru ekonomi yang ekstraktif dan distortif makin menjadi-jadi, khususnya dalam 10 tahun pemerintahan Jokowi.
ADVERTISEMENT
Inilah yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 10 tahun terakhir rata-rata hanya 4,2 persen. Angka pertumbuhan ekonomi yang rendah ini sedang membawa kereta Indonesia ke dalam jurang. Karena itu, butuh solusi konkret untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Apa solusinya?
Mari kita lihat kondisi fiskal Indonesia pada 2025 ini. Nilai APBN 2025 adalah Rp 3.621,3 triliun dengan angka defisit 2,53 persen. Namun sudah mulai muncul perkiraan bahwa angka defisit bisa bertambah 0,9 persen. Pada sisi lain, postur APBN ini hanya menyisakan Rp 234 triliun (tahun lalu Rp 339 triliun) untuk belanja modal. Ini angka terkecil dalam 10 tahun terakhir.
Semoga tak terkena efisiensi. Selama ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi, bukan oleh hal produktif. Ini yang membuat angka pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu rendah. Hal inilah yang dilihat oleh investor, khususnya oleh asing.
ADVERTISEMENT
Dengan melihat postur APBN, calon investor akan menilai suatu negara layak untuk berbisnis atau tidak. Melihat kecenderungan dalam 10 tahun terakhir ini, investor asing tak melihat prospek yang cukup baik. Artinya, APBN Indonesia tak cukup atraktif. Lebih banyak untuk biaya rutin daripada untuk hal-hal yang produktif.
Secara teoretis, belanja modal mestinya 2,5 persen dari PDB atau sekitar Rp 600 triliun untuk tahun 2025 ini. Dengan angka 2,5 persen tersebut maka pertumbuhan ekonomi bisa 5 – 6 persen. Bandingkan dengan Vietnam yang belanja modalnya mencapai 6 persen dari PDB.
APBN Indonesia sudah tersedot banyak untuk bayar bunga dan pokok utang. Tahun 2025 ini nilainya mencapai 37,4 persen dari APBN alias Rp 1.353 triliun. Dengan postur APBN seperti itu, jika diibaratkan, seperti seseorang mengajak orang lain join bisnis dengan dirinya padahal untuk makan dirinya sendiri saja susah. Siapa yang mau.
ADVERTISEMENT
Karena itu pemerintahan Prabowo menengok ke BUMN sebagai lokomotif penggerak ekonomi. Potensi ini selama ini tak cukup diberdayakan seperti yang telah dilakukan Singapura, Malaysia, dan Tiongkok. Pemanfaatan BUMN untuk menggerakkan ekonomi memang sangat berisiko. Karena itu berarti menjadikan BUMN terlepas dari APBN. Padahal selama ini dividen BUMN merupakan pendapatan bagi negara. Melalui Danantara, BUMN dilepas dari negara agar bisa bebas. Karena itu, salah satu syaratnya adalah tidak ada kriminalisasi terhadap aksi korporasi. Pemidanaan dilakukan hanya jika memang benar-benar nyolong.
Nah, untuk itu ada banyak syarat. Dua di antaranya adalah profil pengelolanya (harus jujur dan kredibel) dan tidak ada unsur politik dalam strukturnya (Danantara harus murni sebagai entitas bisnis, bukan entitas politik). Inilah yang orang-orang ragukan. Untuk profilnya, silakan lacak jejak mereka. Namun pemilihan mereka begitu terasa bersifat politis, bahkan ada dua mantan presiden sebagai penasihat yang jelas-jelas merupakan figur politik murni.
ADVERTISEMENT
Terus terang, jika Danantara gagal maka Indonesia benar-benar akan masuk jurang. BUMN adalah the last resources yang dimiliki Indonesia, bahkan bisa disebut the last stock to save the nation. Karena itu muncul penilaian bahwa Danantara ini too big to fail.
Jika Sumitro menyebut penghuni Jl Sudirman, Jakarta, sebagai Boulevard of Broken Smugglers, maka jangan sampai para pengelola Danantara adalah bagian dari Boulevard of Broken Rogue. Atau jangan sampai mereka seperti judul film tahun 2009 yang dibintangi Brad Pitt, yaitu hanyalah Inglourious Basterds. Ngeri-ngeri sedap. Kita harus percaya bahwa mereka adalah benar-benar putra terbaik bangsa. Itulah harapan kita semua.
Satu pertanyaan tersisa, apakah Danantara akan membesarkan UMKM, koperasi, dan industri kecil seperti cita-cita Sumitro atau justru untuk membesarkan lagi para konglomerat yang tidak bisa dipercaya tersebut?
ADVERTISEMENT